Cokelat Valentine


Sungai Barito sore hari, saat lanting-lanting berserakan di sepanjang sungai. Di sebuah rumah kayu yang berjubel di pinggir sungai. Bau sampah tumpukan enceng gondok,ranting, dahan kayu,dan serta bangkai pelbagai jenis binatang terasa akrab di hidung.Keriuhan yang selalu sama.



Aku tak dapat melihatmu.Tak dapat menyentuhmu. Aku hanya bisa mencium baumu. Mendengar napasmu.Menghitung detak jantungmu.Juga menikmati suara lembutmu. Suara yang memang diciptakan untukku. Suara merdu sekaligus tegas.Suara serak sekaligus ramah.

Tak ada yang pernah memberikan itu selain kamu. Aku memujamu. Memujamu sepenuh jiwaku. Mengapa engkau begitu baik lelakiku? Mengapa engkau datang untuk mendengarkan aku, saat semua orang abai? Apa yang kamu inginkan dari aku. Tubuh inikah, wajah inikah? Cantikkah aku, hingga mau merayu aku untuk mendapatkan tubuh ini? Aku tak percaya, aku telah tumbuh sejak lama.Selamanya laki-laki, bapak-bapak, anakanak hingga nenek-nenek abai padaku.

Tidak ada yang datang untuk mendengarkan aku. Mengapa kau lakukan? Apa maksud tersembunyi di belakang kepalamu. Adakah yang ingin engkau rebut dariku. Apakah itu? Gubuk darurat di sekitar rumah sesak inikah, atau handphone kecil di tanganku? Untuk itukah kau lakukan semua ini?
*** 

Padamu kulihat mata Ibu.Padamu kudengar suara Ibu. Bahkan tangantangan Ibu pun kau miliki. Siapakah engkau sesungguhnya? Matamu yang tak bergerak memberi nuansa teduh. Tak ada mata yang memerah atau membesar karena marah, seperti mata Ibu. Siapakah engkau perempuan sebatang kara? Mengapa engkau sendirian dalam rumah sesak ini. Ah, aku tidak peduli.

Keberadaanmu di rumah sesak ini membuatku bisa pulang. Kepadamu, aku sungguh merasa pulang.Kau rumah kecil yang hangat perempuanku. Aku tidak ingin pergi jauh-jauh dari rumah. Aku ingin pergi dan pulang ke rumah.Tetapi mengapa engkau selalu mempertanyakanku, mencurigai kedatanganku? Rugikah engkau bila aku datang karena aku menikmati rumah kecilmu yang hangat? Jangan perempuanku, aku tak dapat hidup tanpanya.Aku tak bisa meneruskan hidup tanpanya.Tidak bisa meneruskan detak di jantungku juga embus di napasku.

***

“Katakan sesungguhnya dari mana asalmu?”

“Aku ingin dilahirkan di negeri di mana semua mata seperti matamu!”

“Kau hendak menghinaku?”

“Tidak, sama sekali. Matamu adalah mata Ibu. Dunia amat indah bila semua orang memiliki mata ibu. Aku ingin berenang-renang dalam lautan mata Ibu yang menatapku!”

“Aku tak punya Ibu, juga tak punya Ayah. Aku lahir dari segumpal awan hitam, untuk tinggal di segumpal awan hitam lainnya.”

“Aku hanya ingin pulang, aku hanya ingin kepadamu!”

“Seriuslah sedikit. Kau bisa melihatku, bisa kau ceritakan bagaimana aku!”

“Kau perempuan cokelat dengan dua tangan. Alis tebal dan rambut panjang. Suaramu seindah embun, sentuhanmu selembut angin semilir. Kau adalah Ibu. Kau adalah pulang!”

“Kau menganggapku laksana Ibu?”

“Ya, aku ingin memelukmu, ingin memilikimu selamanya. Aku ingin memiliki pulang.”

“Kau telah punya rumah dan punya pergi.Kau bisa pulang kapan saja!”

“Aku memang punya rumah dan punya pergi, tapi aku tidak bisa pulang. Bolehkah aku mempunyai pulang darimu. Bolehkah aku membagi pulangmu!”

“Aku tak pernah punya pergi, jadi juga tak pernah punya pulang. Bagaimana membaginya denganmu. Aku hanya punya cerita kelam. Maukah kau berbagi cerita kelamku?”

“Cerita kelam apakah itu, ceritakanlah padaku, setelah itu hadiahi aku dengan pulang. Berjanjilah kau terima pemberian setimpal ini. Anugerahkanlah aku pelukan, dan kehangatan pulang sepanjang hidupku. Karena aku hanya perlu pulang.”
“Baiklah, bila itu yang kau inginkan.”

*** 

Namaku Val, lengkapnya Valentine. Nama yang amat indah untuk dua orang yang memadu kasih di sebuah taman cinta. Sepasang kekasih yang berjanji sehidup semati. Sepasang kekasih yang lari dari kemewahan kedua orangtua, demi cinta sejati. Barangkali mereka pengagum kisah cinta Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Jayaprana-Layonsari yang rela mengorbankan apa pun demi cinta sejati mereka.

Perpaduan kasih mereka melahirkan buah hati. Buah cinta yang diharapkan menyempurnakan ikrar bersama. Namun kelahiranku menjadi petaka. Ayah ibuku adalah sepasang pangeran dan putri. Ayah adalah laki-laki tampan, gagah dan rupawan.Ibu adalah perempuan jelita, dengan keindahan tiada dua.Keduanya berkulit putih bening, laksana titisan para raja zaman dulu.

Dari rahim perempuan rupawan itu, lahirlah aku. Perempuan cokelat dengan dua tangan, juga bermata buta ini. Kutuk dari manakah itu? Kemarahan pun meledak. Ayah sungguh kecewa dan menuduh perselingkuhan. Sementara ibu memandangku dengan tak rela. Tak sudi ia, rahimnya dilewati bayi jelata sepertiku. Lalu apa yang dapat kulakukan. Bagaimana aku tahu dari buah percintaan dua lain jenis yang tak berselingkuh itu lahir aku. Bagaimana aku bisa paham. Mungkin saja, nenek moyang kedua orangtuaku, entah garis ke berapa menyelipkan seorang perempuan cokelat sepertiku, yang suatu ketika muncul. Sungguh aku tidak tahu.

Aku telah terlahirkan dari sepasang yang tak berselingkuh itu.Kemarahan Ayah seperti gayung bersambut dengan ketidaksudian ibu. Mereka akhirnya bersepakat pada sesuatu yang amat aneh.Mereka bersepakat menganggap aku sebagai kecelakaan yang harus dilupakan. Aku akan dilupakan dan dianggap tak pernah terjadi. Mereka akan memulai hari baru, dengan memotong kehadiranku dari hidup mereka.

Mereka menghitung hari kapan percintaan dilakukan, dan terbangun hari itu sebagai hari yang sungguh-sungguh baru. Namaku pun telah diganti.Tak lagi Valentine. Tapi menjadi cokelat. Namun, ditulis dengan Chocolate. Sesuatu yang nikmat untuk dimakan. Aku boleh dipanggil Choco. Seorang tukang kebun dibeli untuk menjadi induk semangku. Disuruhnya aku dibawa jauh ke negeri seberang, di mana napas dan bau tak mungkin bertemu. Setelah beberapa bulan aku dilupakan.

Si tukang kebun hidup sebagai orang baru. Saat usiaku sepuluh tahun, si tukang kebun tenggelam terseret arus. Istrinya menyusul enam bulan kemudian, demam berdarah merenggutnya setelahsepekan didera panas dingin. Tertinggallah aku di gubuk ini, yang kian lama kian berdesakan, dengan keahlian hanya menganyam topi.

“Sudah…?”

“Aku pikir sudah.!”

“Kau masih ingat bukan dengan janjimu?”

“Kau masih inginkan itu?”

“Tentu saja. Tentu kau tepati bukan?”

“Apakah kau pun lahir dari cerita kelam, hingga menuntut pulang dariku!”

“Kau selalu bercuriga. Apakah cerita kelamku akan membuatmu berubah pikiran, tak lagi menepati janji?”

“Aku tidak habis mengerti, mengapa kau menginginkan perempuan cokelat ini? Aku hanya cokelat. Chocolate!”

“Apakah pikiranmu tak jauh dari cokelat dan putih. Mengapa putih bagimu selalu lebih baik dari cokelat. Tidakkah kau tahu seperti namamu, cokelat amat nikmat untuk dimakan. Amat lezat untuk dinikmati!”

“Aku tidak percaya padamu!”

“Kau boleh saja tidak percaya, tapi kau tepati janjimu kan?”

“Setelah kau ceritakan cerita kelammu!”

“Setelah itu kau akan berubah pikiran?”

“Aku akan menepati janji jika masih kau inginkan!”

“Aku boleh pulang kepadamu, Valentine,kepadamu Chocolate?”

“Tentu saja!”
____________________________
Cerpen : Ni Komang Ariani