Namaku
peri biru, orang-orang memberi julukan seperti itu mungkin karena warna
sayapku yang berwarna biru. Aku mempunyai sahabat bernama peri hitam.
Dia dijuluki seperti itu karena memiliki sayap hitam. Tapi dia sahabat
yang baik hati.
Suatu hari kami bermain kejar-kejaran. Kami bermain di
dalam ruangan istana. Peri hitam terbang di depan. Dia terbang lebih
cepat. Aku berteriak memanggilnya. Aku yakin bisa mengejarnya. Peri
hitam bergerak lincah dan terbang dengan cepat. Peri hitam menerobos
jendela kamar ratu dan masuk ke dalam kamar ratu. Dia terbang mengitari
meja dan barisan kursi. Dengan gesit aku mengejarnya dan berusaha
menangkap sayapnya. Peri hitam masih belum bisa dikejar. Aku mengepakkan
sayapku lebih cepat lagi menerobos deretan vas bunga di meja ratu.
Dan
“PRAKK !” aku menyenggol vas bunga ungu milik ratu. Vas bunga itu
terjatuh dan pecah di lantai. Aku terkejut. Aku tahu vas bunga itu
adalah vas kesayangan ratu. Dadaku berdebar keras. Wajahku ketakutan.
Terdengar derap langkah prajurit mendekati kamar ratu. Aku terbang
keluar dari kamar ratu melalui lubang angin. aku pergi dan terbang jauh
meninggalkan peri hitam dan teriakan prajurit.
Sampai dimana aku ? aku merasa telah terbang jauh. Aku sampai di hutan
terlarang. Kenapa aku sampai di sini. Aku berusaha lari. Aku mengira
para prajurit pasti mengejarku dan hendak menangkapku. Aku menyesal
kenapa aku bermain kejar-kejaran dengan peri hitam di ruangan istana.
Aku pasti akan dihukum kalau ketahuan.
Aku
merasa lebih baik bersembunyi di hutan terlarang. Hutan terlarang
tertutupi pohon besar berdaun lebat. Tidak ada yang menemukanku di hutan
terlarang. Pikirku. aku mendengar percakapan dua ekor burung di atas
pohon. Mereka mengatakan kalau peri bersayap hitam besok akan mendapat
hukuman dari ratu. Peri tersebut dihukum karena masuk ke kamar ratu dan
bermain di sana sampai memecahkan vas kesayangan ratu.
Aku
terkejut mendengar berita itu. Aku ingin bertanya pada burung itu
apakah berita itu benar. Tapi aku tiba-tiba terperosok ke dalam lubang
sedalam sepuluh meter. Lubang itu menutup dengan sendiri. Aku merasa itu
jebakan. Kedua burung itu sudah terbang menjauh. Aku berteriak minta
tolong. Tapi tidak ada yang mendengar. Aku hanya menangis. Dan menyesali
perbuatan bodohku. Kenapa sampai lari dari tanggung jawabku. Dan
sekarang peri hitam malah yang dituduh. Padahal aku sendiri yang
memecahkan vas bunga tersebut. Kasihan peri hitam. Ujarku sambil
menangis.
Tak
berapa lama, sesosok raksasa mendatangi lubang perangkap tersebut.
Raksasa itu adalah penjaga hutan terlarang. Aku memohon agar
dilepaskan. Kuceritakan masalahku pada raksasa tersebut. Aku berjanji
tidak akan masuk ke hutan terlarang tanpa ijin. Aku akan ke istana
untuk mengakui perbuatannya. Kalau terlambat, peri hitam yang akan
mendapat hukuman.
Raksasa
penjaga mengerti dan dia memaafkan dan melepaskanku dari jebakan. Aku
mengucapkan terima kasih dan segera terbang menuju istana.
Sampai
di istana, aku melihat peri hitam dan ratu sedang berbincang. Di
samping mereka nampak prajurit penjaga. Aku segera bersimpuh di lutut
ratu. Aku meminta maaf. Akulah yang memecahkan vas bunga itu bukan peri
hitam. Aku menyesal telah bermain di kamar ratu dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatanku.
Ratu
terkejut mendengar pengakuanku. Dia tersenyum. Dia justru memuji diriku
yang telah mengaku. Kalau saja aku terlambat mengakui perbuatanku, peri
hitam sudah mendapat hukuman akibat perbuatan ku. Aku berterima kasih
ratu mau memaafkanku. Ratu mengatakan. Merasa bangga karena aku telah
mengatakan kejujuran dan berani bertanggung jawab, meskipun perbuatanku
menjatuhkan vas bunga termasuk tidak disengaja olehku.
Aku
merasa lega . Aku sudah mengaku . Meskipun pada akhirnya aku tetap
mendapat hukuman juga. Yaitu membersihkan kamar ratu selama seminggu.
Peri hitam pun membantuku. Dia memang sahabat yang baik.