Maafkan Aku Ayah

Semua berawal ketika aku masuk lingkungan serba mewah. Aku masuk di sebuah SMK yang bisa di bilang itu adalah SMK termahal yang ada di daerahku. SMK N 1 Saptosari. Bisa di bilang aku ini adalah siswi yang sangat berprestasi. Aku juga termasuk anak yang berbakti dengan kedua orangtuaku. Tapi itu dulu…

Sejak Ibuku pergi, aku hanya tinggal seatap dengan ayahku. Mungkin kini bisa dibilang rumahku tak layak huni. Hidup yang serba kecukupan ini membuatku bosan dan sangat menyesal. Kenapa ayah bangkrut? Kenapa ibuku meninggal? Kenapa kakakku tega meninggalkan aku di hidup yang susah ini? Dan kenapa aku ditakdirkan seperti ini.

Kini usiaku 16 tahun. 2 minggu lagi aku akan genap menjadi 17 tahun. Tepat di hari valentine. 14 februari. Hari yang sering anak muda katakan sebagai hari kasih sayang. Tapi menurutku hari itu akan sama saja. Pikirku, hari itu akan menjadi hari yang kubenci. Karena aku bukan orang yang kaya lagi. Untuk beli pulsa saja aku susah. Harus mengumpulkan uang sakuku selama 3 hari. Sering sekali aku marah dengan ayahku. Aku merasa dia tak becus mencari nafkah untuk anaknya. Hampir setiap kali aku pulang, ingin sekali kata-kata kasar yang keluar dari mulutku untuknya. Entahlah...

“Tapi bapak tidak punya uang nak untuk membelikan baju dan sepatu baru untuk kado ulang tahunmu. Kaki bapak sangat lelaaah sekali. Tolong maafkan bapak.” Ujarnya seraya memasang wajah penuh letih di depanku.

Beda sekali antara aku yang sekarang dengan aku yang dulu. Aku yang sekarang semakin berani dengan ayahku. Yang sudah jelas bahwa ia adalah satu-satunya orangtuaku yang masih hidup. Ayahku memang sudah sakit-sakitan. Semenjak ia jatuh miskin 3 tahun yang lalu, ia terkena stroke. Sebenarnya keadaannya kini sudah membaik, hanya saja tangan dan bibir ayahku masih belum bisa untuk kembali ke semula. Di tambah dengan batuk yang ia alami.

“Anna malu, pak. Anna malu sama teman-teman Anna. Mereka mengejekku. Lihatlah! Sepatuku sudah sangat sangat begitu tua.” Ucapku seraya melempar sepasang sepatu yang baru saja kulepas dari kakiku.

Sama sekali tidak ada rasa bersalah dariku. Aku begitu santai melempar sepatu ini di depan wajahnya. Ku lihat wajahnya nampak sedikit sedih.

“Ya tuhan, Anna. Bapak ini ayahmu nak. Kenapa kau seperti ini sekarang? Apa kau malu punya bapak yang cacat sepertiku?”

“Ya. Bahkan aku sangat sangat malu mempunyai ayah yang cacat sepertimu. Aku malu pak, setiap kali bapak memunguti sampah di sekolahku. Bapak tahu? Teman-temanku selalu mengejekku. Bukan hanya karena sepatuku. Tapi karena bapak tidak normal seperti bapak teman-temanku.”

“Tapi bagaimana bapak akan bekerja? Kalau kau malu jika bapak mencari sampah di tempat kau mencari ilmu.”

“Bapak kan bisa mencarinya di tempat lain. Sudahlah! Anna bosan di rumah. Anna mau main. Anna nggak mau tahu. Di ulang tahunku nanti, harus ada baju dan sepatu baru di depanku!.” Aku membuang muka dari hadapan ayahku. Pergi dari rumah dengan masih mengenakan seragam sekolahku. Aku sangat suntuk.

Kujalankan tubuhku yang suntuk ini mengelilingi jalan. Setiap kali ada botol di depanku, selalu ku jadikan bahan pelarian rasa marahku. Aku menendangnya hingga botol-botol itu melenting jauh. Dengan pandangan penuh penyesalan aku langkahkan kaki ini terus entah kemana. Yang jelas aku tak akan pulang.
***

Senangnya hatiku ketika aku dapat bergabung dengan teman-temanku tanpa terganggu akan adanya ayah di sekolahku. Tapi jujur, sekian hari aku kadang mencari-cari keberadaannya. Baguslah, ternyata ia menuruti mauku. Jam kosong yang biasanya diisi dengan beberapa tugas menyebalkan, kini benar-benar menjadi jam kosong. Tidak ada pelajaran yang membuatku berkeringat karena bosan.

Sepulang sekolah, aku tak langsung pulang. Aku diajak teman-temanku untuk pergi makan dan belanja layaknya orang-orang kaya. Hari itu aku harusnya merasa senang dan puas dengan adanya teman-temanku dan tidak adanya ayahku. Tapi aku justru merasa malu. Ayahku ternyata ada di sana. Di saat aku tengah asyik berfoto ria dengan teman-temanku, ayahku menghampiriku sembari menyebut namaku. Malu. Aku sangat malu.

“Dia siapa Na? Kok penampilannya menjijikan seperti itu. Tangannya bengkong bibirnya miring lagi. Ih..” salah satu temanku berkomentar tentang ayahku.

Sebenarnya aku sedikit tidak terima, tapi rasa maluku menutupi semuanya.

“Aku tidak mengenalnya. Oh, mungkin dia pengemis. Lihat saja penampilannya. Sebentar, biar aku kasih dia uang. Setelah itu dia pasti pergi. Seperti pengemis-pengemis lainnya. Ok.” Ucapku lalu menghampiri ayahku dengan langkah cepat. Benar-benar memalukan. Mau ku taruh di mana mukaku kalau mereka tahu dia adalah ayahku.

“Anna.. kau ada acara apa nak di sini? Kenapa kemarin kau tak pulang?” Ayah menyapaku.

Dari pertanyaannya terlihat kalau ia menghawatirkanku. Tapi entahlah.. aku sama sekali tak merasa kasihan dengan ayahku. Aku benar-benar tidak ingat saat ayah dan aku begitu akur. Aku juga tidak pernah sadar akan perlakuanku yang sangat tidak baik di tiru ini.

“Pak, bapak ngapain di sini? Cepat pergi. Aku tak mau teman-temanku tahu kalau bapak itu ayahku. Mereka anak-anak orang kaya. Cepat pergi! Aku tak ingin melihatmu di sini.”

TAARRRR…! kata-kata petir ini keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa pikir panjang aku langsung mengucapkannya. Sebelum ayahku pergi dari hadapanku, sesekali aku melihat ke belakang ke arah teman-temanku. Mereka ternyata masih melihatku. Dengan wajah yang getir, ayah memutar tubuhnya membelakangiku. Sempat kulihat kalau ia ingin berbicara sebelumnya, tapi karena aku sudah menyuruhnya pergi, ia tak sempat mengatakan apa yang ingin ia katakan sebelumnya. Dengan langkah yang bisa dihitung, ku lihat ayahku pergi dari hadapanku. Sebenarnya aku sedih, tapi rasa ingin bersama teman-temanku ini ternyata lebih besar daripada rasaku untuk bersikap ramah dengan ayahku.

Kulihat ayahku sudah begitu jauh dariku. Bayangannya yang gontai sudah tak terlihat lagi dari pandanganku. Aku lega. Tapi sungguh. Rasa lega ini tak sampai ke hatiku. Aku memutar balik tubuhku ke arah teman-temanku. Dengan memasang senyum ini untuk mereka, aku berlarian kecil ke arah mereka. Selesai bukan? Itulah kata-kata yang ku lontarkan ketika aku sudah sampai di dekat teman-temanku. Kembali ke posisi semula. Aku dan teman-temanku kembali meneruskan tawa. Tanpa memikirkan ayahku lagi…
***

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku kesal sekali. Kenapa tak ada baju dan sepatu baru? Lalu apa spesialnya hari ulang tahunku ini? Ah sial.. kulihat, tak ada makanan juga di rumah. Apa-apaan ini? Aku fikir, ayahku memang ingin aku mati kelaparan. Aku mencari ayahku. Kulihat ia sedang menyemir sepatu bekas yang ia peroleh dari memulung berhari-hari. Kurebut sepatu bekas yang di genggamnya. Lalu dengan kasar kudorong pundak ayahku. Ya Tuhan…

“Mana baju dan sepatu baruku? Hari ini ulang tahunku. Kenapa kau tak juga membelikanku sepatu dan baju baru? Hah? Tidak ada makanan pula di rumah. Kau ingin aku mati kelaparan? ya?”

Aku lontarkan begitu saja kata-kata ini di hadapannya. Kulemparkan sepatu bekas itu ke muka ayahku. Kalau saja itu aku, aku pasti merasa sakit. Bahkan sangat sakit. Karena lemparan dari tanganku begitu kuat.

Aku lari dari hadapan ayahku. Ayahku yang masih terdiam sangat kecewa denganku. Sebenarnya aku tidak berlari jauh. Melainkan aku hanya memutari jalan tikus yang sampai akhirnya menuju belakang rumahku. Selama aku berlari dengan amarahku, otakku dihantui dengan lemparan sepatu bekas itu ke muka ayahku. Aku merasa bersalah. Aku berlari menuju rumah kembali, namun kali ini aku tepat berada di belakang rumah dan menatap ayahku yang kini berada dekat di depanku.

Kulihat ia merangkak mengambil pasangan sepatu yang beberapa menit lalu kulemparkan ke wajahnya. Ia mulai menyemir kembali sepatu bekasnya. Ia terlihat senang dengan sepatu bekas miliknya.

“Ya Tuhan, aku memang bukan ayah yang baik untuk anakku. Aku cacat. Aku miskin. Sungguh, aku hanya bisa membuat anakku malu. Anakku Anna, kau dimana nak? Kenapa kau sama sekali tak mau menemui ayahmu ini? Kalaupun ada pilihan lain, sejujurnya bapak tak ingin nak, menjadi ayah yang buruk untuk anakku. Maaf nak, aku tak punya cukup uang untuk membelikanmu barang yang baru.”

Kata-kata itu mampu membungkam mulutku. Tak terasa air mataku menetes. Aku mengingat betapa ayahku sangat menyayangiku. Ketika dulu aku sering berangkat berdampingan dengannya. Jika ayahku tak memakai alas kaki, aku pun tak memakai sepatu. Agar aku bisa merasakan sakitnya kulitku menginjak kerikil-kerikil nakal di bawahku. Aku mengingat ketika ayahku mengajakku bercanda. Ketika ayahku bercerita betapa hebatnya ibuku yang kini telah tiada. Dan aku mengingat ketika aku sampai di ambang halaman sekolahku, aku mencium tangannya. Ku lihat ia begitu memberikan harapan yang besar untukku. Sampai aku masuk ke kelasku, ia selalu mengantar kepergianku. Tuhan… aku durhaka. Betapa bodohnya aku selama ini. Aku tega sekali dengannya. Tidak sepantasnya perlakuan ini aku tunjukkan untuk ayahku.

Dengan masih membungkam mulutku, aku kini mulai duduk tak berdaya. Ternyata senakal apapun aku padanya, ia tetap menyayangiku. Ia tetap memaafkanku. Kudengar ia mulai berkata kembali. Namun kali ini, aku tak berani menatapnya. Aku sama sekali tak berani menatapnya.

“Baiklah nak, demi kamu. Demi kamu bapak akan pergi mencari baju dan sepatu baru untuk mu. Semoga nanti kau menyukainya, nak.”

Setelah ayahku beranjak pergi, aku pun mulai berdiri. Kuikuti ayahku dari belakang. Benar-benar tidak pernah kubayangkan sebelumnya kalau ayahku seperti ini. Begitu gigih semangatnya untuk mencari uang hanya untuk membiayaiku. Aku juga tak pernah berfikir kalau di sepanjang jalan, ayahku sering terjatuh. Aku melihat ia begitu lelah. Namun aku hanya mengikutinya dari jauh. Selalu saja ayah jatuh, tapi ia tetap bangun dengan senyumannya.

Ia memunguti sampah-sampah warga. Tidak mudah. Karena tidak semua warga suka dengan keberadaan ayahku. Banyak warga yang memaki ayahku. Aku sebenarnya sangat kasihan dengannya. Tapi, aku belum juga menghampirinya. Ketika ia mulai berjalan kembali, aku pun mengikutinya lagi.

Di sebuah toko besar, ayahku berhenti. Entahlah ada apa di toko besar itu. Kulihat sekitarnya, tak banyak sampah yang ada di sana. Lalu apa yang ayahku cari? Kudekati ia, lalu kutangkap arah pandangannya. Sepatu! Ya, sepertinya itu yang ayahku lihat. Tapi apakah ia punya cukup uang untuk membelikanku sepatu sebagus itu? Selain bentuknya yang bagus, sepatu itu pasti mahal. Ingin sekali aku berteriak, ingin kucegah ayah agar ia tak membeli sepatu itu. Namun, aku malu dengannya. Selama ini aku sudah memakinya, aku malu untuk berbicara halus dengannya.

Kulihat ayahku mendekat ke arah sepatu itu. Kututup mukaku. Aku tak berani melihat ekspresi wajah ayahku ketika ia melihat harga sepatu itu. Aku tak mau melihat langsung ayahku sedih. Tak lama kemudian, aku mendengar suara gemuruh di depanku. Kubuka mataku untuk melihatnya. Ada beberapa orang yang memukul salah seorang di bawahnya. Aku panik. Pikiranku kacau. Jangan-jangan itu ayah. Mungkin ayah tidak punya cukup uang untuk membeli sepatu itu, lalu ia berupaya untuk mencurinya. Dan… oh tidak! Apa yang ku pikirkan? Ayahku tak mungkin melakukan itu. Kucoba dekati mereka perlahan. Kucoba bertanya pada salah seorang dari mereka.

“Maaf, pak. Ada apa ya?”

“Oh, itu mbak. Pengemis tidak tahu diri yang mencoba mencuri sepatu di toko itu.”

Hah??? Apa itu ayahku? Tepat sekali dengan yang kupikirkan sebelumnya. Aku yang makin tak karuan, kucoba masuk di antara kerumunan orang itu. Namun serasa ada yang mencegahku dari belakangku. Siapa orang ini? Aku mundur ke belakang, lalu menoleh ke arah orang ini.

“Bapak,” aku berucap histeris. Langsung saja aku memeluknya. Tak ada lagi rasa malu di diriku. Ia memang ayahku. Kenapa aku malu? Harusnya aku akan malu kalau aku hidup sendiri tanpa keluarga. Kulihat ayahku begitu bingung dengan aku yang tiba-tiba memeluknya. Kalau aku jadi ayah, aku juga pasti bingung. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, selama ini aku selalu marah bahkan sering memukulnya. Tiba-tiba memeluknya seperti ini.

“Bapak, maafin aku pak.” Ucapku sembari mengendorkan pelukanku.

“Yang harusnya minta maaf itu bapak, nak. Maaf, bapak sampai sekarang belum bisa membelikan sepatu bahkan baju baru sekalipun untukmu. Bapak minta maaf nak, bapak ternyata hanya membuatmu malu. Bap..”

“Sssttt… lihatlah pak! Aku sudah tak butuh sepatu itu lagi. Aku juga sudah tak butuh baju baru lagi. Pak, aku pakai sendal. Kau pakai satu ya? Agar kita bisa sama-sama rasain pakai sendal.”

Ku copot sendal jepit yang menghiasi kakiku. Kutundukan tubuhku untuk memakaikan sendal ini ke kakinya. Tapi urung. Ayahku mengangkat tubuhku untuk berdiri. Di situlah, aku menangis. Aku menangis di pelukan ayahku.

“Bapak menyayangimu, nak.”

Kata-kata ini membuat airmataku makin deras. Aku merasa hidupku kembali seperti dulu. Meski tak ada harta yang mewah di hidupku, namun aku percaya kasih sayang orangtua ku jauuuh lebih mewah dari apapun.

Seusai memakaikan sendal itu. Aku langsung pulang. Sebelumnya aku berfikir kalau orang yang dipukul warga tadi adalah ayah. Tapi kini, aku yakin. Ayahku tidak apa-apa. Mungkin itu orang lain yang hampir mirip seperti penampilan ayahku.

Aku berjalan berdampingan dengan ayahku. Sepanjang jalan, aku cerita dengan ayahku. Tertawa kecil dengannya. Dengan satu sendal yang kupakai di kaki kiriku saja, kadang aku merasa sakit. Tapi aku percaya, rasa sakit ini belum ada bandingannya dengan rasa sakit yang ayah alami selama ini.

Takkan kuulang kesalahanku kedua kalinya dengan hal yang sama…

Hidupku kembali ke semula. Aku kembali menjadi Anna yang dulu. Tak ada rasa malu lagi di diriku, ketika aku berangkat sekolah bareng bapak. Ketika bapak memunguti beberapa sampah di sekolah pun aku sudah tak malu. Untuk apa aku malu? Itu kan memang pekerjaan yang ayahku mampu kerjakan. Dan itu bapak lakukan untukku. Aku tak peduli apa kata teman-temanku tentang aku. Aku sekolah untuk mencari ilmu. Kalaupun aku tak punya teman di sekolah, setidaknya aku punya Tuhan dan ayahku. Sebenarnya aku masih punya kakak. Tapi entahlah.. ia pergi jauh.

Kulihat beberapa hari ini wajah ayahku begitu pucat. Setiap kali kutanya ada apa dengannya, selalu ia jawab dengan senyumannya. Sempat kubilang padanya kalau aku ingin berhenti sekolah lalu membantunya mencari uang. Tapi ayahku tetap menyuruhku sekolah. Sebenarnya, aku ingin sekali meminjam uang ke teman-temanku, aku ingin memeriksakan ayahku ke dokter. Siapa tahu saja ayahku memang sakit. Kulihat sekarang batuknya semakin menjadi-jadi. Kadang aku memergokinya batuk keluar darah. Tapi setiap kali aku bertanya, lagi-lagi hanya senyum yang ia gunakan untuk menjawab pertanyaanku.

"Tuhan… sembuhkan ayahku. Jangan biarkan aku kehilangan orang yang sangat menyayangiku.. biarkan aku berbakti untuknya. Biarkan aku yang selalu menjadi penyebab senyumnya."

“Nak, kau tak masuk sekolah?” Tanya ayahku membuyarkan lamunanku. Aku memang tak masuk. Bukan karena libur, tapi aku ingin menjaga ayahku. Aku beranjak dari posisiku yang duduk melamun di depan rumah.

“Tidak, pak. Aku ingin menemani bapak di rumah. Siapa tahu saja bapak nanti tiba-tiba mencariku.”

“Ha ha.. kamu ini ada-ada saja. Bapak tidak apa-apa. Bagaimana dengan sekolahmu kalau kau bolos begini? Bapak mau keluar, mau nyari sampah, biar kita hari ini bisa makan.” Ucap ayahku dengan batuk dan sedikit senyumnya. Sungguh tak tega aku melihatnya. Aku ingin sekali menggantikan posisi ayahku.

“Bapak istirahat saja, biar aku yang menggantikan bapak. Bapak kan lagi sakit. Aku tahu kok, kalau bapak sebenarnya sedang tidak sehat. Tapi bapak mencoba menyembunyikannya dariku. Iya kan pak?”

Bapak tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya tersenyum, lalu menundukan kepala masih dengan batuk nakalnya. Aku mulai berdiri dan mengambil karung yang biasa bapakku gunakan untuk wadah sampah.

“Kau mau kemana, nak?”

“Tenanglah, aku akan kembali pak. Bapak sebaiknya jaga rumah saja. Jangan lupa istirahat. Aku akan segera kembali.” kulangkahkan kakiku ke depan membelakangi ayahku. Sempat kulihat ayahku ingin mencegahku. Tapi biarlah, aku ingin menggantikannya. Aku ingin membiarkannya istirahat tanpa menyentuh debu-debu jalan, yang semakin membuatnya sakit.

Mencari sampah ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku pikir, aku akan menemukan sampah di sepanjang jalan, lalu aku hanya akan memungutinya satu-satu. Lelaah sekali rasanya. Aku mulai berfikir ternyata ayahku begitu hebat melakukan hal ini. Betapa malunya aku bila mengingat kesalahanku sebelumnya.

Hari sudah begitu sore, malah sebentar lagi adzan Maghrib pasti berkumandang. Kurasa sampah-sampah yang kukumpulkan sudah banyak. Tinggal kujual ke pedangang sampah. Aku terkejut. Sampah segini banyaknya saat kujual hanya dapat uang 13 ribu? Ya Tuhan... sedikit sekali.

Dengan uang yang tak begitu banyak, aku segera pergi menuju apotik. Pikirku, aku akan membelikan obat untuk ayahku. Kalau masih tersisa cukup aku akan gunakan untuk makan ayahku. Aku mencoba melangkahkan kakiku menuju apotik terdekat. Namun, aku harus menyeberang terlebih dahulu. Kulihat jalanan begitu sepi. Aku enjoy dengan langkah kakiku. Tanpa melihat ke kanan dan kiriku, aku berlari. Aku tak melihat kalau ada mobil yang sedang melaju dengan sangat cepat. Aku tertabrak olehnya. Tubuhku melenting cukup jauh. Darahku keluar dari mana-mana. Selama lima menit tak ada yang menolongku. Bahkan mobil yang menabrakku sekalipun. Ia pergi begitu saja. Bisa dibilang kalau aku adalah korban tabrak lari yang sangat-sangat malang.

Masih kugenggam uang 13 ribu hasilku memulung sore ini. 10 menit kemudian, barulah ada orang yang menolongku. Semula hanya ada 2 orang, namun setelah itu ada banyak sekali orang yang mengerumuniku. Salah satu dari mereka adalah warga satu kampung denganku. Dengan ambulan yang mereka panggil untuk membawaku ke rumah sakit, aku dimasukan ke sana oleh mereka. Dan salah satu dari mereka melaporkan kejadian ini kepada ayahku.

Ayahku pasti panik akan keadaanku saat ini. Aku yakin itu. Ya Tuhan, padahal aku tak ingin ini terjadi. Sungguh aku tak ingin sama sekali.

Aku sampai di rumah sakit. Untung saja aku datang tepat waktu, kalau tidak aku akan meninggal beberapa waktu kemudian. Segeralah aku ditangani oleh sang dokter. Katanya, aku kehilangan banyak darah. Memang benar kalau aku begitu, selama tertabrak mobil itu aku terlantar begitu saja sejak 10 menit sebelumnya.

Selama 15 menit aku tak sadarkan diri. Tapi untunglah, aku masih tetap hidup. Ada seseorang yang rela mendonorkan darahnya untukku. Kalau aku siuman nanti aku akan berterimakasih padanya.

5 menit kemudian...
Mulai kubuka mataku, aku merasa nyeri sekali dengan tangan dan kepala ini. Infuse ini menyiksaku. Kutengokkan wajahku ke arah kiriku. Lebih tepatnya aku melihat selang infuse yang berwarna merah di sampingku. Mungkin ini darah dari orang itu, pikirku.

Aku merasa terganggu dengan gorden ini. Ingin sekali aku membukanya dan melihat siapa orang yang rela mendonorkan darahnya untukku. Kuputuskan untuk duduk. Aku buka gorden warna hijau muda ini dengan tangan kananku. Innallillahiwainnaillaihiraji’un… sepertinya orang ini sudah meninggal dunia. Sekujur tubuhnya di tutup dengan kain putih yang mencolok. Tapi ada apa ini? Aku merasa ingin menangis melihat orang yang ada di depanku. Padahal mungkin aku sama sekali tak mengenal orang ini.

Kucoba beranikan diri untuk membuka kain putih penutup wajah orang ini. Dengan rasa penuh gemetar, kuberanikan diriku seberani mungkin. Terkejutlah aku. Aku tak pernah berfikir sebelumnya kalau orang yang ada di hadapanku ini adalah ayahku. Kuteteskan air mataku. Aku menangis dan terus menangis. Baru saja aku ingin berbakti kepadanya, ia kini meninggalkanku. Ya Tuhan… katakan kalau ini hanya mimpiku. Ini hanya bayanganku. Aku tak ingin melihatnya seperti ini. Kucabut infuse yang ada di tanganku. Nyerii sekali. Rasanya jarum ini menusukku begitu dalam. Masih dengan tangisanku, aku menggoyang-goyangkan tubuh ayahku yang sudah tiada. Aku ingin ia terbangun lalu melihatku dengan senyumnya.

“Bapak, bangun! Ayo bangun. Bapak nggak mungkin tega kan pak ninggalin Anna hidup sendiri di rumah? Hah? Nggak tega kan, pak?” Aku menangis sekencang mungkin. Mulai kuingat masa-masa bersama ayahku. Aku merindukannya.
***

Semua berubah. Kini aku tak punya siapa-siapa. Tak ada satu orang pun yang akan menyayangiku di dunia ini. Tak ada lagi ibu yang ramah. Tak ada lagi ayah yang selalu sabar denganku. Kakak? Aku masih punya kakak. Tapi sayang, aku tak tahu di mana kakakku berada. Sudahlah. Aku tak mungkin mencarinya. Sekarang, aku hanya akan mencoba memperbaiki hidupku yang jauh dari kesempurnaan. Aku akan menghidupi hidupku dengan keringatku sendiri. Meski mereka sudah tiada, aku yakin mereka juga tetap ingin aku sukses. Aku ingin melihat mereka senang dengan apa yang kulakukan.

Ibu, bapak… aku sayang kalian. Belum sempat aku membahagiakan kalian, belum sempat aku memunculkan senyum di wajah kalian, dan bahkan belum sempat aku selalu meminta maaf pada kalian, kalian telah pergi mendahuluiku.

Do’aku selalu untuk kalian. Tuhan.. izinkan mereka merasa bahagia di surga-Mu. Biarkan mereka merasakan kesejukan bersama-Mu.

The End
                                                        
Cerpen Karangan: Anna Safitri