Hujan sudah hampir satu jam. Deras. Kilat bersusulan dengan geledeg. Tanah seperti ditikam-tikam. Setiap tikaman memuncratkan darah coklat. Jalanan kampung kemudian tergenang, menuju banjir. Ini pagi sebenarnya.
Ya, ini pagi sebenarnya, tapi hujan itu sempurna menutupinya. Ibarat tirai penutup kenyataan. Dan kenyataan adalah ruang di balik tirai itu. Ruang yang betul-betul terpisah denganku saat ini. Tapi ada baiknya. Setidaknya hujan membantuku menghilangkan sekat waktu.
Waktu yang terus memburu. Memburuku dengan pisau mengilat di tangannya. Aku seperti tanah yang ditikam oleh hujan itu selama ini. Namun, tidak untuk saat ini karena hujan yang menikam-nikam tanah itu membantuku.
Ini pagi sebenarnya, tapi kelam. Karena hujan itulah pagi ini jadi kelam. Bahkan jadi mencekam. Tak ada seorang pun keluar rumah. Bahkan mungkin semua meneruskan tidur mereka. Bergabung lagi dengan mimpi-mimpi mereka. Namun, tidak denganku karena aku sepertinya harus merayakan terbunuhnya waktu.
Hujan sudah hampir enam jam. Masih deras. Aku masih merasakan betapa waktu telah kalah dan terbunuh. Mungkin sekarang harusnya sudah siang. Mungkin harusnya sekarang seperti siang kemarin saat aku terpanggang waktu, terbungkus debu. Saat aku tertampar-tampar kesempatan. Saat peluh telah menyatu baju melekatkannya pada tubuh ringkih. Saat aku tersaruk pada putus asa.
"Ini dia sampah!"
"Lebih busuk dari sampah!"
"Tak berguna!"
"Kerja, kek... ngapain, kek."
Hujan sudah hampir enam jam dan aku semakin yakin. Sementara itu, sepertinya yang tertidur sudah bangun. Mereka kini ramai menyelamatkan rumah masing-masing. Rumah yang mulai digenangi air. Rumah yang disatroni air. Rumah yang dikuasai air. Mereka seakan telah tak punya kuasa. Mereka hanya berusaha. Mereka terus mengeduk. Mereka berusaha membendung. Mereka bahkan berusaha berteriak-teriak minta tolong. Hujan terus berlangsung. Deras yang konstan diselingi geledeg.
Begitu pun rumahku, tepatnya, gubukku, telah sempurna dimasuki air dari berbagai jalan. Bocoran dan rembesan telah bermuara di ruang tempatku duduk mematung. Pada tanganku sebilah pisau. Aku telah mengasahnya hampir seminggu. Air itu semula hanya aliran kecil. Semula hanya ngeclak sesekali. Dan aku membiarkannya menjadi bah. Dan aku mempersilahkannya menjadi hujan pada hujan pada langit atapku yang bergayut dan kelabu.
Suara-suara ribut di luar sana tak membuatku bergeming. Aku betul-betul telah bulat memasuki sunyi. Ya, aku akan menyempurnakan sunyi duniaku. Setelah satu persatu manusia yang kukasihi luruh seperti kelopak bunga terbadai hujan deras, layaknya saat ini.
Istriku adalah kelopak terakhir yang gugur. Ia meninggalkanku saat aku hampir sebulan memasuki labirin itu. Saat aku berputar-putar pada jalan tak berujung. Saat aku mencari-cari ruh anakku yang direnggut dari kebahagiaan sederhana kami. Tabrak lari!
Suamiku.
Aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari diriku sebelum kau menemukanmu.
Istrimu.
Surat istriku di hadapanku sebenarnya, tapi aku tak bisa membacanya lagi. Aliran listrik terputus. Aku hanya bisa mengingatnya. Kata demi kata.
Tiba-tiba tetangga sebelahku berteriak, Azan. Azan dengan sisa-sisa harapan mereka karena air telah menenggelamkan hampir setengah meter, padahal perkampungan ini termasuk berada di dataran agak tinggi. Kini tubuhku pun mulai terendam, tapi pada tanganku sebilah pisau.
"Kau mau apakan aku?"
"Aku mau memakaimu."
"Untuk apa?"
"Untuk membunuhku."
"Pada apa?"
"Pada urat leherku."
"Aku ngak sudi."
"Bukankah kau menginginkanku juga?"
"Enak saja."
"Kau berkilat ketika terbayang olehmu urat leherku?" *)
"Aku berkilat karena cahaya-Nya."
"Ha...ha..ha..ha, antar aku menuju cahaya-Nya, kalau begitu?"
"Kau tidak akan menghampiri Sang Mahacahaya karena kau kini takdicahayai-Nya."
"Ha..ha... pisau sok tahu. Aku tak akan basa-basi lagi."
Aku pun mengantar pisau itu pada urat leherku sendiri. Namun, pisau itu menolak. Aku berkeras. Dengan sekuat tenaga kutarik pisau itu menuju leherku, tapi tetap pisau itu pun bertahan. Bahkan tenaganya begitu kuat. Aku pun memakai dua tanganku untuk menariknya. Entahlah, aku tak habis pikir. Semakin aku berusaha mengeluarkan tenaga semakin kuat pula pisau itu bertahan.Sementara itu, di luar hujan semakin ramai. Ya, suara hujan, suara geledeg, suara azan tetanggaku, dan suara-suara orang meninggalkan rumah-rumah mereka.
Aku justru tengah berjuang. Aku kini bahkan bergumul dengan pisau itu di lantai, di genangan air. Aku ditenggelamkannya agar aku sudi melepaskannya. Jelas aku tak sudi, aku balik membenamkannya ke banjir itu dengan harapan ia akan kehabisan tenaga.
Namun, harapanku tak jua tercapai. Kami sepertinya seimbang. Kami terus bergumul sampai napasku betul-betul habis. Tapi aku takakan melepaskannya. Ini harapan terakhirku untuk menyempurnakan sunyi.
Lelah amat sangat menerpaku. Aku seperti tercekik oleh rasa itu, tapi aku tak mau semua berakhir dalam posisi kalah oleh mata pisau itu. Namun, aku tak mampu. Kini, aku hanya mampu berteriak.
"Aaaaaarrrrrgh... lepaskan aku pisau sialan. Aku telah mengasahmu bukan untuk sebuah pembangkangan."
Senyap. Tapi beberapa saat kemudian aku mendengar tetanggaku berazan kembali. Terus terang aku bosan dengan suara itu.
"Hai,... Juned. Diam kau."
Lalu suara-suara sibuk di luar pun semakin jelas. Kini aku merasakan hening itu pecah. Aku seperti dihubungkan kembali ke dunia bising. Dunia yang tak berjarak dengan diriku sendiri. Dunia yang selama ini justru berusaha kuhindari.
"Biar aku yang menghentikannya."
Tiba-tiba suara merdu itu hadir.
"Istriku?"
"Ya."
"Kau?"
"Ya, aku istrimu."
"Kau...?"
"Ya, aku datang untukmu."
Lalu istriku menghampiriku. Tangannya meraih pisau di tanganku. Aku heran, saat tiba-tiba pisau itu tak melawan. Ia pasrah di tangan lembut istriku. Lalu istriku pun meraihku. Mengangkatku dari rendaman air banjir itu. Aku betul-betul diangkatnya. Saat dia tersenyum sepertinya aku kembali pada diriku sendiri.
"Sudah lepaskan saja." Ujar istriku.
Aku tak mengerti dengan ucapannya.
"Siapa yang harus aku lepaskan?"
"Bukan kamu."
Lalu istriku mengusap mukaku dengan kemesraan yang memang telah melekat padanya. Kemesraan yang menghilang selama ini. Tiba-tiba saja duniaku jadi terang. Hujan berhenti, ruang tempatku berdiri dimasuki cahaya serentak, air banjir yang menggenangi lantai tiba-tiba surut.
Semua menjadi terang kini. Dan, di sekelilingku tetangga-tetanggakku berdiri dengan peluh. Di antara mereka ada Juned yang terus menerus Azan.
___________________________
Cerpen: M. Irfan Hidayatullah
*) Gubahan baris terakhir sajak Mata Pisau karya Sapardi Djoko.
Ya, ini pagi sebenarnya, tapi hujan itu sempurna menutupinya. Ibarat tirai penutup kenyataan. Dan kenyataan adalah ruang di balik tirai itu. Ruang yang betul-betul terpisah denganku saat ini. Tapi ada baiknya. Setidaknya hujan membantuku menghilangkan sekat waktu.
Waktu yang terus memburu. Memburuku dengan pisau mengilat di tangannya. Aku seperti tanah yang ditikam oleh hujan itu selama ini. Namun, tidak untuk saat ini karena hujan yang menikam-nikam tanah itu membantuku.
Ini pagi sebenarnya, tapi kelam. Karena hujan itulah pagi ini jadi kelam. Bahkan jadi mencekam. Tak ada seorang pun keluar rumah. Bahkan mungkin semua meneruskan tidur mereka. Bergabung lagi dengan mimpi-mimpi mereka. Namun, tidak denganku karena aku sepertinya harus merayakan terbunuhnya waktu.
Hujan sudah hampir enam jam. Masih deras. Aku masih merasakan betapa waktu telah kalah dan terbunuh. Mungkin sekarang harusnya sudah siang. Mungkin harusnya sekarang seperti siang kemarin saat aku terpanggang waktu, terbungkus debu. Saat aku tertampar-tampar kesempatan. Saat peluh telah menyatu baju melekatkannya pada tubuh ringkih. Saat aku tersaruk pada putus asa.
"Ini dia sampah!"
"Lebih busuk dari sampah!"
"Tak berguna!"
"Kerja, kek... ngapain, kek."
Hujan sudah hampir enam jam dan aku semakin yakin. Sementara itu, sepertinya yang tertidur sudah bangun. Mereka kini ramai menyelamatkan rumah masing-masing. Rumah yang mulai digenangi air. Rumah yang disatroni air. Rumah yang dikuasai air. Mereka seakan telah tak punya kuasa. Mereka hanya berusaha. Mereka terus mengeduk. Mereka berusaha membendung. Mereka bahkan berusaha berteriak-teriak minta tolong. Hujan terus berlangsung. Deras yang konstan diselingi geledeg.
Begitu pun rumahku, tepatnya, gubukku, telah sempurna dimasuki air dari berbagai jalan. Bocoran dan rembesan telah bermuara di ruang tempatku duduk mematung. Pada tanganku sebilah pisau. Aku telah mengasahnya hampir seminggu. Air itu semula hanya aliran kecil. Semula hanya ngeclak sesekali. Dan aku membiarkannya menjadi bah. Dan aku mempersilahkannya menjadi hujan pada hujan pada langit atapku yang bergayut dan kelabu.
Suara-suara ribut di luar sana tak membuatku bergeming. Aku betul-betul telah bulat memasuki sunyi. Ya, aku akan menyempurnakan sunyi duniaku. Setelah satu persatu manusia yang kukasihi luruh seperti kelopak bunga terbadai hujan deras, layaknya saat ini.
Istriku adalah kelopak terakhir yang gugur. Ia meninggalkanku saat aku hampir sebulan memasuki labirin itu. Saat aku berputar-putar pada jalan tak berujung. Saat aku mencari-cari ruh anakku yang direnggut dari kebahagiaan sederhana kami. Tabrak lari!
Suamiku.
Aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari diriku sebelum kau menemukanmu.
Istrimu.
Surat istriku di hadapanku sebenarnya, tapi aku tak bisa membacanya lagi. Aliran listrik terputus. Aku hanya bisa mengingatnya. Kata demi kata.
Tiba-tiba tetangga sebelahku berteriak, Azan. Azan dengan sisa-sisa harapan mereka karena air telah menenggelamkan hampir setengah meter, padahal perkampungan ini termasuk berada di dataran agak tinggi. Kini tubuhku pun mulai terendam, tapi pada tanganku sebilah pisau.
"Kau mau apakan aku?"
"Aku mau memakaimu."
"Untuk apa?"
"Untuk membunuhku."
"Pada apa?"
"Pada urat leherku."
"Aku ngak sudi."
"Bukankah kau menginginkanku juga?"
"Enak saja."
"Kau berkilat ketika terbayang olehmu urat leherku?" *)
"Aku berkilat karena cahaya-Nya."
"Ha...ha..ha..ha, antar aku menuju cahaya-Nya, kalau begitu?"
"Kau tidak akan menghampiri Sang Mahacahaya karena kau kini takdicahayai-Nya."
"Ha..ha... pisau sok tahu. Aku tak akan basa-basi lagi."
Aku pun mengantar pisau itu pada urat leherku sendiri. Namun, pisau itu menolak. Aku berkeras. Dengan sekuat tenaga kutarik pisau itu menuju leherku, tapi tetap pisau itu pun bertahan. Bahkan tenaganya begitu kuat. Aku pun memakai dua tanganku untuk menariknya. Entahlah, aku tak habis pikir. Semakin aku berusaha mengeluarkan tenaga semakin kuat pula pisau itu bertahan.Sementara itu, di luar hujan semakin ramai. Ya, suara hujan, suara geledeg, suara azan tetanggaku, dan suara-suara orang meninggalkan rumah-rumah mereka.
Aku justru tengah berjuang. Aku kini bahkan bergumul dengan pisau itu di lantai, di genangan air. Aku ditenggelamkannya agar aku sudi melepaskannya. Jelas aku tak sudi, aku balik membenamkannya ke banjir itu dengan harapan ia akan kehabisan tenaga.
Namun, harapanku tak jua tercapai. Kami sepertinya seimbang. Kami terus bergumul sampai napasku betul-betul habis. Tapi aku takakan melepaskannya. Ini harapan terakhirku untuk menyempurnakan sunyi.
Lelah amat sangat menerpaku. Aku seperti tercekik oleh rasa itu, tapi aku tak mau semua berakhir dalam posisi kalah oleh mata pisau itu. Namun, aku tak mampu. Kini, aku hanya mampu berteriak.
"Aaaaaarrrrrgh... lepaskan aku pisau sialan. Aku telah mengasahmu bukan untuk sebuah pembangkangan."
Senyap. Tapi beberapa saat kemudian aku mendengar tetanggaku berazan kembali. Terus terang aku bosan dengan suara itu.
"Hai,... Juned. Diam kau."
Lalu suara-suara sibuk di luar pun semakin jelas. Kini aku merasakan hening itu pecah. Aku seperti dihubungkan kembali ke dunia bising. Dunia yang tak berjarak dengan diriku sendiri. Dunia yang selama ini justru berusaha kuhindari.
"Biar aku yang menghentikannya."
Tiba-tiba suara merdu itu hadir.
"Istriku?"
"Ya."
"Kau?"
"Ya, aku istrimu."
"Kau...?"
"Ya, aku datang untukmu."
Lalu istriku menghampiriku. Tangannya meraih pisau di tanganku. Aku heran, saat tiba-tiba pisau itu tak melawan. Ia pasrah di tangan lembut istriku. Lalu istriku pun meraihku. Mengangkatku dari rendaman air banjir itu. Aku betul-betul diangkatnya. Saat dia tersenyum sepertinya aku kembali pada diriku sendiri.
"Sudah lepaskan saja." Ujar istriku.
Aku tak mengerti dengan ucapannya.
"Siapa yang harus aku lepaskan?"
"Bukan kamu."
Lalu istriku mengusap mukaku dengan kemesraan yang memang telah melekat padanya. Kemesraan yang menghilang selama ini. Tiba-tiba saja duniaku jadi terang. Hujan berhenti, ruang tempatku berdiri dimasuki cahaya serentak, air banjir yang menggenangi lantai tiba-tiba surut.
Semua menjadi terang kini. Dan, di sekelilingku tetangga-tetanggakku berdiri dengan peluh. Di antara mereka ada Juned yang terus menerus Azan.
___________________________
Cerpen: M. Irfan Hidayatullah
*) Gubahan baris terakhir sajak Mata Pisau karya Sapardi Djoko.