“Dea… Dea… Dea, nak di mana kamu?”. Terdengar suara wanita tua yang memanggil namaku.
Tak lama akupun menjawab panggilan nenek. “Aku di sini nek”.
Yah wanita tua itu adalah nenekku, beliau yang telah merawatku sedari aku masih berumur 5 tahun, selepas kedua orang tuaku yang pergi meninggalkanku bersama nenek. Entah apa alasan mereka sehingga mereka tega melakukan semua itu.
Beberapa tahun lalu, seseorang berpakaian rapi, bertubuh besar dan dua orang lainnya dengan tampang seram yang memaksaku dan nenek keluar dari rumah kami. Hingga disinilah sekarang kami tinggal, di tempat kumuh penuh sampah.
“Ada apa nek?”. Tanyaku.
“Dea, tolong belikan beras untuk makan kita hari ini”. Jawab nenek sembari memilah sampah ke dalam karung.
Aku terdiam sejenak, lalu “Nek, Dea tidak punya uang”. Jawabku.
Nenek terdiam mendengar ucapanku, nenek tersenyum dan berusaha terlihat tegar dihadapanku.
“Ya sudah tidak apa-apa, mungkin hari ini belum saatnya kita makan nasi, mungkin besok atau lusa kita bisa membeli beras dan menikmati nasi”. Ucap nenek sambil tersenyum kepadaku.
Tak dapat membendung air mataku, air mata ini akhirnya turun lagi, tak tega melihat nenek dengan tubuh rentanya yang masih harus bekerja demi sesuap nasi.
“Menahan lapar lagi? Ya Allah, sampai kapan nenek merasakan penderitaan seeperti ini, kapan aku bisa membahagiakannya?”. Ucapku dalam hati.
Tak lama, ku ambil karung untuk mulai memungut rizkiku di jalanan, menulusuri jalanan memunguti sampah-sampah sembari menahan lapar. Aku tak mungkin memaksakan diri untuk tetap melanjutkan pekerjaanku, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari melepas lelah. Namun tiba-tiba mataku terpaku melihat wanita paruh baya yang nampaknya terlihat kebingungan, entah apa yang sedang ia cari, aku segera menghampirinya.
“Permisi bu, saya lihat nampaknya ibu sedang mencari sesuatu”. Tanyaku.
Segera ibu itu pun menoleh kearahku, jelas ku lihat matanya yang sedang memperhatikanku secara detail.
“Nampaknya dia mencurigaiku sebagai orang jahat”. Pikirku.
“Saya sedang mencari kunci mobil saya yang hilang, nampaknya jatuh di sekitar sini”. Jawabnya ketus.
“Boleh saya membantu ibu untuk mencarinya?”.
“Tidak usah repot-repot, tapi kalau kamu memaksa, silahkan”. Jawabnya sedikit gengsi namun masih terdengar ketus.
Aku tersenyum mendengar jawabannya, aku mulai membantu untuk mencari kunci mobilnya. Tidak mudah ternyata, untuk mencari sebuah benda yang ukurannya tidak terlalu besar membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukannya.
Beberapa menit kemudian, perhatianku beralih pada sebuah benda di sekitar rumput, Tidak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa pikir panjang ku mulai mendekat dan ku ambil benda tersebut.
“Ibu, kunci mobilnya ketemu”. Ucapku setengah berteriak.
Ibu tersebut langsung menghampiriku dan mengambil kuncinya.
“Iya ini kunci mobil saya, terima kasih yah. Perkenalkan saya Rima”. Seulas senyum, terlihat di wajah ibu Rima yang sedang menungguku menyambut uluran tangannya.
Aku membalas uluran tangannya. “Saya Dea, tujuan ibu ke mana? Saya rasa ibu bukan orang sini”.
“Saya memang bukan orang sini nak, saya dari Jakarta. Di sini saya hanya sedang menenangkan diri sejenak, tapi di saat saya berniat membeli makanan kunci mobil saya terjatuh”. Jelasnya.
Lalu ibu Rima mengajakku pergi ke sebuah warung tidak jauh dari tempat kami, seorang ibu yang awalnya aku kira judes ternyata sangat ramah. Dia mulai menanyakan tempat tinggalku, pekerjaanku. Hingga akhirnya ibu Rima mengajakku untuk ikut dengannya ke Jakarta. Ibu Rima pun memberikan kartu namanya kepadaku.
Aku bergegas pulang, tak sabar memberitahukan ini pada nenek. Sesampainya di rumah, ku lihat nenek yang sedang terdiam entah apa yang sedang nenek pikirkan.
“Nek?’. Panggilku.
Nenek segera menoleh setelah mendengar suaraku yang memanggilnya.
“Tumben Dea pulang cepat”. Ucap nenek.
Aku hanya tersenyum, ku peluk tubuh renta nenek.
“Nek, Dea minta izin untuk pergi ke Jakarta ya nek, Dea ingin kerja di sana”. Jelasku.
“Tapi Dea, kalau kamu pergi nanti nenek sama siapa di sini?”. Tanya nenek.
“Nek, Dea janji akan kembali buat nenek, Dea ingin punya uang banyak. Dea ingin membelikan nenek kebaya, dari dulu nenek kan ingin punya kebaya”.
Mata nenek mulai terlihat berkaca-kaca.
“Ya sudah, tapi kamu jangan lama-lama di sana, cepat pulang ya nak”. Ucap nenek sembari menahan tangisnya.
Esok hari aku mulai mengemasi barang-barang milikku, tak lama barang-barang yang harus aku bawa sudah tersimpan rapi dalam tasku. Tak ingin terlalu lama mengulur keberangkatanku setelah semuanya di rasa telah selesai, aku menghampiri nenek untuk berpamitan. Nenek hanya terdiam, aku berusaha menahan air mata ini. Aku segera keluar dari rumah dan meninggalkan nenek di sana.
“De… De… ongkosnya”. Suara itu membangunkan tidurku, ternyata aku tertidur di dalam bis, ku ambil sejumlah uang dalam saku celanaku.
“Ini mas”. Ucapku sembari menyodorkan uang pada kondektur bis yang ku naiki.
“Loh, ko receh semua neng”. Ledek kondektur.
Aku terdiam, aku bingung, di mana aku? Tapi tubuh ini terlalu lelah, aku memutuskan untuk tidur kembali.
“De… bangun de”. Kondektur itu berusaha membangunkanku.
“Ada apa mas?”. Tanyaku.
“Ini sudah malam, kamu mau turun di mana?”. Jelasnya.
“Ya sudah saya turun di sini saja”.
“Sial, aku ketiduran, lalu sekarang aku ke mana?”. Ucapku dalam hati.
Aku terus berjalan mengikuti langkah kaki, menulusuri jalanan yang gelap dan dari kejauhan aku melihat cahaya lampu, semoga saja aku bisa beristirahat sejenak di tempat itu.
“Tempat ini seperti warung, tapi apa mungkin ini warung? Warung di tempat sepi seperti ini? ah masa bodo yang penting malam ini aku bisa beristirahat”. Pikirku.
“Permisi bu”. Ucapku pada pemilik warung,
“Iya, kenapa?”. Jawabnya.
Aku berusaha menjelaskan mengenai apa yang terjadi padaku, dan aku meminta agar beliau mengizinkanku untuk beristirahat di tempatnya.
Alhasil, ternyata dengan mudahnya beliau mengizinkanku. Beliau menghantarkanku pada salah satu ruangan yang tidak terlalu luas namun sangat nyaman. Aku bergegas masuk, aku rasa ini sudah terlalu malam, besok aku harus melanjutkan perjalananku, aku mulai tertidur.
Seseorang memasuki kamarku, astaga siapa itu. Aku mencoba bangkit, ya Allah tangan dan kakiku terikat dengan ranjang tidurku. Aku berteriak berharap pemilik warung mendengarnya, aku menangis aku menjerit meminta tolong. Lelaki itu semakin dekat, dan dia melakukannya padaku. Aku tak bisa melawan perlakuannya padaku, setelah dia puas dia keluar dari kamarku.
Malam mulai berganti dengan pagi, pemilik warung memasuki kamarku dengan sarapan yang dibawakannya untukku.
“Sudah jangan menangis, nanti juga akan terbiasa”. Ucap pemilik warung sembari tertawa.
Aku tidak menghiraukannya, aku masih tetap menangis, menangisi kebodohanku yang dengan mudahnya tertipu oleh pemilik warung itu.
Pemilik warung itu pergi meninggalkanku sendiri di kamar, aku terdiam.
“Ya Allah, apa yang mesti Dea lakukan. Dea takut”. Ucapku sembari menangis. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu.
Semua mata tertuju kepadaku, aku tidak menghiraukan hal itu. Aku tetap berusaha melanjutkan langkah kakiku, perlahan pandanganku mulai membuyar, gelap dan setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi.
Berusaha membuka mataku, aku tersentak ketika yang ku lihat adalah seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi, nampaknya lelaki itu mengerti dengan keadaanku.
“Jangan takut nak, aku tidak akan melukaimu”. Jelasnya kepadaku.
Aku hanya terdiam, aku masih terlihat sangat ketakutan. Dan kemudian beliau mulai menceritakan bagaimana aku bisa ada di tempat ini. Ternyata Bapak ini lah yang telah menolongku ketika aku tak sadarkan diri di jalan. Aku tetap terdiam, aku tidak menghiraukannya.
“Nak, Bapak sudah buatkan susu hangat untukmu. Dan di meja ada roti, makanlah walaupun sedikit, Bapak tahu kamu lelah, silahkan”. Ujar Bapak tersebut.
Setelah itu lelaki tersebut meninggalkanku sendiri di sebuah kamar yang lumayan luas. Perutku terasa sangat lapar, aku mulai mengambil roti dan sedikit demi sedikit ku menghabiskannya.
Terdengar seseorang yang berusaha untuk membuka pintu kamar. Terlihat Bapak tua itu menghampiriku sembari memperlihatkan seulas senyumnya.
“Sudah habis ternyata”. Ucapnya.
Aku hanya mengangguk bertanda iya.
“Nak, Bapak bukan orang jahat. Di sini Bapak tidak tinggal sendiri, Bapak tinggal bersama cucu lelaki Bapak, namanya Bayu”. Jelasnya kembali.
“Lantas di mana cucu Bapak?”. Tanyaku.
Bapak tersebut mulai menceritakan kehidupannya dengan Bayu cucu lelakinya yang sekarang kuliah di Universitas ternama di daerah Jakarta. Bapak itu memintaku tinggal dengan mereka untuk sementara waktu dan aku menyetujuinya.
Tidak terasa dua minggu aku lalui kehidupan baruku di rumah Bapak yang sekarang ku panggil kakek, siang itu di hari minggu Bayu mengajakku ke sebuah tempat makan favoritnya. Setelah kami memesan makanan Bayu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kotak kecil, ternyata Bayu memberikannya untukku, aku mulai membuka bingkisan tersebut.
“Apa ini?”. Tanyaku.
“Ini Handphone”.
“Untuk apa?”.
“Aku memberikan ini agar aku bisa menghubungimu walaupun kita jauh, benda ini juga bisa dipakai untuk memotret paras cantik kamu”.
“Hah? Aneh ya”.
“Ini terima ya”. Paksa Bayu.
“Tapi Dea ga ngerti makenya gimana?”.
“Nanti aku ajarin ko Dea”. Ujar Bayu sembari tersenyum.
Kemudian kami melanjutkan makan kami, hari di rasa sudah terlalu sore, kami pun akhirnya pulang.
Sesampainya di rumah, terlihat kakek yang sedang asyik mendengarkan musik tempo dulu favoritnya. Bayu menghampiri kakek, sedangkan aku memutuskan untuk beristirahat di kamar.
Aku segera melihat jam, ternyata sudah malam. Aku segera keluar kamar untuk menemui kakek.
“Sudah bangun ternyata”. Ledek kakek.
“Dea tidurnya kelamaan ya kek?”. Tanyaku.
“Hahaha, sudah tidak apa-apa. Sini Dea kita makan”.
Aku pun menghampiri kakek untuk makan malam bersamanya. Namun tiba-tiba HP ku berdering, ku ambil HP dari saku, dan mulai mengangkat telefon itu.
“Halo? Siapa?”.
“Dea, Ini aku Bayu”.
“Oh, ada apa?”.
“Dea cepat keluar, aku ingin mengajakmu pergi”.
“Kemana?”.
“Sudah nanti kita omongin di jalan”.
“Ok, tunggu sebentar”.
Aku bergegas mengganti pakaianku dan segera keluar menemui Bayu, Bayu langsung menarikku ke dalam mobil. Tanpa banyak bicara Bayu terus melajukan mobilnya hingga akhirnya mobil yang kami naiki berhenti di sebuah hotel berbintang.
“Mau apa kita ke sini?”. Tanyaku heran.
“Aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal di kamar, aku ingin kamu yang Mengambilkannya di kamar A25, aku ada perlu dengan seseorang nanti aku kembali lagi”.
Aku segera memasuki hotel tersebut dan mulai mencari kamar yang Bayu maksud. Tak lama, aku menemukannya, akun segera masuk untuk mencari barang milik Bayu yang tertinggal, namun aku tidak melihat apapun.
“Apa aku salah masuk kamar?”. Pikirku.
Mencoba untuk mencarinya lagi, tapi tetap tidak ada. Tenggorokanku terasa kering, ku ambil jus yang berada di atas meja. Tanpa berfikir panjang aku segera meminumnya. Namun setelah itu, kepalaku terasa berat dan setelah itu aku tidak mengingatnya lagi.
Aku tersadar dari tidurku, aku tersentak ketika aku melihat Bayu yang sedang terlelap di sampingku.
“Astagfirullah, apa yang terjadi?”. Ucapku.
Bayu terbangun dari tidurnya, dia hanya tersenyum.
“Dea udah bangun?”. Tanya Bayu.
“Bayu apa yang terjadi? Kenapa keadaan Dea seperti ini, kenapa di saat Dea bangun Dea ga inget apa-apa dan kenapa Bayu ada di sini”.
“Tadi malem, Dea maksa aku buat nemenin Dea tidur, aku udah coba buat nolak tapi Dea malah maksa”.
Aku hanya menangis dan tidak mempercayai apa yang diucapkan Bayu, yang aku ingat malam itu setelah aku meminum jus kepalaku terasa berat dan setelah itu entahlah, aku tidak mengingatnya.
“Dea udah engga usah nangis, mendingan Dea mandi setelah itu pulang”.
Bayu benar, lebih baik aku pulang. Setelah semuanya selesai, aku dan Bayu segera pulang. Di setiap langkahku, aku selalu teringat ucapan Bayu.
“Aku ga mungkin ngelakuin itu, aku ga mungkin maksa Bayu. Ya Allah sebenarnya ada apa?”. Fikirku.
“Dea yah?”. Suara itu membuyarkan lamunanku, aku mengenal suara itu.
“Yono?”. Tanyaku.
“Dea? Kamu ngapain di hotel bareng laki-laki? Dea eling, nenek kamu lagi sakit di kampung, kamu malah enak-enakan di sini”.
“Nenek sakit? Nenek? Ya Allah selama ini aku melupakan nenek”.
Aku meninggalkan Bayu dan meminta Yono untuk mengantarku pulang, sepanjang perjalanan aku hanya bisa menangis. Di sebuah toko, aku melihat sebuah kebaya berwarna merah yang terpajang pada patung. Aku berhenti sejenak dan turun dari mobil berniat membelikan nenek kebaya tersebut.
4 jam berlalu, kami telah sampai. Ku berlari, aku melihat gubug kumuh di depanku, aku panggil nenek namun tak ada jawaban dari dalam rumah. Aku segera masuk dan ku lihat nenek yang sedang tertidur pulas di atas koran bekas.
“Nek, Dea pulang. Nek, nek bangun”.
Tak ada jawaban.
Aku peluk tubuh nenek, ternyata yang aku takutkan terjadi. Nenek tertidur dan bahkan tidak akan terbangun lagi, aku terus memanggil nenek.
“Nek, Dea pulang. Nek Dea bawa kebaya yang nenek mau”. Hanya itu kata-kata yang terus aku ucapkan.
“Aku menyesal nek, ma’afin Dea yang ga bisa jaga diri. Ma’afin Dea nek, Dea minta ma’af, nenek bangun”.
Tak bisa menghentikan air mata dan terus memanggil nenek, tetap ku peluk tubuh nenek dengan erat. Berharap nenek membalas pelukanku, namun semua itu mustahil.
Cerpen Karangan: Febi Nurmala