“Azaaa!!” Seru bunda. Aku menoleh dengan sebal. “Apa-apaan, sih, bunda ini!?” Bentakku.
Oh iya, namaku Azara Citra Bunga. Aku sering dipanggil Aza.
“Ini, sarapan telur dadar dulu,” kata bunda.
“Eng…., enggak! Itu kan, makanan kampung,” tolakku semakin jengkel.
“Ayolah… Syafira kemarin makan telur dadar,” bujuk bunda.
“Itu kan, Syafira, bukan aku,” aku langsung ngacir.
Di sekolah…
“Hari ini 22 desember kan? Nah, kita akan mengenang cinta ibu kita dengan membuat karangan untuk ibu kita. Tapi, jangan mengandung SARA, ya. Karena bisa menyinggung teman kita yang berbeda agama. Ehm, sebenarnya tak apa kalau yang beda agama tak keberatan,” jelas Miss Anita.
Aku menoleh ke Chrisse, sahabatku yang katolik. “Aku boleh bikin karangan kalau itu mengandung SARA kan?” Tanyaku hati-hati.
“Untuk sahabatku, boleh saja. Aku juga boleh, kan?” Tanya Chrisse balik. Aku mengangguk. Tapi malas juga bikin karangan untuk bunda. Habis, jasanya itu saja, kan? Lagian, kenapa harus pake kayak gini segala? Lebay amat, keluhku dalam hati.
Kulihat, Chrisse memulai karangannya. Aku mengintip sedikit. Tapi nggak ngelihat penuh.
Kriiing!! Kudengar bel pulang bunyi. Ah, aku belum bikin satu kalimat pun. Tapi masa bodo. Orang dikumpulin satu minggu lagi. Lalu, Keyza anak kelas 5F, berlari ke arahku.
“Huah, bundhah.. muh… keche…lhakahan… hosh, hosh, hosh” kata Keyza terbata bata karena habis lari.
Aku langsung menuju rumah sakit.
“Bunda… maafin Aza, bunda…” tangisku.
Bunda tersenyum. “Iya, nak…”
Bunda akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya saat hari ibu, 22 desember 2013 pukul satu siang, hari jum’at. Aku menangis di meja belajarku. Aku sebenarnya takut di kamar sendiri. Tapi terlalu sedih untuk ketakutan. Aku menulis karanganku dengan gemetar, dan kata demi katanya membuatku meneteskan air mata.
Setelah seminggu, aku membacakan karanganku.
“Ibu adalah penerang dalam hidupku, penyemangat saat aku putus asa, dan selalu melindungiku. Pelukannya selalu membuatku tenang dan damai. Kata-katanya yang halus kadang membuatku tersentuh. Aku kadang membuat ibu marah. Tapi sifat nakalku selalu tak jadi bebannya. Rasa sakitnya dalam melahirkanku adalah jasa terbesarnya. Aku menyesal ibu, maafkan aku jika aku salah. Aku akan selalu mengingatmu,” aku menangis saat mengakhiri bacaanku. Aku tersentuh dengan karanganku sendiri. Aku sangat menyesal. Aku segera mengusap air mataku, dan akan merubah sifatku.
__________________________
Cerpen: Jihan Nur Zahrah