Cerita di Balik Mimpi

“Selamat pagi pemimpi”. Sapaku di dalam hati. Aku memang tak mengucapkannya dalam lisan. Namun dari dalam hati. Sapaanku ku berikan khusus bagi mereka yang merasa dirinya adalah seorang pemimpi. Sepertiku, dan seperti para pemimpi lainnya.


Pemilik sepasang kaki menghampiriku. Dengan menjinjing sebuah kamera, ia berjalan menuju tempatku berdiri. Disunggingkannya sebuah senyum. Hingga membuatku tak mampu berkata-kata lagi. Ia menyapaku dengan lembut “Hai, Pemimpi. Siapkah anda berpetualang dengan Pengawal Nando hari ini” Ia berhasil membuatku tersipu karena kalimat-kalimat berlebihannya.

Namaku Nanda, Aku akan berpetualang bersama sahabat lelakiku, Nando. Kita berdua bukanlah sepasang saudara kembar. Aku pun tak mengerti mengapa nama kita hampir sama dan hanya berbeda satu huruf. Ia adalah sahabat lelaki terbaik yang aku miliki. Dapat dibuktikan ketika aku mengajaknya berpetualang di dekat hutan yang di penuhi pohon-pohon rindang beserta sawah-sawah hijau dan juga sungai yang airnya mengalir deras. Ia menyanggupi dengan senang hati tanpa keberatan sama sekali.

Aku dan Nando adalah seorang pemimpi. Nando sering bercerita padaku, bahwa Ia sangat ingin sekali menjadi seorang fotografer terkenal. Selain itu Ia sangat pandai melukis. Ia sering melukis foto yang berhasil Ia potret. Lukisannya indah sekali, malah lebih indah dari gambarnya. Namun aku tak mengerti mengapa sahabatku ini sangat berambisi menjadi seorang fotografer. Aku sendiri sangat suka sekali menulis sebuah cerita. Entah itu fiksi atau kisah nyata. Dan sebenarnya aku ingin sekali menulis ceritaku sendiri. Cerita nyata yang benar-benar ku alami. Namun aku tak mengerti mengapa sampai saat ini aku tak dapat melakukannya.

Bagiku cerita yang ku alami tak ada yang menarik.

Ku langkahkan kakiku bersama Nando, sahabatku yang sangat menerima apa adanya diriku. Ia tak pernah mengeluh akan semua kekuranganku. Ia tak pernah merasa malu ketika ku ajak jalan berdua. Karena Ia mengerti persahabatan bukan hanya dari satu golongan jenis, dari lawan jenispun bisa yang penting dapat saling menghargai.

Tujuan utama kami adalah sebuah hutan. Akan tetapi kita menyempatkan diri untuk menghampiri sebuah perlintasan kereta api yang sering disebut rel. Nando sangat senang sekali memotret sebuah kereta. Dari jauh aku hanya memperhatikannya. Namun tiba-tiba saja ia menghampiriku, ia berlari seperti seseorang yang sedang di kejar setan “Nan, nan nanda!”

Sontak aku terkejut, tingkahnya benar-benar seperti orang kesetanan. Aku yang kebingungan menegurnya dengan lembut namun sedikit kejam “Apaan sih, Do. Lagi di kejar anjing ya? Atau di kejar setan?” Aku sedikit menaikkan alisku. Nando tertawa geli. “Hahaha, maaf-maaf. Alay lah sedikit. Nggak papa, tadi aku liat siapa tuh. Kakak kelas yang kamu taksir.” Dia menepuk pahaku seolah-olah member isyarat.

Ternyata penglihatan Nando masih normal dan perkiraannya benar. Kak Dito, kakak kelas yang aku kagumi sejak pertama kali bertemu dengannya sedang berduaan dengan seorang perempuan cantik berjilbab. Mereka berdua terlihat sedang bermesraan, tersenyum bersama, tertawa bersama sambil berebut kamera. Yang aku tau Kak Dito juga menyukai fotografi. Mungkin ketika mereka sedang berencana untuk menikmati pemandangan sekitar. Tak sengaja melintaslah sebuah kereta api yang melaju lambat di antara hamparan hijau sesawahan. Mereka terlihat sangat bahagia sekali. Aku tak menyangka akan hal itu.

Dahulu, sebelum aku tak sedekat ini dengan Nando. Kak Dito adalah teman laki-laki terbaikku dan sekaligus juga seseorang special di hati ini walau tak ada hubungan apa-apa antara kita. Namun, sejak aku dengar dari teman-temanku bahwa Kak Dito telah mengungkapkan rasa kepada teman sekelasnya. Harapan-harapan itu mulai pupus. Jarak kita semakin merenggang. Pada akhirnya kita jauh seperti tak pernah kenal sebelumnya.

“Nando, ayok pulang aja yuk. Gerah disini..” Nadaku mulai terlihat resah. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Mulutku telah terkunci. Hatiku terbakar. Dalam hati tangisku mulai pecah. Aku tak henti-hentinya menggigit bibir bawahku menahan airmata yang tinggal hitungan detik lagi akan pecah dan membasahi pipiku.
Nando hanya tersenyum miris ketika melihat mimik wajahku yang seketika berubah. Ia menepuk pundakku seraya merangkulku. “Sabar yah, Nan. Aku ngerti kok perasaanmu sekarang udah nggak usah sedih. Nggak usah monyong gitu mulutnya. Jelek tau kayak monyet.” Ia mencoba menghiburku. Namun tak sedikitpun senyum itu menyungging dibibirku.

Dalam hati aku berkata “Makasih Nando, kamu sahabat yang paling bisa ngerti aku. Ngerti setiap keadaanku. Tapi maaf kali ini aku nggak bisa berbuat banyak buat ngerespon semua usahamu buat ngehibur aku. Maaf ya, Nando” Tangisku tiba-tiba pecah, aku menangis bukan karena masih merasakan terbakarnya perasaanku. Namun aku terharu karena mempunyai sahabat sepertinya. Aku bersyukur.

Aku lemah pada saat itu. Aku terus mencoba menahan tangisku. Namun aku tak bisa. Tangisku telah terlanjur pecah. Nando yang menyaksikan itu sontak menghapus airmataku. “Udahlah, Nan. Cowo di dunia ini bukan Cuma dia kok. Kan ada aku.” Aku tersenyum mendengar perkataannya yang berusaha menyadarkanku.

Tiba-tiba ia merangkulku kembali, merangkulku yang sedang duduk pilu di sebuah jalan setapak di sesawahan yang hijau. Aku mencoba untuk kuat, aku berusaha tegar dihadapannya. “Iya-iya, Do. Aku Cuma lagi kangen Kak Dito. Aku kangen Kak Dito yang dulu. Kak Dito yang selalu nemenin aku. Dulu aku juga sering kayak Kakak berjilbab tadi. Ketawa bareng. Rebutan kamera. Aku kangen moment itu, Do” Aku terisak. Namun terus mencoba menahan tangis yang akan mengalir lagi. “Oiya, satu lagi. Aku terharu. Aku bersyukur ada temen sebaik kamu yang masih bisa ngerti perasaan ini. Makasih ya”

“Hahahaha, lucu kamu ini. Ternyata seseorang cerpenist kayak kamu bisa sesedih ini Cuma karena kayak beginian, Hahaha” Aku merasa tersindir. Gelaknya sungguh tak kurasa lucu. Tiba-tiba wajahku yang pilu berubah menjadi wajah monster yang siap untuk marah. “Nandooo!! Aku ini cewek ya jelaslah bisa nangis. Emangnya aku ini kamu apa. Yang gampang banget ngilangin rasa sedih. Lagian aku sedih bukan karena ngeliat mereka berdua kok. Aku sedih gara-gara kamu. Gara-gara kata-katamu yang berhasil buat aku tenang. NGERTI!!” Kata-kataku sedikit menyentak karena sedikit jengkel. Nando terus menahan gelaknya. Memang anak satu itu kadang berhasil membuatku tenang dan juga bisa membuatku merasa jengkel sekali.

“Hahaha, kamu cantik ya kalo abis nangis trus marah-marah kayak tadi. Hehe.”

“Hih, modus ya? Biar aku nggak marah lagi gitu? Oh tenang aja aku cewek sabar marahnya cepat reda” Gelak tawa mulai berbaur antara kita. Aku sudah melupakan airmata itu. Airmata rindu. Lagi-lagi Nando yang berusaha menghilangkan semua rasa itu.

“Mau lanjut nggak nih petualangannya? Udah jauh-jauh rugi kalo nggak jadi Cuma gara-gara kamu broken heart” Dan kali ini ia tertawa lagi. Aku hanya bisa tersenyum. Namun senyumku kali ini bukanlah senyum pilu lagi.

“Jadi dong. Sapa pula yang nggak mau ngeliat sawah ijo seger begini. Malah aku pengen terus-terusan disini. Nikmati hawa sejuk ini. Kalo bisa aku pengen ngewujudin mimpiku disini. Mustahil banget gitu” Aku menghirup nafas panjang seraya berdiri dan menikmati segala sesuatunya yang ada di hamparan sawah hijau yang sejuk ini.

Nando menarik tanganku dan mengajakku melangkah. Ia berusaha menarikku seakan-akan Ia ingin menarikku dari sebuah kesedihan. Ia mengajakku berjalan lurus ke depan seolah-olah mengajakku untuk move on dari sebuah kenangan masalalu. Ia berusaha menemaniku. Menemaniku untuk melangkah kedepan dan menatap masadepan. Seakan Ia tak ingin melihatku bersedih. Seolah tak ingin melihat tangisku akan kerinduan masalalu indah namun tinggal puing-puing.

“Kita langsung ke sungai aja yuk. Waktu kita udah kemakan waktu kamu nangis nih. Gapapa kan?” Ia melirikku. Memasang wajah memohon. Wajahnya lucu sekali. Seperti anak kecil yang ingin dibelikan balon. Aku ingin tertawa karena hal itu.

“Jangan buru-buru lah, aku masih pengen nikmatin pemandangan ini. Jarang banget loh aku jalan di sawah yang sejuk ini. Untung kamu sahabatku jadi nggak canggung lagi jalan bareng kamu” Sambil terus menikmati pemandangan dan sawah nan sejuk. Seakan-akan aku lupa diri. Seolah-olah sedihku terhempas akan semua ini. Indahnya hamparan hijau sesawahan, udara sejuk nan rindang dan juga Nando. Ya, anak satu itu membuatku merasa menemukan diriku kembali setelah sekian lama menghilang karena kesedihan yang sangat tak perlu untuk di sedihkan.

Kini aku sadar Kak Dito hanya bayang-bayang. Ya hanya bayang-bayang masa lalu. Dan Nando, Nando adalah sebuah kenyataan, kenyataan yang kini menemaniku. Kini aku tak takut lagi untuk melangkah. Apalagi dalam hal yang satu ini. Aku tak ingin kesedihanku ini merusak semua mimpi. Semua mimpi yang telah ku temukan sejak dulu. Mimpi yang berharga bagiku. Dan hari ini aku akan mencoba mewujudkan mimpiku. Menuliskan kisahku sendiri…

Aku dan Nando terus menelusuri sesawahan, tanpa terasa kita telah sampai pada tujuan utama kita “Sebuah sungai dekat hutan dan sawah” Tempat yang aku idam-idamkan, dan kali ini aku dapat mewujudkannya bersamanya. Lagi-lagi bersama dia.

Di tempat ini, aku merasa sangat bahagia sekali. Ada kesejukan, keindahan, rasa kagum akan ketenangan air sungai dan juga perasaan aneh. Entah perasan aneh apa yang sedang merayapi hatiku. Sepertinya aku pernah merasakannya namun aku masih belum bisa menangkap jelas apa itu.

Dengan jahilnya, Nando menyipratkan air sungai ke arahku. “brass” Wajahku basah kuyup nyaris mengenai sebagian bajuku. Aku juga membalasnya dengan cipratan air yang jauh lebih banyak dari yang Ia berikan padaku. Perang air semakin menjadi-jadi. Dan pada saat itu, jadilah kami seperti anak kecil yang tak pernah bermain air. Seusai itu, kita saling menggelaki diri kita masing-masing.

Tak lupa Ia mengabadikan moment dalam foto dengan kameranya. Kami meneruskan petualang. Menyusuri hutan, dan berlari berkejaran disana. Sudah persis seperti sepasang anak kecil yang baru saja menemukan permainan baru. Berkali-kali Nando mencuri gambarku tanpa minta izin. Wajahku sudah persis seperti ibu kos yang ingin marah ketika anak kosnya telat bayar kamar. Namun ia tak menanggapinya dan terus mencuri gambarku. Ucapnya “kalo ada wajahmu yang jueeleek, aku pengen majang gambarmu di mading sekolah biar rame gitu. Hahaha” aku ikut tertawa namun tetap dengan nada ingin marah namun terhenti karena candaanya.

Kami berlarian seperti anak kecil, seperti mengejar sesuatu yang tak jelas. Lalu kami berteriak “AKU INGIN SELALU JADI PEMIMPI” seraya melompat. Nando berbisik dengan lembut di telingaku “Aku juga pengen selalu ada di deketmu” Aku tersipu hampir salah tingkah. Kini aku sadar perasan apakah itu. Perasaan yang tadinya sempat membuatku gelisah. Dan terjawab sudah semua itu.

Kami duduk diatas sebuah batu besar. Melihat matahari terbenam, tak terasa sudah sehari aku berpetualang dengannya, Ada rasa sedih, kecewa, rindu, bahagia, kagum, terharu, dan lainnya. Tak lupa juga dengan perasaan itu. Perasaan yang sering di landa oleh anak remaja era ini.

“Makasih, Do buat hari ini. Jangan lupain tentang ini ya.” Aku berkata padanya masih dengan keadaan wajah menatap prosesnya matahari terbenam.

“Aku juga makasih. Makasih ya foto-foto culunmu. Nanti pasti aku pajang di mading deh. Haha” Ia tertawa seperti puas karena berhasil menjebakku.

“Sialan. Terserah kamu deh.” Aku memasang wajah ogah untuk menoleh padanya. “Makasih juga udah ngilangin galauku tadi. Boleh nggak aku nulis cerita tentang kita? Tentang petualang kita hari ini?” Akhirnya aku menoleh padanya.

“Boleh juga tuh. Itu salah satu impian terpendammu kan? Bagus tuh, tercapai nih impianmu”

“Alhamdulillah, berkat kamu juga nih. Sekali lagi aku bilang Makasih banyak buat kamu. Suatu hari nanti mimpimu pasti juga terwujud.” Aku menyunggingkan sebuah senyuman khusus untuknya sebagai salah satu perwujudan terimakasihku. “Oiya maksudmu apa tadi? Setelah kita teriak bareng-bareng tiba-tiba kamu bisik-bisik itu maksudnya apa?”

“Aku suka sama kamu”

Oh Tuhan. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Nafasku bak ingin berhenti ketika mendengar pernyataan itu. Perasaan yang sama telah mengalir dalam dua raga yang memiliki ambisi untuk menjadi seorang pemimpi. Persahabatan ini masih terus mengalir. Terbenamnya matahari menjadi saksi bagaimana dua insan menyatakan rasa yang sebenarnya mustahil untuk terjadi. Dan lagi-lagi, aku memutuskan untuk menyimpan baik-baik perasaan ini.
______________________________
Cerpen Karangan: Silvia Mayningrum