Impian Perawan (Part 1)

Jari-jarinya piawai menari di atas keyboard komputer, sambil sesekali matanya menoleh ke catatan-catatan referensi. Maria tak akan berhenti menulis sebelum terpuaskan oleh naluri jurnalistik yang melipur hatinya. Hati seorang perempuan yang peduli akan pemberdayaan kaumnya. Melalui tulisan akan dia perjuangkan sekuat tenaga dan sepenuh jiwanya, walaupun raganya begitu lembut. Namun kelembutan tidak berarti kelemahan, apalagi menjadi kekalahan. Karena tekadnya setegar imannya. Yang tak akan pernah goyah oleh paksaan, apalagi hanya rayuan untuk
menyerahkan tubuhnya.

Tak lama lagi pasti Mario datang, karena dia telah mengirim pesan, sudah ada panggilan boarding pada pesawat yang sebentar lagi tinggal landas menuju Jakarta. Masih saja terasa was-was. Jangan-jangan terjadi apa-apa. Tetapi seharusnya dia terhibur, Mario sudah berada di Makassar. Hingga perasaannya tidak lagi tercekam kekhawatiran, seperti saat Mario berada di Poso.

Setiap dia menyaksikan tayangan kerusuhan di sana, hatinya teriris, kemudian berlanjut dengan panjatan doa, agar Mario tidak menjadi salah satu korban, dan kepada mereka yang menderita, dilimpahkan kekuatan dan ketabahan.

Adakah kedamaian, mengganti kerusuhan?! Adakah kerukunan, mengganti permusuhan?! Itulah yang menjadi pertanyaan dan harapan Maria, seperti yang dinyanyikan Achmad Albar bersama penyanyi-penyanyi tenar lain. Menggugah kesadaran dan kepedulian untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan.

Kadang dia pasrah --ikhlas bila terjadi sesuatu padanya-- melihat luapan semangat dan pengabdian Mario untuk menghadirkan berita-berita aktual kerusuhan yang berisiko tinggi. Kepada Mario yang dijuluki "Papa Crazy" Maria mula-mula menaruh kekaguman, lalu menyampaikan penghargaan, kemudian meningkat penuh perhatian dan saat merasa berbalas, dia akhirnya mengutarakan isyarat cinta. Cinta yang kemudian berlanjut, intens terbina dalam kesamaan profesi, di ruang redaksi koran ternama Harian KAMPUS.

Akhirnya Mario tiba. Tetapi Maria tidak langsung memeluknya. Dia berikan kesempatan reporter-reporter yunior mengerumuni untuk mendapatkan cerita. Setelah selesai seluruh rekan-rekan sejawat memberikan salam, dia lambaikan tangan. Tentu saja Mario menyambutnya, menghampiri, dan kemudian erat mendekapnya.

Setelah menyelesaikan tugas dihadang ambang tayang, satu per satu yang ada di ruang redaksi melangkah pulang. Ada yang masih tinggal tetapi tak kuasa menahan pejaman mata. Pulas, tersungkur di sudut ruang tempat matras-matras digelar. Sementara di ruang lain, kru cetak melanjutkan kesibukan.

Hujan makin deras mengguyur. Diterpa angin malam bertualang, percikan air ikut menabur kedinginan. Imbasnya menjalar, menelusuri seluruh relung gedung. Gigil terasa merasuki tulang, setelah menembus pembungkus badan yang tak dipersiapkan menghadang. Tetapi kehangatan kopi yang disajikan Maria dan diseruput berdua, membuat ereksi otot-otot dan mengejakulasi syaraf-syaraf kelelahan mereka. Mungkin, kerinduan juga menjadi unsur stimulan, hingga mereka tetap bertahan, asyik bercengkerama tanpa merasa tersiksa.

"Terus, terus, terus…," Maria antusias ingin mendapat lanjutan cerita.

"Kuhalau tak mau mundur, kuhantam tiga orang yang mencoba memperbesar kobaran api. Lalu kuselamatkan anak yang menangis di dalam rumah yang terbakar. Dengan berlari, kupanggul anak itu, menghindari kejaran massa yang kesetanan," Mario menerangkan.

"Lalu ke mana anak itu?"

"Semula aku dikejar kelompok orang yang kuhajar tadi, dengan teriakan ’pengkhianat!’ Lepas dari kejaran kelompok itu aku terjebak dalam hadangan massa kelompok seberang, yang berteriak ’penculik!’ Kulepas saja anak itu, setelah yakin bakal diselamatkan, kemudian aku lari menyelamatkan diri."

"Mereka tahu siapa kamu?"

"Kelompok pertama pasti tahu, karena aku meliput mereka sejak kerumunan mulai terjadi. Sedang kelompok kedua mungkin mengenali identitasku, dari sarung tustel yang terjatuh, sesaat setelah keluar dari rumah itu."

"Tetapi, selanjutnya aman-aman saja kan?" Maria bertanya sambil meyakinkan. Mario tidak berucap, hanya memperlihatkan SMS dari salah seorang reporter lokal, yang berbunyi: Waspada, mereka bersumpah akan mengejarmu sampai ke liang kubur!

"Mengerikan sekali," Maria berkuduk. Tetapi hanya ditanggapi dengan senyum oleh Mario. Rupanya dia sudah terbiasa menerima pesan semacam itu. Bahkan banyak lagi yang lebih seram, sejak dia bergabung dalam aktivis HAM.

"Mama sakit, aku harus temui dia sekarang," Mario berkata sambil berkemas.

Kasihan, pikir Maria. Karena itu, dia tidak mampu menolak ketika Mario mengajak pulang ke rumahnya.

Mama Delarosa sangat mencintai anaknya, demikian pula Mario kepada ibunya. Mereka lama berpelukan saat berjumpa, seakan lupa Maria sedang berada di sampingnya. Walaupun seminggu ditinggal pergi, kamar tidur Mario tetap rapi. Hingga Maria hanya perlu rebah saja, setelah membersihkan diri. Sebelumnya, berdua mereka berdoa dalam keheningan. Tiada kata terucap. Hanya sebuah renungan, menghadapi saat-saat kematian yang pasti akan datang. Kemudian berharap juru selamat nanti akan tiba, nenuntunnya menuju surga.

Sebagai tanda sayang, menjelang berpisah, sebelum masing-masing loncat ke alam mimpi, Maria memberikan kecupan, yang dibalas Mario dengan ciuman. Selanjutnya Maria membiarkan Mario melumat bibirnya sepuas-puasnya. Memperoleh kenikmatan, dalam kerinduan, naluri wanitanya memanjakan tangannya memeluk kekasihnya. Sambutan itu ditanggapi Mario dengan remasan dan usapan lembut ke pipi Maria yang memerah. Sementara, perlahan bibirnya merayap ke dagu tengadah, kemudian ke jenjang leher dan akhirnya ke bawah lagi menapaki sembulan dada. Gelinjang-gelinjang lengan Maria membuat Mario tertantang. Rasanya semua organ tubuhnya menjadi mengeras kencang. Nafasnya pun mulai tersengal seakan mendaki, memaksa kejantanannya untuk segera dia buktikan. Tiba - tiba,

"Jangan Mario!"


"Kenapa?"

Bersambung...
                                         
By:Nugroho Sukmanto