Jari-jarinya
piawai menari di atas keyboard komputer, sambil sesekali matanya menoleh ke
catatan-catatan referensi. Maria tak akan berhenti menulis sebelum terpuaskan
oleh naluri jurnalistik yang melipur hatinya. Hati seorang perempuan yang
peduli akan pemberdayaan kaumnya. Melalui tulisan akan dia perjuangkan sekuat
tenaga dan sepenuh jiwanya, walaupun raganya begitu lembut. Namun kelembutan
tidak berarti kelemahan, apalagi menjadi kekalahan. Karena tekadnya setegar
imannya. Yang tak akan pernah goyah oleh paksaan, apalagi hanya rayuan untuk
menyerahkan tubuhnya.
Tak lama lagi pasti Mario datang, karena dia
telah mengirim pesan, sudah ada panggilan boarding pada pesawat yang sebentar
lagi tinggal landas menuju Jakarta .
Masih saja terasa was-was. Jangan-jangan terjadi apa-apa. Tetapi seharusnya dia
terhibur, Mario sudah berada di Makassar .
Hingga perasaannya tidak lagi tercekam kekhawatiran, seperti saat Mario berada
di Poso.
Setiap dia menyaksikan tayangan kerusuhan di sana , hatinya teriris,
kemudian berlanjut dengan panjatan doa, agar Mario tidak menjadi salah satu
korban, dan kepada mereka yang menderita, dilimpahkan kekuatan dan ketabahan.
Adakah kedamaian, mengganti kerusuhan?!
Adakah kerukunan, mengganti permusuhan?! Itulah yang menjadi pertanyaan dan
harapan Maria, seperti yang dinyanyikan Achmad Albar bersama penyanyi-penyanyi
tenar lain. Menggugah kesadaran dan kepedulian untuk menciptakan kedamaian dan
kerukunan.
Kadang dia pasrah --ikhlas bila terjadi
sesuatu padanya-- melihat luapan semangat dan pengabdian Mario untuk menghadirkan
berita-berita aktual kerusuhan yang berisiko tinggi. Kepada Mario yang dijuluki
"Papa Crazy" Maria mula-mula menaruh kekaguman, lalu menyampaikan
penghargaan, kemudian meningkat penuh perhatian dan saat merasa berbalas, dia
akhirnya mengutarakan isyarat cinta. Cinta yang kemudian berlanjut, intens
terbina dalam kesamaan profesi, di ruang redaksi koran ternama Harian KAMPUS.
Akhirnya Mario tiba. Tetapi Maria tidak
langsung memeluknya. Dia berikan kesempatan reporter-reporter yunior
mengerumuni untuk mendapatkan cerita. Setelah selesai seluruh rekan-rekan
sejawat memberikan salam, dia lambaikan tangan. Tentu saja Mario menyambutnya,
menghampiri, dan kemudian erat mendekapnya.
Setelah menyelesaikan tugas dihadang ambang
tayang, satu per satu yang ada di ruang redaksi melangkah pulang. Ada yang masih tinggal
tetapi tak kuasa menahan pejaman mata. Pulas, tersungkur di sudut ruang tempat
matras-matras digelar. Sementara di ruang lain, kru cetak melanjutkan kesibukan.
Hujan makin deras mengguyur. Diterpa angin malam
bertualang, percikan air ikut menabur kedinginan. Imbasnya menjalar, menelusuri
seluruh relung gedung. Gigil terasa merasuki tulang, setelah menembus
pembungkus badan yang tak dipersiapkan menghadang. Tetapi kehangatan kopi yang
disajikan Maria dan diseruput berdua, membuat ereksi otot-otot dan
mengejakulasi syaraf-syaraf kelelahan mereka. Mungkin, kerinduan juga menjadi
unsur stimulan, hingga mereka tetap bertahan, asyik bercengkerama tanpa merasa
tersiksa.
"Terus, terus, terus…," Maria
antusias ingin mendapat lanjutan cerita.
"Kuhalau tak mau mundur, kuhantam tiga
orang yang mencoba memperbesar kobaran api. Lalu kuselamatkan anak yang
menangis di dalam rumah yang terbakar. Dengan berlari, kupanggul anak itu,
menghindari kejaran massa
yang kesetanan," Mario menerangkan.
"Lalu ke mana anak itu?"
"Semula aku dikejar kelompok orang yang
kuhajar tadi, dengan teriakan ’pengkhianat!’ Lepas dari kejaran kelompok itu
aku terjebak dalam hadangan massa
kelompok seberang, yang berteriak ’penculik!’ Kulepas saja anak itu, setelah
yakin bakal diselamatkan, kemudian aku lari menyelamatkan diri."
"Mereka tahu siapa kamu?"
"Kelompok pertama pasti tahu, karena aku
meliput mereka sejak kerumunan mulai terjadi. Sedang kelompok kedua mungkin
mengenali identitasku, dari sarung tustel yang terjatuh, sesaat setelah keluar
dari rumah itu."
"Tetapi, selanjutnya aman-aman saja kan ?" Maria
bertanya sambil meyakinkan. Mario tidak berucap, hanya memperlihatkan SMS dari
salah seorang reporter lokal, yang berbunyi: Waspada, mereka bersumpah akan
mengejarmu sampai ke liang kubur!
"Mengerikan sekali," Maria
berkuduk. Tetapi hanya ditanggapi dengan senyum oleh Mario. Rupanya dia sudah
terbiasa menerima pesan semacam itu. Bahkan banyak lagi yang lebih seram, sejak
dia bergabung dalam aktivis HAM.
"Mama sakit, aku harus temui dia
sekarang," Mario berkata sambil berkemas.
Kasihan, pikir Maria. Karena itu, dia tidak
mampu menolak ketika Mario mengajak pulang ke rumahnya.
Mama Delarosa sangat mencintai anaknya,
demikian pula Mario kepada ibunya. Mereka lama berpelukan saat berjumpa, seakan
lupa Maria sedang berada di sampingnya. Walaupun seminggu ditinggal pergi,
kamar tidur Mario tetap rapi. Hingga Maria hanya perlu rebah saja, setelah
membersihkan diri. Sebelumnya, berdua mereka berdoa dalam keheningan. Tiada
kata terucap. Hanya sebuah renungan, menghadapi saat-saat kematian yang pasti
akan datang. Kemudian berharap juru selamat nanti akan tiba, nenuntunnya menuju
surga.
Sebagai tanda sayang, menjelang berpisah,
sebelum masing-masing loncat ke alam mimpi, Maria memberikan kecupan, yang
dibalas Mario dengan ciuman. Selanjutnya Maria membiarkan Mario melumat
bibirnya sepuas-puasnya. Memperoleh kenikmatan, dalam kerinduan, naluri
wanitanya memanjakan tangannya memeluk kekasihnya. Sambutan itu ditanggapi
Mario dengan remasan dan usapan lembut ke pipi Maria yang memerah. Sementara,
perlahan bibirnya merayap ke dagu tengadah, kemudian ke jenjang leher dan
akhirnya ke bawah lagi menapaki sembulan dada. Gelinjang-gelinjang lengan Maria
membuat Mario tertantang. Rasanya semua organ tubuhnya menjadi mengeras
kencang. Nafasnya pun mulai tersengal seakan mendaki, memaksa kejantanannya
untuk segera dia buktikan. Tiba - tiba,
"Jangan Mario!"
"Kenapa?"
Bersambung...
By:Nugroho Sukmanto