Rasa (Part 2)

Tengah malam.

Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur.

Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah Rani. Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat bapaknya datang.

”Ngapain ke mari Pak?”

”Mau jemput kamu.”

”Ami belum selesai belajar.”

”Tapi ibu kamu sakit!”

Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.

Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.

”Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”

”Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”

Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.

”Bapak kok minta maaf sama aku?”

”Ya. Harus!”

”Kenapa?”

”Bapak salah!”

”Apa salah Bapak?”

”Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”

Ami tertawa.

”Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”

”Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”

”Salah alamat bagaimana?”

”Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”

”Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya muak pada kelakuan bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk merangsang anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”

Ami tertawa.

”Salah alamat, Pak!”

”Salah alamat bagaimana?”

”Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”

”Ah?”

”Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”

Aku terpesona.

”Jadi ibu kamu?”

”Ya!”

Aku bengong.

”Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus sampai pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di situ. Biar Bapak pulang!”

”Tapi ibu?”

”Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!”

Ami tersenyum.

”Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.”

”Tidak usah!”

”Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!”

”Ami sudah selesai ujian.”

”O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”

”Di suruh ibu!”

Aku terhenyak lagi.

”Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan mau!”

”O begitu?”

”Ya.”

”Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”

”Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan pakai singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.”

Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi dia menunggu di teras rumah.

”Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang yang memang harus berani mengutarakan perasaan, karena zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah ditunggu.”

”Kamu?”

”Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”

Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik kelas.

”Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”

Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan Rani dan melambai.

”Besok saya nginap lagi semalam!”

”Jangan!”

”Itu perintah ibu!”

Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal aku. Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah pulang. Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa sendirian. Itu di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu. Bagaimana aku tidak akan mencintainya. (*)
                            
By:Putu Wijaya