Sepasang Mata Malaikat (Part 3)

DI mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya lelaki lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang
tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit.

Aku tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh.

”Aku ingin pergi ke sebuah danau…,” ucapku memecah keheningan.

Lelaki itu diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun… Tapi, dia tiba-tiba membuatku melambung.

”Besok jika kamu sudah sembuh, aku akan mengantarmu ke pantai…” ucapnya pelan, seraya mencium keningku.

”Sekarang aku sudah sembuh.”

Lelaki itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di balik selimut.

Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik.

Setelah hening, lelaki itu berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.”

Aku tak mungkin mencegahnya pergi. Aku tahu, pasti ia pulang lantaran anaknya sakit. Ia pernah bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti anaknya jatuh sakit…

***

Dalam perjalanan pulang, aku benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu karena, aku tidak ingin kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan perempuan itu, aku tak tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku bisa sakit menahun….

Tiba di rumah, kubuka pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku bukan istriku, tapi ibu mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah melahirkan istriku itu dengan takzim, ”Kamu boleh sibuk bahkan kerja mati-matian, tapi jika karena kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya kesibukanmu akan membuat hidupmu hampa.”

”Ya, Bu…,” jawabku.

Hening sejenak.

”Tapi, bagaimana dengan Noura?” tanyaku gugup.

”Noura tak apa-apa, justru sekarang yang sakit istrimu.”

Aku tercekat. Jadi ia berbohong ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang ini tidak peka? Aku langsung menerabas masuk kamar dan menemukan istriku terbaring dengan tubuh lemas. Aku duduk di tepi ranjang. Kulihat istriku menggeliat, menatapku dengan aneh.

”Kenapa tadi kau meneleponku mengatakan Noura yang sakit?”

Istriku diam.

”Kenapa kau berbohong?”

Lagi-lagi, istriku diam. Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku… entah kenapa tak lagi dingin meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku bergidik. Mata istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak henti-henti menuduhku; bahwa akulah yang sebenarnya berbohong.

The End...

Jakarta, 2012