Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Begitulah terik, siang memanggang meringkus dirinya. Tetapi bukan itu. Di sana, di puncak monumen, ada sebuah titik, amat terang, seperti bintang.
Mungkin tak tepat disebut ”amat terang” karena titik cahaya itu benar-benar menyilaukan, tak tertahan oleh tatap. Tentu pula tak bisa disebut ”seperti bintang” karena titik cahaya itu sama sekali tak bekerlip, melainkan melesat berupa garis putih tajam yang langsung menghunjam memedihkan mata begitu seseorang mencoba bertahan. Dan, itulah yang dilakukan olehnya. Dan dari mata tuanya yang buram, kuning kelabu, selintas tampak seperti mata kayu, segera merembes air, menggenang, bergulir jatuh ke kumisnya yang menyatu dengan jenggot, jambang, yang semuanya kotor, putih pirang, meranggas tak teratur panjang dan jarang.
Tetapi takkan lama. Pedih ini akan hilang. Dan, memang. Begitu air mata menyelusup di helaian kumis lalu terasa mencapai bibir, seperti kemarin-kemarin, ribuan lingkaran hitam bagai menghambur menyemaki ruang pandangnya. Dan lalu, dengan ganjil, lelaki tua itu merasa nyaman. Lingkaran hitam yang berputar-putar, sebentar memusat sebentar menebar, seolah seperti tameng—menahan hunjam cahaya. Tetapi bukan. Bukan hanya tameng. Setelah berputar memusat-menebar memusat-menebar, lingkaran hitam itu lalu menyatu, lantas mengembang, terus mengembang. Begitulah hitam jadi kelabu, kelabu jadi samar, samar jadi terang. Begitulah semua datang, semua terbentang. Bagai melayang….
Begitulah semua datang, semua terbentang. Bagai melayang… tidak. Mungkin lebih tampak seolah rebah, seperti angin menyapu ilalang. Atau menyibak. Atau mungkin membelah. Dan lihatlah, di belahan itu rel kereta masuk bagai menusuk. Menerobos hutan, pohon-pohon dengan akar yang bergelayutan. Akar-akar yang juga bagai bersembulan, merayap turun seakan ingin menjangkau rel dari dinding-dinding bukit di kiri kanan. Dan ah, dadanya, tidakkah amat berdebar? Semuda ini. Si remaja ini. Ia akan bekerja di sebuah tambang. Tambang emas!
Bagaimana semua bisa tiba-tiba berubah? Ia sendiri tak begitu tahu. Ia hanya mendengar bom besak (bom besar, orang-orang kemudian menyebutnya bom atom) dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah, lalu proklamasi. Kata Pak Daud, segala yang dulu dikuasai Jepang kini kita yang memiliki. Begitu juga tambang emas di Lebong. Dan seperti mimpi, Pak Daud, orang kampungnya yang juru tulis gudang (mereka menyebutnya magazyn schrijver) di tambang, pun mengajaknya. Maka, di atas kereta itulah ia. Kereta api kecil (mereka menyebutnya lori) dengan empat wagon yang dibelintangi papan-papan. Di atas papan itulah ia duduk. Memandang ke luar. Berdebar….
Ia pun tiba di tambang itu: Lebong Tandai. Huah! Orang- orang dengan helm, sepatu boot, beberapa dengan lampu dan baterai di pinggang, berlalu lalang. Tampak amat sibuk, tak peduli pada apa pun kecuali pada goa-goa, yang beberapa di antaranya menjulurkan rel dengan lori-lori lebih kecil (memuat bongkah-bongkah batu—batu-batu berurat emas!) meluncur ke luar tak henti-henti. Maka, mulailah hari-hari itu. Lorong-lorong, gema lori, lift ke atas ke bawah, tangga-tangga besi. Derek (pos) I, Derek II, ledakan dinamit, langit goa yang runtuh… semua terbentang, bagai melayang… tidak. Seperti hamburan. Berlompatan. Letusan? Belanda kembali datang. Menyerang tambang….
Bagaimana mereka bisa bertahan? Heran. Tetapi memang, pasokan senjata berdatangan. Kata kawannya konon karena dibeli dengan emas tambang. Bahkan Gubernur Militer pun (siapa namanya? Ia lupa) bergabung dengan mereka. Dan Belanda pergi. Masa berganti. Melayang… tidak. Kini tertahan, bagai mengambang. Dan wajah-wajah itu muncul. Makin jelas. Wajah-wajah yang datang dari keresidenan. Membujuk, meyakinkan mereka: emas dibutuhkan Jakarta. Di masa damai—untuk apa? ”Untuk Monas,” kata mereka. Monumen Nasional. ”Pusat juga perlu tahu bahwa di tanah kita, Bengkulu, ada banyak emas….”
Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Tetapi ya, bukan itu. Di sana, di puncak Monas, ada sebuah titik. Titik putih, tajam pedih, menghunjam mata. Apakah hanya matanya? Karena hari ini, lihat, ada seseorang yang juga mendongak menatap ke sana.
Orang itu masih muda, berkacamata, menyandang tas di bahu kirinya. Apakah mahasiswa? Karena tegak di tempat yang tak mencolok, di sebelah dua orang yang berlindung ke gerobak penjual rokok, ia tak tahu sejak kapan si pemuda ada di sana. Sejak kapan pulakah pemuda itu menatap ke puncak Monas? Apakah sesuatu juga terbentang, bagai melayang, dalam kepalanya? Tentu tidak. Yang pemuda itu tahu—seperti juga orang-orang tahu—ada 30 kilogram emas di sana, disepuh ke 77 bentuk berupa lidah. Tujuh puluh tujuh lidah yang dipesan dari Jepang. Dibuat di Jepang, dipasangkan di sini juga oleh orang-orang Jepang.
Tiba-tiba si pemuda menoleh, menatap ke arahnya. Tak enak ketahuan mengamati, ia mengalihkan pandang. Tetapi hei, tatapan itu. Kacamata itu. Refleks, kembali ia palingkan muka. Kacamata itu. Tatapan di balik kacamata. Bingkai kacamata dari plastik keras coklat tebal. Cuping hidung besar….
Tatapan di balik kacamata. Bingkai kacamata dari plastik keras coklat tebal. Cuping hidung besar berkilat yang melengkung naik… apakah memang diciptakan untuk menyangga bingkai kacamata yang tampak seperti berat? Dan mulut itu, mulut dengan bibir tipis melipat hingga terkesan bagai diisap dari dalam, kini tersenyum. ”Begitulah yang orang-orang dengar, Dik Najir, emas Monas itu didatangkan dari Jepang.”
Yang orang-orang dengar. Ia tak suka kalimat tak jelas itu. Dari jauh ia datang karena yakin Nur, anak Pak Daud, tak mungkin menyampaikan hal yang tak pasti. ”Ma-maaf, Pak Jusuf,” katanya. ”Tapi, yang ingin saya tahu yaa… itu, emas yang kita sumbangkan dulu.”
Pak Jusuf inilah, setelah Pak Daud meninggal, yang diangkat jadi juru tulis gudang. Jabatan terakhirnya selaku pembantu kepala bagian mesin tumbuk (mereka menyebutnya molen assistant), memungkinkan Pak Jusuf tahu aliran sumbangan emas untuk Monas itu. Wajah bulat berkacamata dengan bingkai plastik keras coklat tebal ini, seingatnya, dulu merupakan sosok sederhana, apa adanya. Tetapi, kenapa kini berbeda? Senyum itu… terasa ganjil. Ia tak suka. Agaknya ia harus terus-terang.
”Saya membutuhkannya. Untuk modal, coba berdagang.”
Senyum itu masih, tapi mata di balik bingkai besar itu berubah. Setelah merenggangkan tubuh dari sandaran kursi, mendehem beberapa kali, Pak Jusuf berkata, ”Saya paham, Dik Najir, saya mengerti. Tetapi,” senyum itu kembali, ”saya punya usul. Jalan yang lebih baik.”
”Jalan yang lebih baik? Maksud Pak…,”
”Begini,” mendehem lagi. ”Dulu, di tambang itu, kita berjuang. Lihatlah kini diri Dik Najir. Maaf… cacat. Satu kaki tak ada. Saya akan membantu, membuat usulan agar Dik Najir dapat tunjangan veteran.”
”Ah tidak! Mana bisa. Kaki saya putus bukan karena berperang. Tapi karena dinamit itu, langit goa yang runtuh….”
”Tenang, Dik Najir. Itu gampang. Saya…”
”Tidak, Pak Jusuf. Saya tak mau. Saya… maaf, saya kemari hanya untuk hal itu, soal sumbangan emas Monas yang dipulangkan. Dari anak Pak Daud saya tahu bahwa emas itu dikembalikan melalui Pak Jusuf.”
Lelaki berwajah bulat (dengan tubuh yang kini juga tak kalah bulat) itu menarik napas, seperti kecewa. Kembali disandarkannya tubuh ke kursi, mendengus, lalu berkata, ”Sebetulnya bukan dikembalikan, melainkan disalurkan.”
”Maksud Pak Jusuf?”
”Yah, disalurkan. Jadi, begini, baiklah saya terangkan.” Diperbaikinya duduk, seperti mencari lagi posisi yang tepat. ”Emas itu memang ada pada saya, tapi jumlahnya tak lagi sama. Ketika saya tanyakan kenapa tak sama, mereka bilang ada yang digunakan. Ketika saya tanyakan digunakan untuk apa karena toh kita dengar emas Monas didatangkan dari Jepang, mereka katakan bahwa begitulah keterangan dari atas, mereka hanya meneruskan. Dan karena jumlahnya sedikit, emas itu tak usah dibagikan. Sumbangkan saja, kata mereka, ke masjid atau ke sekolah atau ke apa di Lebong sini. Tidakkah itu berarti disalurkan?” Mata di balik bingkai besar itu menatap ke matanya, bagai mencari persetujuan. Lalu, ”Nah, Dik Najir tentu bertanya-tanya, sesedikit apakah emas yang mereka pulangkan hingga tak pantas buat dibagikan.”
Ragu, ia mengangguk.
Pak Jusuf mengeruk saku celananya, mengeluarkan dompet. Jemarinya merogoh, menjepit sesuatu ke luar dari dalam dompet lalu mengacungkan ke muka: uang logam satu rupiah. Kemudian katanya, ”Bila saya bagikan kepada seluruh buruh dan karyawan yang bekerja waktu itu, Dik Najir, maka masing-masingnya cuma akan dapat segini. Tak lebih.”
Satu rupiah? Ia ternganga. Hanya satu rupiah?
Seperti tahu keheranannya, Pak Jusuf mengangguk. Lalu, iseng, Pak Jusuf melambungkan koin satu rupiah itu tinggi, nyaris menyentuh loteng. Ketika koin itu bergerak turun, ketika berada pada satu titik antara loteng dan tangan Pak Jusuf yang siap menyambut, ketika itulah… terjadi peristiwa itu! Peristiwa yang takkan bisa ia lupakan: koin itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam….
Koin itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam. Meja, kursi, taplak, gorden, semua perabot di ruang tamu Pak Jusuf tampak seperti beku. Senyap. Bahkan udara pun seperti mati. Waktukah… yang berhenti? Dan Pak Jusuf, astaga, kelihatan seperti patung. Wajah bulatnya tengadah. Mata di balik bingkai besar itu menganga, menatap ke arah koin, tak berkedip. Mulutnya terbuka, hingga bibir tipis yang melipat itu benar-benar tampak. Tangannya yang terangkat, yang siap menyambut koin, kaku tergantung.
Sepuluh, dua puluh, atau mungkin tiga puluh detik. Saat koin itu bergerak turun, bersamaan dengan gerak tangan Pak Jusuf menyongsong, semua kembali seperti biasa. Tapi ajaib, koin satu rupiah itu tak tersambut. Ia terus meluncur, jatuh menimpa lantai:
”Triiingngng…!”
”Triiingngng…!”
Lelaki tua itu terkejut, tersentak. Bukan koin satu rupiah 40 tahun lalu itu, tetapi koin 1.000 rupiah yang barusan berdenting masuk ke kalengnya. Siapa yang menjatuhkan? Tak kalah terkejut, matanya segera menangkap sosok itu: si pemuda. Pemuda kacamata yang kini telah menjauh beberapa langkah. Betulkah?
Betul. Sepertiku, tidakkah tadi pengemis tua itu juga menatap ke puncak Monas? Buntung, teronggok di trotoar, kulitnya merah menghitam bagai terpanggang. Dan, mata itu, sekilas tampak seperti mata kayu, tidakkah berair bagai menangis? Pusing, lapar, di puncak sana berkilauan 77 lidah emas, aku tahu yang ia rasakan…. Tetapi mendadak, langkah si pemuda terhenti. Koin itu! Ribuan kedua! Ribuan kedua terakhir yang dipunyainya. Dengan hanya seribu, bagaimana aku bisa pulang ke tempat kos? Refleks, si pemuda membalikkan tubuh. Diayunnya kaki, tapi kembali tertegun. Apa yang ia lakukan? Meminta 1.000 rupiah itu kembali?
Konyol. Dungu. Tiba-tiba ia merasa letih. Muak. Mencari kerja terus. Memasukkan lamaran terus. Tetapi ia telah di sini, di hadapan si pengemis. Dan mata itu, mata habis menangis kuning kelabu bagai mata kayu, menatap heran ke matanya seolah bertanya: Kenapa kembali? Ada apa?
Salah tingkah, asalan ia berkata, ”Maaf, berapa umur Bapak?”
”Oh…” Si pengemis seperti lega. ”Tujuh puluh tujuh.”
Tujuh puluh tujuh? Bagai bukan angka yang asing. Tujuh puluh tujuh? Eh, tujuh puluh tujuh lidah emas…
Mungkin tak tepat disebut ”amat terang” karena titik cahaya itu benar-benar menyilaukan, tak tertahan oleh tatap. Tentu pula tak bisa disebut ”seperti bintang” karena titik cahaya itu sama sekali tak bekerlip, melainkan melesat berupa garis putih tajam yang langsung menghunjam memedihkan mata begitu seseorang mencoba bertahan. Dan, itulah yang dilakukan olehnya. Dan dari mata tuanya yang buram, kuning kelabu, selintas tampak seperti mata kayu, segera merembes air, menggenang, bergulir jatuh ke kumisnya yang menyatu dengan jenggot, jambang, yang semuanya kotor, putih pirang, meranggas tak teratur panjang dan jarang.
Tetapi takkan lama. Pedih ini akan hilang. Dan, memang. Begitu air mata menyelusup di helaian kumis lalu terasa mencapai bibir, seperti kemarin-kemarin, ribuan lingkaran hitam bagai menghambur menyemaki ruang pandangnya. Dan lalu, dengan ganjil, lelaki tua itu merasa nyaman. Lingkaran hitam yang berputar-putar, sebentar memusat sebentar menebar, seolah seperti tameng—menahan hunjam cahaya. Tetapi bukan. Bukan hanya tameng. Setelah berputar memusat-menebar memusat-menebar, lingkaran hitam itu lalu menyatu, lantas mengembang, terus mengembang. Begitulah hitam jadi kelabu, kelabu jadi samar, samar jadi terang. Begitulah semua datang, semua terbentang. Bagai melayang….
Begitulah semua datang, semua terbentang. Bagai melayang… tidak. Mungkin lebih tampak seolah rebah, seperti angin menyapu ilalang. Atau menyibak. Atau mungkin membelah. Dan lihatlah, di belahan itu rel kereta masuk bagai menusuk. Menerobos hutan, pohon-pohon dengan akar yang bergelayutan. Akar-akar yang juga bagai bersembulan, merayap turun seakan ingin menjangkau rel dari dinding-dinding bukit di kiri kanan. Dan ah, dadanya, tidakkah amat berdebar? Semuda ini. Si remaja ini. Ia akan bekerja di sebuah tambang. Tambang emas!
Bagaimana semua bisa tiba-tiba berubah? Ia sendiri tak begitu tahu. Ia hanya mendengar bom besak (bom besar, orang-orang kemudian menyebutnya bom atom) dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah, lalu proklamasi. Kata Pak Daud, segala yang dulu dikuasai Jepang kini kita yang memiliki. Begitu juga tambang emas di Lebong. Dan seperti mimpi, Pak Daud, orang kampungnya yang juru tulis gudang (mereka menyebutnya magazyn schrijver) di tambang, pun mengajaknya. Maka, di atas kereta itulah ia. Kereta api kecil (mereka menyebutnya lori) dengan empat wagon yang dibelintangi papan-papan. Di atas papan itulah ia duduk. Memandang ke luar. Berdebar….
Ia pun tiba di tambang itu: Lebong Tandai. Huah! Orang- orang dengan helm, sepatu boot, beberapa dengan lampu dan baterai di pinggang, berlalu lalang. Tampak amat sibuk, tak peduli pada apa pun kecuali pada goa-goa, yang beberapa di antaranya menjulurkan rel dengan lori-lori lebih kecil (memuat bongkah-bongkah batu—batu-batu berurat emas!) meluncur ke luar tak henti-henti. Maka, mulailah hari-hari itu. Lorong-lorong, gema lori, lift ke atas ke bawah, tangga-tangga besi. Derek (pos) I, Derek II, ledakan dinamit, langit goa yang runtuh… semua terbentang, bagai melayang… tidak. Seperti hamburan. Berlompatan. Letusan? Belanda kembali datang. Menyerang tambang….
Bagaimana mereka bisa bertahan? Heran. Tetapi memang, pasokan senjata berdatangan. Kata kawannya konon karena dibeli dengan emas tambang. Bahkan Gubernur Militer pun (siapa namanya? Ia lupa) bergabung dengan mereka. Dan Belanda pergi. Masa berganti. Melayang… tidak. Kini tertahan, bagai mengambang. Dan wajah-wajah itu muncul. Makin jelas. Wajah-wajah yang datang dari keresidenan. Membujuk, meyakinkan mereka: emas dibutuhkan Jakarta. Di masa damai—untuk apa? ”Untuk Monas,” kata mereka. Monumen Nasional. ”Pusat juga perlu tahu bahwa di tanah kita, Bengkulu, ada banyak emas….”
Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Tetapi ya, bukan itu. Di sana, di puncak Monas, ada sebuah titik. Titik putih, tajam pedih, menghunjam mata. Apakah hanya matanya? Karena hari ini, lihat, ada seseorang yang juga mendongak menatap ke sana.
Orang itu masih muda, berkacamata, menyandang tas di bahu kirinya. Apakah mahasiswa? Karena tegak di tempat yang tak mencolok, di sebelah dua orang yang berlindung ke gerobak penjual rokok, ia tak tahu sejak kapan si pemuda ada di sana. Sejak kapan pulakah pemuda itu menatap ke puncak Monas? Apakah sesuatu juga terbentang, bagai melayang, dalam kepalanya? Tentu tidak. Yang pemuda itu tahu—seperti juga orang-orang tahu—ada 30 kilogram emas di sana, disepuh ke 77 bentuk berupa lidah. Tujuh puluh tujuh lidah yang dipesan dari Jepang. Dibuat di Jepang, dipasangkan di sini juga oleh orang-orang Jepang.
Tiba-tiba si pemuda menoleh, menatap ke arahnya. Tak enak ketahuan mengamati, ia mengalihkan pandang. Tetapi hei, tatapan itu. Kacamata itu. Refleks, kembali ia palingkan muka. Kacamata itu. Tatapan di balik kacamata. Bingkai kacamata dari plastik keras coklat tebal. Cuping hidung besar….
Tatapan di balik kacamata. Bingkai kacamata dari plastik keras coklat tebal. Cuping hidung besar berkilat yang melengkung naik… apakah memang diciptakan untuk menyangga bingkai kacamata yang tampak seperti berat? Dan mulut itu, mulut dengan bibir tipis melipat hingga terkesan bagai diisap dari dalam, kini tersenyum. ”Begitulah yang orang-orang dengar, Dik Najir, emas Monas itu didatangkan dari Jepang.”
Yang orang-orang dengar. Ia tak suka kalimat tak jelas itu. Dari jauh ia datang karena yakin Nur, anak Pak Daud, tak mungkin menyampaikan hal yang tak pasti. ”Ma-maaf, Pak Jusuf,” katanya. ”Tapi, yang ingin saya tahu yaa… itu, emas yang kita sumbangkan dulu.”
Pak Jusuf inilah, setelah Pak Daud meninggal, yang diangkat jadi juru tulis gudang. Jabatan terakhirnya selaku pembantu kepala bagian mesin tumbuk (mereka menyebutnya molen assistant), memungkinkan Pak Jusuf tahu aliran sumbangan emas untuk Monas itu. Wajah bulat berkacamata dengan bingkai plastik keras coklat tebal ini, seingatnya, dulu merupakan sosok sederhana, apa adanya. Tetapi, kenapa kini berbeda? Senyum itu… terasa ganjil. Ia tak suka. Agaknya ia harus terus-terang.
”Saya membutuhkannya. Untuk modal, coba berdagang.”
Senyum itu masih, tapi mata di balik bingkai besar itu berubah. Setelah merenggangkan tubuh dari sandaran kursi, mendehem beberapa kali, Pak Jusuf berkata, ”Saya paham, Dik Najir, saya mengerti. Tetapi,” senyum itu kembali, ”saya punya usul. Jalan yang lebih baik.”
”Jalan yang lebih baik? Maksud Pak…,”
”Begini,” mendehem lagi. ”Dulu, di tambang itu, kita berjuang. Lihatlah kini diri Dik Najir. Maaf… cacat. Satu kaki tak ada. Saya akan membantu, membuat usulan agar Dik Najir dapat tunjangan veteran.”
”Ah tidak! Mana bisa. Kaki saya putus bukan karena berperang. Tapi karena dinamit itu, langit goa yang runtuh….”
”Tenang, Dik Najir. Itu gampang. Saya…”
”Tidak, Pak Jusuf. Saya tak mau. Saya… maaf, saya kemari hanya untuk hal itu, soal sumbangan emas Monas yang dipulangkan. Dari anak Pak Daud saya tahu bahwa emas itu dikembalikan melalui Pak Jusuf.”
Lelaki berwajah bulat (dengan tubuh yang kini juga tak kalah bulat) itu menarik napas, seperti kecewa. Kembali disandarkannya tubuh ke kursi, mendengus, lalu berkata, ”Sebetulnya bukan dikembalikan, melainkan disalurkan.”
”Maksud Pak Jusuf?”
”Yah, disalurkan. Jadi, begini, baiklah saya terangkan.” Diperbaikinya duduk, seperti mencari lagi posisi yang tepat. ”Emas itu memang ada pada saya, tapi jumlahnya tak lagi sama. Ketika saya tanyakan kenapa tak sama, mereka bilang ada yang digunakan. Ketika saya tanyakan digunakan untuk apa karena toh kita dengar emas Monas didatangkan dari Jepang, mereka katakan bahwa begitulah keterangan dari atas, mereka hanya meneruskan. Dan karena jumlahnya sedikit, emas itu tak usah dibagikan. Sumbangkan saja, kata mereka, ke masjid atau ke sekolah atau ke apa di Lebong sini. Tidakkah itu berarti disalurkan?” Mata di balik bingkai besar itu menatap ke matanya, bagai mencari persetujuan. Lalu, ”Nah, Dik Najir tentu bertanya-tanya, sesedikit apakah emas yang mereka pulangkan hingga tak pantas buat dibagikan.”
Ragu, ia mengangguk.
Pak Jusuf mengeruk saku celananya, mengeluarkan dompet. Jemarinya merogoh, menjepit sesuatu ke luar dari dalam dompet lalu mengacungkan ke muka: uang logam satu rupiah. Kemudian katanya, ”Bila saya bagikan kepada seluruh buruh dan karyawan yang bekerja waktu itu, Dik Najir, maka masing-masingnya cuma akan dapat segini. Tak lebih.”
Satu rupiah? Ia ternganga. Hanya satu rupiah?
Seperti tahu keheranannya, Pak Jusuf mengangguk. Lalu, iseng, Pak Jusuf melambungkan koin satu rupiah itu tinggi, nyaris menyentuh loteng. Ketika koin itu bergerak turun, ketika berada pada satu titik antara loteng dan tangan Pak Jusuf yang siap menyambut, ketika itulah… terjadi peristiwa itu! Peristiwa yang takkan bisa ia lupakan: koin itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam….
Koin itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam. Meja, kursi, taplak, gorden, semua perabot di ruang tamu Pak Jusuf tampak seperti beku. Senyap. Bahkan udara pun seperti mati. Waktukah… yang berhenti? Dan Pak Jusuf, astaga, kelihatan seperti patung. Wajah bulatnya tengadah. Mata di balik bingkai besar itu menganga, menatap ke arah koin, tak berkedip. Mulutnya terbuka, hingga bibir tipis yang melipat itu benar-benar tampak. Tangannya yang terangkat, yang siap menyambut koin, kaku tergantung.
Sepuluh, dua puluh, atau mungkin tiga puluh detik. Saat koin itu bergerak turun, bersamaan dengan gerak tangan Pak Jusuf menyongsong, semua kembali seperti biasa. Tapi ajaib, koin satu rupiah itu tak tersambut. Ia terus meluncur, jatuh menimpa lantai:
”Triiingngng…!”
”Triiingngng…!”
Lelaki tua itu terkejut, tersentak. Bukan koin satu rupiah 40 tahun lalu itu, tetapi koin 1.000 rupiah yang barusan berdenting masuk ke kalengnya. Siapa yang menjatuhkan? Tak kalah terkejut, matanya segera menangkap sosok itu: si pemuda. Pemuda kacamata yang kini telah menjauh beberapa langkah. Betulkah?
Betul. Sepertiku, tidakkah tadi pengemis tua itu juga menatap ke puncak Monas? Buntung, teronggok di trotoar, kulitnya merah menghitam bagai terpanggang. Dan, mata itu, sekilas tampak seperti mata kayu, tidakkah berair bagai menangis? Pusing, lapar, di puncak sana berkilauan 77 lidah emas, aku tahu yang ia rasakan…. Tetapi mendadak, langkah si pemuda terhenti. Koin itu! Ribuan kedua! Ribuan kedua terakhir yang dipunyainya. Dengan hanya seribu, bagaimana aku bisa pulang ke tempat kos? Refleks, si pemuda membalikkan tubuh. Diayunnya kaki, tapi kembali tertegun. Apa yang ia lakukan? Meminta 1.000 rupiah itu kembali?
Konyol. Dungu. Tiba-tiba ia merasa letih. Muak. Mencari kerja terus. Memasukkan lamaran terus. Tetapi ia telah di sini, di hadapan si pengemis. Dan mata itu, mata habis menangis kuning kelabu bagai mata kayu, menatap heran ke matanya seolah bertanya: Kenapa kembali? Ada apa?
Salah tingkah, asalan ia berkata, ”Maaf, berapa umur Bapak?”
”Oh…” Si pengemis seperti lega. ”Tujuh puluh tujuh.”
Tujuh puluh tujuh? Bagai bukan angka yang asing. Tujuh puluh tujuh? Eh, tujuh puluh tujuh lidah emas…