Miss. Free and Mr. Tajir

Dengan kondisi badan yang lesu siang itu sepulang sekolah, Hani berjalan menuju halte tempatnya biasa berteduh dari terik maupun hujan sambil menunggu angkutan umum. Tepat pukul dua siang ketika sejenak ia menengok jam di pergelangan tangannya. Sambil mengusap keringat di keningnya Hani tak lepas mengawasi datangnya angkot yang menuju jurusan rumahnya. Siang begini memang susah mendapatkan angkot yang penumpangnya tidak penuh. Hani menarik nafas panjang agak kesal. Akhirnya ia berpasrah dan duduk di kursi halte sambil mengipas-ngipaskan dengan kedua tangannya karena kegerahan.

Tak lama berselang, datang pula seseorang yang sangat familiar duduk agak jauh dari tempatnya. Cowok itu adalah Al Ghifari, yang beken dengan nama Al. Cowok yang pernah diincarnya, yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali sejak masuk SMU namun harus segera dilupakannya. Yah, Al adalah kakak kelasnya yang paling populer dan berpacaran dengan cewek ketua Cheers yang pun beken di sekolah, Karen.

Rasa kagum yang telah lama terkubur, kini kembali merekah ketika kali ini Al dapat dipandanginya dalam jarak yang tidak jauh dan bukan hanya sepintas ketika ia berlalu tanpa sedikit pun menyadari kehadirannya.

Entah apa yang ditunggu Al di halte itu. Biasanya, anak tajir itu selalu pulang dengan kendaraan pribadinya yang mewah bersama Perfect girl-nya. Namun kali ini, "Halte?? Am I dreaming?" Ujarnya dalam hati.
Yang lebih mengherankan adalah ketika Al beranjak pergi setelah terduduk lama dengan lamunan yang dalam. “Apa Al jatuh bangkrut yaah sampai galau gitu? Nunggu di halte pula.” tanyanya konyol dalam hati. Spontan Hani bediri dan mengikuti langkah Al yang berjalan kian cepat menjauhi halte. Yeah, si cowok cool… jalan kaki tengah hari bolong and the Big question in her mind is…WHY?? rasa penasaran itulah yang menuntun Hani mengikuti langkah Al. Seolah akan ada jawaban pada tujuan Al pergi.

Dengan tas selempangnya, Hani berjalan mengendap-endap dan sembunyi-sembunyi mengikuti kemana Al menuju. Pohon-pohon di sekitarnya menjadi tempat ber-kamuflase paling andal dalam misi detektif gadungannya kali ini.

Telah jauh mereka berjalan dengan jarak yang konsisten. Hingga di suatu persimpangan ketika sedikit saja Hani menoleh dan lengah, Al menghilang. Hani mengintip-intip keadaan di sekitar namun entah kemana Al lenyap. Hani berlari kecil ke arah pijakan terakhir Al dilihatnya. Namun nihil. Hani kini dengan terang-terangan mencari keberadaan Al. Ia celingak-celinguk kiri kanan sambil bertolak pinggang.

Akhirnya setelah menarik nafas panjang, Ia berbalik arah karena kecewa misinya tidak berhasil. Dan, DORRRRRRR!!! Seperti ditembak polisi karena tertangkap tangan melakukan kejahatan, Al ternyata telah berdiri tegap sejak tadi di belakangnya. Dengan ekspressi datar walau matanya menyiratkan kekesalan.

“Ngapain lo ngikutin gua dari tadi?” tanya Al datar dengan tangan disilangkan di depan dada.

Hani jadi salah tingkah, “Gue… gue gak ngikutin Lu kok, Al. Arah rumah gue yaa ke arah sana. Jadi….”

“Kalo rumah Lu ke arah yang sama dengan gua, kenapa mesti mengendap-endap? Trus, siapa Lu sebenarnya? Kenapa Lu tau nama gue?”

Hani tak tahu harus bilang apa. Dalam keadaan seperti ini tidak mungkin dia memperkenalkan diri dengan manis. Walau pertanyaan-pertanyaan Al datar, sepertinya ia sangat tidak suka dengan tindakan Hani. Tidak ada gaya yang pas saat itu selain menunduk dan pura-pura merasa bersalah.

“Apa Lu disuruh sama Karen ngikutin gua?” tanya Al lagi sambil menyunggingkan senyum sinis.

“Gini yaah… gua gak tau siapa Lu. Tapi gua kasih saran, kalo lu gak ada kerjaan… gak usah jadi kacungnya Karen.”

Hani tersentak dengan kata-kata Al. Dan tanpa merasa bersalah, Al berbalik arah dan pergi begitu saja. Apa katanya? Kacung? Tersinggung? Jelas saja. Ia tak ada sangkut pautnya dengan Karen. Namun dengan kasarnya Al menyebut dirinya sebagai kacung. Tidak terima diremehkan, Hani mencengkram lengan Al dan menariknya paksa hingga berbalik badan kemudian sebuah tamparan melayang tepat di pipi Al. Al terkejut melihat aksi kemarahan Hani.

“Gue emang gak penting buat dikenal. Tapi jangan berpikir kalo gue gak sekeren temen-temen lo itu berarti gue kacung. Justru temen-temen keren lo itulah yang bisa disebut kacung. Gini-gini, gue gak bergantung atau menjilat kepada siapapun apalagi sama 'Mr. Tajir' yang sombong kayak lu atau Karen pacar lo si 'Miss Perfect'. Kalo lo ingat pelajaran ini, ingat juga gue. 'Miss Free'.” Ucap Hani dengan nada tinggi.

Setelah mengeluarkan serentetan kata-kata pedasnya, Hani berbalik dan pergi meninggalkan Al yang masih tertegun dengan sikap Hani. Ia masih terpaku di tempatnya berdiri hingga Hani menghilang dari pandangannya.

Sehari berselang sejak kejadian itu. Hani dan sahabatnya Ayla sedang memesan makanan di kantin sekolah. Menu biasa yang tak ada bosannya. Semangkuk bakso dan sebotol teh. Setelah itu mereka duduk di meja yang mungkin agak besar untuk mereka berdua.

“Eh, Han… jangan kebanyakan tuh sambelnya. Ntar maag lu kambuh lagi. Gue juga yang repot jagain Lo di UKS”, ujar Ayla bercanda.

Hani langsung sewot, “Idihhh gak kebalik tuh? Ada juga gue yang repot jagain elu di UKS kalo lagi pingsan rutin hari Senin.” Mereka pun tertawa bersama sambil menyeruput kuah bakso yang masih panas.

Kemudian, Al and The Geng masuk ke kantin agak sedikit gaduh dan langsung mengambil minuman dingin di kulkas kantin. Setelah semua kebagian, mereka pun mencari tempat duduk. Namun tak ada tempat yang lebih lowong selain meja yang ditempati Hani dan Ayla. Segera saja Fery teman Al mendatangi meja tersebut dan duduk di samping Ayla.

"Eh, cewek-cewek cupu. Kalo lo gak mau dapat masalah mending cari tempat lain buat makan.” Ujar Fery pelan.

Ayla yang lugu tampak ketakutan. Matanya melirik ke arah Hani dan memberi kode untuk tak cari masalah dan segera pergi. Hani diam saja tidak bergerak sedikitpun. Bahkan sepertinya ia membangkang perintah Fery. Ia masih kukuh di tempatnya sementara Ayla terus menarik-narik baju Hani tak sabaran.

“Ngantri napa, Mas? Belom juga setengah gue habisin makanan gue.” Ujar Hani.

Fery tersungging sinis. “Udah, lo makan bakso di tempat lain aja. Di luar pagar belakang sekolah juga ada tuh yang jualan bakso. Kalo lo gak punya cadangan duit, ‘tar gue yang bayarin bakso lo itu.” Teman-teman Al pun terbahak-bahak mendengar Fery mengerjai cewek-cewek itu. Mereka mendekat mengelilingi meja itu.

Sepintas Hani menyadari kehadiran Al yang walaupun tak ikut mengejek dan hanya berdiri dengan cool cukup membuat risih. Mereka ini terbuat dari apa sih? Mereka ini mainan lilin ya yang gak terlahir dari perempuan sampai gak menghargai perempuan kayak gitu. Hani mendongkol dalam hati dan akhirnya mengalah. Ia pun berdiri mengikuti ajakan Ayla dan beranjak pergi tanpa menoleh sedikitpun kepada Al yang sejak tadi sudah memperhatikannya.

Jam pulang pun tiba. Ayla dan Hani berpisah di gerbang sekolah karena tinggal di arah yang berlawanan. Dan, Hani seperti biasanya menunggu di halte. Sudah agak sunyi ketika mereka pulang setelah rapat organisasi seni siswa-siswi yang berlalu lalang juga tinggal sedikit.

Dengan santai Hani duduk menunggu angkutan umum yang lewat. Namun sepertinya angkutan umum yang beroperasi makin sedikit di jam 3 sore itu. Mungkin mereka memilih jalan alternatif lain selain melalui kawasan sekolah mereka yang muridnya kebanyakan sudah pulang.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti sebelum halte. Dari sana, turunlah Al yang tampaknya sendiri menghampiri Hani. Ia pun duduk dengan jarak yang tidak terlalu dekat. “Gua mau minta maaf atas perlakuan temen gua tadi.”

Hani menoleh ke arah Al dengan tatapan meremehkan, “Lo bicara sama gue?”

Al tidak menjawab apa-apa.

“Well, setelah lo cuma bisa diam aja gue dipermalukan seperti tadi, sekarang udah gak ada orang, lo baru bisa minta maaf? Udah gak ada gunanya, tau. Ada angin apa lo bersedia merendahkan derajat minta maaf ke gue? Gak salah? Lagian, lo yakin kalo kesalahan lo itu Cuma yang tadi aja?”

Ekspresi Al tetap saja datar mendengar perkataan Hani. “Segitu sakit hatinya yah lo atas kejadian tadi dan kemarin?”

Hani terdiam sejenak. “Gue… gak sakit hati kok dengan kelakuan temen-temen lo. Kaum mayoritas memang gak aneh bertingkah seperti itu. Meremehkan orang lain berdasarkan harta yang mereka miliki. Di otak mereka tuh cuma harta yang bisa menjadi tolak ukur strata seseorang. Pikiran mereka sempit. Gak bisa melihat dunia segini luas dengan kelebihan masing-masing.”

“Lo perlu tau, kemarin itu gua gak bermaksud ngeremehin lo. Gua kira lo suruhannya Karen.” Ucap Al.

“Karen…?” Hani mengerutkan kening. “Ngapain cewek lo sendiri pake suruhan-suruhan gitu? Bukannya kalian ketemu tiap hari? Lo jangan bikin alasan yang gak masuk akal deh…”

Al tampak berpikir dalam. “Emang harus gua ngejelasin masalah pribadi gua ke lo? 'Miss free' yang baru gue kenal.”

“Kalo lo berpikir penjelasan itu bisa menguatkan alasan lo, kenapa nggak?” Sahut Hani.

Al kembali terdiam sebelum kembali menjawab pertanyan Hani. “Gua…. kemarin baru putus dengan Karen. Dia gak terima. Gua pergi, dan… gua pikir lo disuruh nge-buntutin gua.”

“Sorry, bukannya gue kepo. Tapi sepertinya gak mungkin lo yang begitu care sama Karen bisa mutusin dia gitu aja.”

“Tau darimana lo gua care banget sama Karen.”

“Yaa taulah. Secara gue selalu merhatiin lo saat berjalan dengan Karen. Si 'Miss Perfect' yang always be with her Prince.”

Al menoleh sedikit pada Hani, “Jadi selama ini lo selalu merhatiin gua?”

Hani terkejut karena terjebak dengan pengakuannya sendiri. Ia berusaha tidak canggung dengan serangan balik Al. “Gue… nggak gitu juga. Cuma, geng lo itu kalo lewat berisik banget sampai jadi pusat perhatian. Makanya setiap lo and cewek lo juga antek-antek kalian lewat, gue perhatiin.”

“Gue baru ingat, lo pernah berpapasan jalan dengan gua tidak sengaja di depan perpus. Dan waktu itu lo merhatiin gua. Tapi saat gua sadar dengan hal itu, lo langsung buang muka walau salah tingkah. Sepertinya lo udah lama kan merhatiin gerak gerik gua?”

Mereka saling bertatapan. Menunggu respon dari Hani, dan entah akan menjawab apa dengan fakta lama yang diungkap Al. Dan, suara klakson mobil lewat membuyarkan tatapan mereka.

“Okey, sepertinya sudah ngawur terlalu jauh dan lo belum menjawab pertanyaan gue.”

“Karen… ngehianatin gua. Gua mergokin dia lagi jalan dengan cowok lain. Dan lebih ngecewain lagi, ternyata sohib-sohib gua udah tau hal ini jauh sebelum gue tahu. Tapi, entah fasilitas apa yang Karen sogokin sampai mereka selama ini gak pernah ngelaporin penghianatan Karen ke gua. Gua gak tau siapa yang bisa dipercaya sekarang. Rasanya gua mau kabur aja dari mereka. Dari lingkungan yang bikin gua hampa. Gua gak tau apa tujuan mereka, sampai gua gak tau apa sebenarnya yang gua inginkan. Pergaulan berjalan begitu saja. Selalu biasa. Gak ada yang luar biasa.” Jawab Al.

“So, kenapa lo masih betah-betahnya sama mereka kayak tadi?”

“Itu gak akan bertahan lama..”

“Gue, bukan ahli psikology yah yang bisa bantuin lo nyelesaiin masalah. Tapi gue saranin, lo harus punya pendirian. Lo gak boleh lari dari kenyataan seberat apapun. Gue tau, sebenarnya lo punya kemampuan mengontrol keadaan. Kalo nggak, berarti gue masih jauh lebih hebat donk dari lo. Si Miss Free yang bebas menentukan kenyamanan buat dirinya sendiri tanpa bergantung.” Ujar Hani tersenyum puas sambil menghirup udara segar dalam-dalam.

Al tersenyum tipis melihat tingkah Hani. “Gua emang butuh seseorang yang bisa jujur kalo gua salah atau benar. Bukan seperti mereka yang munafiknya membenarkan semua tentang gua. Sepertinya, Lu orang yang tepat. Atau mungkin orang yang gua butuhin.” Tatapannya penuh arti pada si Miss Free yang menurutnya telah membuka pikirannya dari sifat monoton teman-temannya. Ternyata di luar lingkupnya, banyak orang-orang menyenangkan yang tidak dia kenal sebelumnya. Hani hanya menatapnya serius tidak percaya dengan yang dikatakan AL.

Begitulah pembicaraan mereka berlangsung hingga berpisah menuju rumah masing-masing sore itu. Sebuah hubungan baru dimulai. Hubungan biasa dengan orang yang tidak biasa. Hubungan yang pernah nyaris tidak mungkin namun kini terjadi. Hubungan baik dengan "someone special" yang diidamkan setiap cewek yang mengagumi tampang cakep itu.

Hari ini, seperti hari baru bagi Hani. Dengan semangat ia melangkahkan kaki ke sekolah dengan senyum yang selalu terhias di wajahnya. Seolah kicauan burung, hangat mentari, bunga merekah menjadi bingkai hatinya pagi ini. Tak sabar ia bercerita pada Ayla sahabatnya.

“Tau gak sih, kemaren tuh gue ngobrol laaaaama banget dengan Al.” Ceritanya bangga pada Ayla saat bertemu di kelas.

“Ahh, masa sih? Gak mungkin deh, Haaaan….” rengek Ayla tak percaya.

“Seriusannn, La. Malah dia curhat ke gue tentang perselingkuhan Karen.” jelas Hani menggebu-gebu.

“Suerrr… coba lo ngaak pulang duluan. Lo pasti juga bisa ngobrol sama Al. Dia tuh charming banget. Seneng banget deh gue.”

Pembicaraan mereka pun terhenti tiba-tiba saat guru Kimia masuk ke kelas di jam pelajaran pertama. Saking senangnya cerita mereka tidak menyadari bel tanda masuk telah berdering sejak tadi.

Jam pelajaran pertama dan kedua berjalan tanpa konsentrasi Hani. Pikirannya melayang-layang keluar kelas. Dalam pikirannya ingin sekali berpapasan dengan Al sebentar lagi. Hingga akhirnya, Setelah beberapa jam bel istirahat berdering juga.

Tidak sabaran Hani menarik Ayla keluar kelas segera. Dulu, tak sehari pun Hani tak melihat Al berjalan di depan kelasnya. Pastinya hari ini pun begitu.

Lama duduk di koridor, Al tidak nampak dari sudut manapun di sekolah hingga jam istirahat pertama selesai. Ayla bingung, apa yang sebenarnya dicari dan ditunggu sahabatnya. Jam istirahat kedua pun sama.

Keesokan harinya, Al tetap tak muncul. Ingin sekali ia tahu bagaimana reaksi Al saat bertemu dengannya setelah pemnicaraan sore itu dengannya. Bukankah hari itu Al memberinya posisi penting dalam hidupnya walaupun bukan untuk sebagai pacar? Tapi bukan itu, entah kenapa perasaannya sedikit khawatir. Namun entah tentang apa. Disadari oleh Al atau tidak, Hani tak pernah sehari pun tak memperhatikan Al lewat di depan kelasnya.
Hani ingin sekali bertanya kepada teman-temannya, tapi rasanya tidak mungkin. Padahal ingin sekali Hani tahu kabar Al saat ini. Sehari, dua hari, tiga hari berlalu hingga seminggu Al tidak pernah muncul di sekolah.

Kembali dengan lesu hidupnya Hani menyeret langkahnya ke halte sepulang sekolah siang itu bersama Ayla. “Lo beneran gak apa-apa, Han?”

“Gue ngaak apa-apa kok, La. Lo pulang duluan gih.”

“Gara-gara Al yah, Han?”

“….” Hani terdiam.

“Ngapain sih lo ngarepin sesuatu yang gak jelas gitu? Gue tahu lo tuh dari dulu mengharapkan sesuatu yang special dari Al. Tapi Lo tau sendiri, kita gak mungkin menjangkau orang seperti mereka.”

“Gue juga gak ngerti, La. Sore itu, disini… dia bener-bener jadi sosok yang beda. Bahkan, tatapannya itu belum pernah sekalipun gue lihat. Gue masih ingat jelas caranya ngarepin gue. gue gak ngerti apa maksud dia. Gue mau tahu responnya setelah itu bagaimana tapi aneh dia menghilang gitu aja. Teman-teman dia juga gak serese’ kemarin-kemarin, kan? Seperti ada yang aneh juga dengan mereka. Trus…”

Tiba-tiba Ayla membekap mulut Hani ketika Bella antek-anteknya Karen berlalu di depan mereka sambil sibuk menempelkan ponsel di telinganya. “Iya. Gue urus semuanya, Karen. Pokoknya, gue bakal nyiapin party yang oke untuk acara perpisahan Al senin next week. Okey, gue gak bakal ngecewain elu kok. Pokoknya Al bakal terkesan dengan party lu. Gue jamin, Al bakal balikan lagi sama lu.”

Hani dan Ayla saling bertatapan. “Perpisahan?”

“Hhmm… gue denger sih, Al bakal pindah sekolah ke luar negeri.” Sahut Alya.

“Kenapa lo gak bilang dari awal sih, Ayla?” tanya Hani dengan nada kecewa.

“Han, gue gak mau lo terlalu berharap sama dia.”

“Ayla, gue gak nyangka. Lo sama Al tuh sama-sama ngecewain. Gue juga cukup sadar diri, La. Gue gak mungkin lebih dekat dengan Al atau buat jadi pacarnya. Tapi lo tau kan, kesan pertama gue dengan Al di halte tuh berarti banget. Emang… mungkin cewek kayak gue gak bisa suka sama orang ataupun sekedar berharap menjadi teman di sampingnya.”

Hani pergi tanpa mendengarkan sedikitpun penjelasan Ayla.

Tibalah senin yang tidak diharapkan Hani. Hari itu suasana memang berbeda. Sepertinya guru-guru juga mengerti kalau anak Donatur Utama di sekolah itu akan mengadakan perpisahan. Oleh karenanya pelajaran hari itu tidak terlalu ketat. Jelas saja, Orangtua Al banyak memberi sumbangan untuk operasional sekolah.

Suasana sekolah siang itu lebih mirip Porseni atau mungkin bazar musik. Makanan, music band, cheers, dan… AL akhirnya muncul di sekolah. Semua orang mengitarinya. Terutama Karen yang terus mepet dengan sok angggunya. Semua berjabat tangan dengannya, bahkan dengan siswa-siswi yang tidak dikenalnya sebelumnya.

Tiba-tiba, tatapan Al bertemu dengan Hani dari jarak yang cukup jauh. Lama sekali tatapan Al terpaku pada Hani yang pun menatapnya namun dengan makna berbeda. Sadar Al tak berhenti menatapnya, ia beranjak dari tempatnya berdiri dan masuk menyendiri di kelas. "Pergilah Al. Kita tak saling kenal. Percuma mengucapkan perpisahan. Toh kamu tidak merasa pernah bertemu denganku". Ucap Hani dalam hatinya.

Tak lama berselang, ia sangat terkejut ketika Al dengan sigap masuk ke kelasnya dan mendekat dengan pasti ke arahnya. “Gua mau bicara dengan Lu.” ucap Al.

“Rasanya kita gak punya bahan untuk dibicarakan. Lagian, lo yakin kenal sama gue?”

“Han, please… sore nanti gua berangkat ke Amerika. Ada yang penting yang perlu gua omongin.” Sadar mereka jadi pusat perhatian teman sekelas Hani, juga Karen dan antek-anteknya yang baru tiba dan tercengang Al menghampiri si cewek gak beken Hani, Al menarik paksa Hani untuk ikut dengannya menerobos kerumunan orang.

Tiba di suatu tempat yang agak sepi, Hani menyentakkan genggaman Al. “Apa sih maksud lo?”

“Gua, mau bicara sama lu.”

“Gue nggak mau. Gue nggak mau ketemu sama lo. Lo itu pemberi harapan palsu.” Hani bermaksud kabur dari hadapan Al.

Namun belum sepenuhnya Hani berbalik, Al menarik kuat Hani hingga berada dalam pelukannya. Al mendekap Hani kuat. Sementara mata hati terbelalak tak percaya dengan apa yang dilakukan Al.

“Al, lepasin gue…” pintanya pelan.

“Gue gak akan ngelepasin Lu, Han. Tolong dengarin gua.”

“Gua mau berterima kasih sama Lu. Lu udah ngebuka pandangan gua terhadap semua hal. Gua udah lama menyadari sikap teman-teman gua. Makanya kepergian gua keluar negeri ini, udah lama gua putusin. Dan bokap gua setuju. Semuanya sudah diurus bokap gua disana. Makanya gua nggak bisa mengelak. Padahal, bertemu dengan lu sebenarnya hal baru yang menarik buat gua.”

“Al…”

“Gua mau pamit, Han. Maafin gua. Gua nggak bisa lama disini.” Al melepaskan dekapannya dan menggenggam tangan Hani.

“Gue gak ada hak ngelarang lu pergi. Gue bukan siapa-siapa. Kenapa mesti pamit seperti ini ke gue?”

“Justru itu… Seminggu ini gua ngebayangin lu terus. Senyum si Miss Free, marahnya, galaknya, semua wise word lu, memenuhi pikiran gua. Gua nggak mau nyesel baru bisa bilang ini setelah gua gak bisa bertatapan langsung dengan lu.”

“Hani…. would you be mine, please?” pinta Al dengan tatapan penuh harap sambil mengecup tangan lembut Hani.

Beberapa lama Hani terdiam dan berpikir hingga ia menjawab, “Mungkin tidak secepat itu. Tapi, gue kosongi hati gue buat lo di waktu yang tepat. Gue akan menunggu saat itu”

“Thank You, Honey. Makasih sayang. My Miss Free yang cantik. Lo hadir mengubah segalanya. Lo yang terbaik buat gua.” Kembali Al mendekap erat Hani yang tersenyum sambil berkaca-kaca.
                                                    
By: Siskawati Yunus Murad