Langit senja berselimut mendung tipis, tampak gerimis lembut berjatuhan membasahi suasana senja yang masih belia. Lalu-lalang manusia menelusuri lorong jalan kehidupan. Kulangkahkan kakiku memasuki halaman masjid, penat terasa sekujur tubuh. Kubasuh muka dan jiwa untuk bersujud kepadaNya. Kesejukan jiwa mewarnaiku. “Alhamdulillah” Kata ini yang selalu terucap dalam benakku setelah aku selesai menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Rabbnya.
Duduk santai di serambi masjid melepas rasa penat setelah satu hari menjalankan aktifitas rutinku sebagai seorang karyawati kantoran membuatku terasa lebih rileks. Seorang wanita muda seusiaku duduk disebelah kananku, pertama dia tersenyum padaku, aku membalas senyumannya. Terlintas dibenakku begitu saja, aku mulai tertarik memperhatikannya, sekilas penampilannya tidak mencerminkan kalau dia seorang pekerja kantoran. Baju gamis serta jiblab besar yang menutupi disetiap lekuk tubuhnya, membuat sekilas orang terkesan kalau dia seorang ibu rumah tangga biasa. Dia membawa sebuah tas besar berukuran laptop, ini yang membuatku penarasan padanya. Ingin rasanya aku menyapanya dan menanyakan rasa penasaran ini. Tapi ada sedikit keraguan, aku takut menyinggung perasaannya. Oh, ternyata dia yang menyapaku terlebih dahulu.
“Assalamualaikum ukti.” Dengan senyuman dan suara yang lembut dia menyapaku.
“Waalaikumsalam”. Aku membalas sapaannya dengan sebuah senyuman.
“Ukti kerja?” Dia kembali bertanya dan memualai pembicaraan.
“Alhamdulillah iya, dan anda sendiri kerja?” Kuberanikan diriku untuk bertanya, ini kesempatan untuk menjawab rasa penasaran yang sejak tadi meliputiku.
“Alhamdulillah tidak, baru dua jam yang lalu aku mengundurkan diri dari pekerjaanku.” Jawabannya membuatku lebih penasaran dari sebelumnya.
Aku kembali bertanya. “Emang kenapa, kok anda berhenti dari pekerjaan.” Kali ini pertanyaanku dia balas dengan senyuman, iya senyuman yang lembut membawa keteduhan jiwa yang melihatnya, aku mengenalnya baru satu jam lalu tapi terasa sudah begitu lama aku mengenalnya.
“Ukti sudah menikah?” Dia kembali bertanya, dan pertanyaannya membuatku terpojok dalam satu kenyataan.
Aku mengelengkan kepala tanda bahasa tubuhku dan berkata. “Belum.”
Sepontanitas dia bertanya lagi. “Loh, kenapa ?”
Peratanyaan yang tidak bisa aku jawab dengan kata-kata, mulutku diam dan membisu, aku hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman dibibirku.
‘’Ukti, tahu kenapa aku berhenti bekerja? Itu karena suamiku. Aku menikah dengannya karena agamanya, dulu kami satu kampus waktu kuliah, Cuma beda jurusan. Cinta kami bersemi begitu indah semakin hari bibit cinta dihati kami tumbuh kian subur, bagaikan tanaman yang tumbuh di tanah yang gembur dan mendapatkan pupuk yang cukup. Setelah lulus kuliah kami tak buang waktu lagi, dia melamarku dan kami pun menikah. Waktu itu kami belum bekerja, maka kamipun berusaha mencari pekerjaan. Tapi, nasib kami memang berdeda aku segera mendapatkan pekerjaan sementara suami sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan yang layak baginya, selama ini dia bekerja apa adanya, dia bekerja sebagai pedagang sayur keliling yang penghasilannya seper sepuluh penghasilanku setiap bulannya. Tapi sudah menjadi janji kami, untuk saling setia, dan aku menerimanya apa adanya. Hidup terus berjalan dan dilema hidup itu pasti ada di setiap anak manusia. Waktuku banyak tersita di luar rumah karena tuntunan pekerjaanku, sedangkan suamiku ada di rumah. Maka dialah yang banyak mengerjakan pekerjaan yang ada di rumah, pekerjaan rumah yang mestinya aku kerjakan dia yang mengambil alih. Sudah menjadi komitmen kami untuk saling membantu dalam urusan rumah tangga, maka dia pun mengerjakannya dengan ikhlas tanpa beban.” Dia Farida nama temanku yang baru aku kenal bebarapa saat yang lalu menceritakan apa yang sedang terjadi pada dirinya dengan gamblang.
Rona merah menghiasi senja diujung langit tampak indah, seolah menyapa membawa angan dan asa menyambut malam sejuta rasa. Hujan gerimis yang sejak tadi menghiasi langit senja kini telah reda. Tak terasa hampir tiga jam kami duduk di serambi masjid, aku mendengarkan ceritanya seperti novel yang ia bacakan padaku. Menyimak kata perkata yang keluar dari relung hatinya dengan seksama, dia mulai melanjutkan ceritanya.
“Dua hari yang lalu, suamiku sakit disaat yang sama aku juga sakit, tubuhku terasa sakit semua mungkin karena kecapekan. Ketika aku sedang berbaring, terdengar suara suamiku dari ruang tamu memanggilku, dia ingin diambilkan satu gelas air putih. Karena aku merasa aku juga sakit, maka aku menyuruh untuk mengambil air minum sendiri, dan aku pun berkata padanya kalau aku pun sama sakit. Waktu itu malam semakin larut dikesunyian malam aku tertidur lelap, aku terbangun jam 1 malam, aku baru ingat saat itu aku belum sholat isya’. Maka aku pun segera mengambil air wudlu, ketika aku melewati dapur, semua piring kotor sudah bersih semua dapur pun tampak bersih, ini semua suamiku yang mengerjakan dalam kondisi sakit, tak terasa air mataku pun jatuh menetes membasahi kedua pipi ini. Ya Allah apa yang telah hamba lakukan terhadap suami hamba, begitu dzholim kah hamba ini ya Allah, dia punya hak atas diri hamba. Hamba pun punya kewajiban atas dirinya, tapi mengapa hamba menjadi seperti ini ya Allah.” Aku melihat ada kesedihan dan penyesalan yang mendalam pada dirinya. Dia menghapus buliran air mata yang membasahi kedua pipinya. Lalu dia pun melanjutkan ceritanya lagi.
‘’Malam itu aku melihat suamiku tidur di ruang tamu dengan selembar selimut tipis yang sebagai penghangat tubuhnya. Aku pun mendekatinya, aku merasakan sesuatu yang terjadi padanya. Ternyata benar badannya terasa panas setelah aku letakkan telapak tanganku diatas dahinya. Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi pada suamiku, dia benar-benar sakit dan aku istrinya baru mengetahuinya. Dia kerjakan semua apa yang menjadi tugasku sebagai seorang istri dalam kondisi sakit. Setelah aku bertanya padanya dia jawab katanya dia kasihan sama aku karena aku juga dalam kondisi sakit. Aku semakin merasa bersalah dan menyesal telah membuatnya seperti ini. Maka ditengah kesunyian dan kegelapan malam aku bawa suamiku ke UGD Rumah Sakit terdekat di daerahku. Dan sejak malam itu aku memutuskan untuk segera berhenti bekerja, aku tidak ingin berbuat dzholim lagi dan melawan kodrat sebagai istri yang kewajiban utamanya mengurus rumah tangga. Biarlah hidup ini berjalan apa adanya tapi mendapat ketenangan.” Seperti terlepas dari beban yang sangat berat, itulah aku lihat dari ekspresi wajahnya.
Senja kini telah menanggalkan mahkotanya, di sambut malam dengan penuh cahaya, sang rembulan malam bertahta dengan megahnya. Indahnya maha karya lukisan sang kuasa, hamba ini tidak dapat melukiskan dengan kata-kata. Sahabat baruku menghilang ditelan kegelapan malam dengan sepeda butut suaminya, setelah dia berpamitan kepadaku dan dia pun berkata, suatu saat nanti jika aku mempunyai suami jangan merasa malu mengatakan yang sebenarnya apa pekerjaan suami. Tidak ada keraguan dia berjalan dengan penuh kenyakinan dan tanpa beban ketika suami menjemputnya.
Ku tatap cahaya lampu yang menerangi kegelapan malam. Terlintas di benakku, kehidupan yang selama ini aku jalani sungguh berbeda jauh dengannya, sahabat yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu. Sejak kecil aku tergolong anak orang berada, orang tuaku sukses dalam dunia bisnisnya, apa yang aku inginkan sudah ada di depan mata. Catatan hidupku begitu mulus tanpa ada lika liku kehidupan , terutama dalam kondisi keuanganku, dalam soal jodoh aku pun terlalu memilih aku ingin yang sempurnah buatku, aku tak ingin menyusahkan hidupku nantinya. Padahal di dunia ini tidak ada orang yang sempurna. Selama ini penilaian dan pemikiranku salah, ada sesuatu yang harus di cari dan di perjuangkan, dan sesuatu itu lebih mulia dari apa pun di dunia ini. Yaitu orang yang mengerti ilmu agama dan dialah tipe suami yang semestinya aku cari selama ini. Orang yang sholeh. Sepanjang senja dan menjelang malam hari ini aku mendapat pelajaran yang sangat berharga dari sahabatku Farida, yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu.
Kulangkah kan kaki ini dengan sebuah senyuman, kini begitu jelas jalan hidupku yang harus aku lalui dan aku perjuangkan. Dalam hati yang terdalam aku sangat berterima kasih karena bertemu dengan sahabatku yang bernama Farida.
Cerpen Karangan: Salami Ami