Dalam Rintik Hujan di Akhir Bulan September

Senja itu mentari enggan tunjukkan sinarnya, dalam kidung rintikan hujan yang datang beserta dzikir alam pada Sang Pecipta, beratapkan gumpalan uap kelabu yang menutupi jalan, serta debu-debu yang mulai tersingkir ke tepian bahunya. Bersama senja itu, pohon-pohon melantunkan pujian terhadap berkah yang mereka dapat dengan rahmat yang telah tersebar dari-Nya. Bulan ini tepat 2 tahun yang lalu aku melihat kepergianya, dengan bahu yang basah rambut yang tertidur dan mata yang sembab karna haru airnya.

Aku melihat keluar kamar ku, melalui jendela rumah yang tertutup embun tipis oleh dinginnya udara di luar, rasa sesak ini semakin berat membawa nafas dalam waktu ku yang kian berlari.

“Mas, bukan kepergian mu yang ku sesali, bukan takdir yang ku khianati, tapi mengapa kau tak tepati janji? Bulan depan nanti pernikahan ku mas, pernikahan yang tak ku inginkan demi orang tua ku. Andai engkau tahu, dalam hati ini sungguh ku masih menyayangi mu”.

Tak terasa air mata ku pun menetes. Sungguh rasa hati masih tidak bisa terima akan perjodohan ini. Dia bukan laki-laki yang ku inginkan. Wahai Tuhan ku, bagaimana aku hendak menerimanya sedangkan dalam hati ku masih terukir wajah Mas Karim?.

Terdengar suara gretakan pintu kamar ku yang catnya sudah mulai kusam dimakan usia.

“Din... apa yang terjadi, kenapa kamu menangis disana?” seorang wanita seumur ku datang dan lekas memeluk ku dengan hangat.

Ya dia sahabat ku, yang mengerti keadaan ku, lebih dari orang tua ku, kami sangat dekat, karna kami selalu bersama sejak kecil. Aku lekas mengusap air mata ini dengan punggung tangan ku.

“Aku masih teringat akan kasih sayang mas Karim, Ra”. Parau ku jawab.

“Hari ini tepat 2 tahun lalu ia pergi, dan aku masih belum bisa melupakanya, aku masih menunggu akan janjinya yang akan datang hari ini untuk melamar ku, tapi sampai detik ini dia tak pernah datang, hanya rintikan air yang jatuh bersama hembusan udara yang dingin mencekik tubuh ku” air mata ku pun tak terbendungkan lagi.

Dengan lembutnya Zahra memegang tangan ku yang basah karna usapan air mata.

“Andini... Istighfar, ingat lah sungguh Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan dan kesengsaraan. Mas Karim memang tanpa kabar, dan ia hanya ingin kau menunggu”. Jawabnya mencoba menenangkan ku.

Zahra pun ikut larut dalam suasana sedih. “Astaghfirullah hal adzim, ia Ra. Aku mengerti akan hal itu. Tapi aku takut, aku tak ingin hal ini terjadi. Jika mas Karim tak jua datang hingga malam hari, terpaksa pernikahan yang tak ku inginkan pun terlaksana, aku tak ingin itu terjadi Ra”. Sambut ku bicara.

“Ia Din aku tahu dimana posisi mu sekarang”. Sahut zahra.

“Kamu tidak mengerti Ra, kamu tidak tahu, dan kamu tidak merasakan. Orang tua ku ingin sekali aku lekas menikah, karna mereka sudah mulai berumur, sakit-sakitan dan aku ini anak satu-satunya Ra” suaraku terisak.

Ia menutup mulut ku dengan tangan halusnya yang bergenggam tasbih itu.

“sssstttt.... ndak boleh gitu Din, kamu ingat, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, Ingat aku ini, bagian dari sejarah hidup mu, aku sedikit banyak tahu akan dirimu. Mari kita menanti, tapi kita juga harus tetap bertawakal. Ingat, Allah Is Always by your side. Apapun hasilya nanti, itu yang terbaik untuk kamu”. Zahra coba menasihatiku.

Kata-kata dan senyum tipisnya sangat menenangkan ku. Aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya. Aku pun terpaku dan merenungkan pembicaraan kami. Zahra kembali memeluku, mencoba menguatkan ku. Kami pun terdiam kembali memandang tetesan hujan yang kini mulai jarang, bersama nyanyian genangan air yang dipukulnya.

Entahlah mengapa aku bisa mencintainya. Dia hanya laki-laki yang ku temui sesaat saja. Aku sungguh terkesan dengan suaranya, begitu sejuk menggetarkan siapapun yang mendengarnya saat ia bershalawat di hari itu.  Seiring mentari berganti, kami menjalin hubungan terlarang agama, selama 2 bulan, kami terbawa rasa cinta yang menggelapkan pandangan. Akupun sadar dan memutuskan untuk menyudahinya, tapi hari itu, dalam rintik hujan, ia datang menemui ku sepulang ku dari kampus. ia akan pergi memperbaiki diri, dan berjanji 2 tahun lagi tepat di akhir bulan september ini ia akan datang menemui dan melamar ku. Sungguh itu kata-kata terakhir yang takkan ku lupa, karna hati ini mencintainya. Aku selalu menunggu sampai hari ini pun datang, dan selalu mengelak, mengulur waktu saat orang tua ku menginginkan ku segera menikah. Aku berkata, jika sampai akhir bulan september ini aku belum mendapatkan jodoh ku, aku bersedia di jodohkan dengan pilihan mereka.

“Zahra, aku sungguh menyesal dengan saat-saat tersia ku bersamanya waktu itu, aku menyesal mengapa dulu mata ku terkaburkan oleh indahnya kasih sayang darinya, padahal kasih sayang Tuhan pada ku jauh melebihinya.

"Zahra, apa yang harus ku lakukan sekarang? Aku takut jika terlalu mencintanya. Aku takut cinta ku kepada mas Karim melebihi cinta ku pada Sang Karim. Aku takut Zahra”. Zahra tersenyum tipis ke arahku

“Andini, perbanyaklah istighfar, mohon ampunlah. Sungguh Ia Sang pemberi segala ampun. Apapun yang terjadi nanti, percayalah itu jalan takdir yang Ia berikan”. Kembali ia menyejukkan hati ku dengan kata-katanya.

Kemudian Zahra mengangkat tangan ku dan menggenggamkan tasbihnya kepadaku. “ambillah! Ini akan menentramkan hatimu”. Seraya ku terima dan ku peluk zahra penuh syukur memiliki kesetiannya.

“Berwudhu lah Din, supaya hatimu lebih tenang dalam penantian ini, semoga yang terbaik untuk mu. Aku akan kembali, mungkin kamu butuh waktu untuk sendiri” senyumnya, dan nasihatnya membawakan ku oksigen di tengah rasa sesak yang ku rasa, Melepaskan seribu tambang yang mengikat tubuhku, dan mencairkan batu es yang membekukan fikiran ku.

Ya, dalam rintik hujan diakhir bulan September ini, ku tabahkan hati ku, dalam penantian yang tak pasti, bersama dzikir yang kulantunkan, bersama butiran hati yang terbarukan. Di akhir bulan September ini, bersama pohon-pohon yang yang memuji keangungan-Nya, genangan air yang mengiringinya, rintik hujan yang menyertainya, serta embun yang menghiasinya, ku sandarkan hati ku dalam dekap-Nya, mempersiapkan batin, apapun yang akan terjadi nanti. Ya dalam rintik hujan di akhir bulan September ini, aku masih menunggu akan takdir indah-Nya.
                             
By: Alfin r Bahida