Hujan Dalam Satu Harapan (Part 4)

Cahaya temaran lampu teras rumah itu dihiasi oleh curahan hujan tiada henti makin membuat Akmal berkeluh kesah. Kalau bukanlah untuk penantian cinta, Akmal tidak akan bertindak senekad itu. Tapi hati Yuniar mulai tak menentu, bingung.

“Mas… jangan di situ terus, aku kasihan melihatmu seperti itu.” Yuniar mulai angkat bicara.

Akmal hanya bisa menggelengkan kepala tanda tak mau memenuhi. Makin lama Akmal mulai merasa partikel-partikel hujan mulai membasahi pakaian yang dikenakannya. Sedikit demi sedikit mulai menusuk tulang tengkoraknya. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam badan. Akmal masih nekad, ia melepas jaket yang dikenakannya lalu melemparkan sekenanya ke tanah. Rani mungkin makin prihatin melihat tingkah Akmal, tapi tiada dayalah ia, untuk membuat Yuniar mengerti. Masih saja, Akmal yang orangnya lunak tiba-tiba menjadi keras kepala pada saat itu, sama seperti pribadi Yuniar. Mungkin kecocokan itulah yang sedikit banyak menghambat harapannya.

“Apa kamu tetap saja tidak mau menerima hadiah itu?” ucap Akmal sambil melipat kedua tangannya di dada.

Yuniar berlari ke arah jalanan yang sudah dibanjiri oleh air hujan. Akmal sempat bingung dengan hal itu. Tapi ini adalah waktu yang tepat untuk menyerahkan kado yang telah dibasahi air hujan. Setelah sebelumnya kado yang ia berikan melalui Rani gagal di terima. Dengan sangat, Akmal ingin memberikan sendiri kado itu. Kotak kado telah di buang oleh Akmal tinggalah isi dari kotak itu dan telah ada dalam genggaman Akmal. Kemudian Akmal mendekat Yuniar, sementara Rani hanya bisa menyaksikan mereka berdua. Akmal meraih tangan kanan Yuniar, sambil membuka telapak tangannya, Akmal berharap.

“Tolong , terimalah ini. Sekali lagi ini adalah kenangan pertama dan terakhir dariku, Yuniar!”

Itulah sosok Akmal, tiada kata berhenti untuk menunggu jawaban dari Yuniar. Takkan hilang harapan Akmal di hapus hujan. Sangatlah tepat dengan kegigihan Akmal, sungguh hujan takkan mampu menghapus harapannya. Akmal memutar pikirannya, ia mencari cara lain untuk meluluhkan hati keras Yuniar.

“Dasar anak yang keras kepala…!” Batin Akmal sambil tersenyum kecil melihat olah Yuniar.

Akmal yakin seyakinnya bahwasanya Yuniar hanya saja melakukan adegan hanya membuat jiwa Akmal menjadi ciut. Tapi sekali lagi, bukannlah jiwa Akmal yang mudah putus asa. Jiwa akmal laksana batu karang yang takkan goyah di terpa ombak lautan, hati Akmal takkan pernah jatuh di hantam badai sekalipun. Karena ia yakin harapannyapun akan dipenuhi oleh Yuniar semata. Akmal memutar haluan, ia mengambil jalan lain untuk mengelabuhi hati Yuniar.

“Baiklah Yuniar, kalau kamu benar-benar tidak mau menerima kalung ini, terserah!, aku minta maaf kalau sedikit memaksa, sekali lagi maaf!” ucap Akmal sambil meninggalkan Yuniar dan Rani.

Akmal berjalan menembus genangan hujan di antara kedua sisi jalan jalur Jemonistan. Ia melangkah menembus curahan hujan yang kian deras. Di tambah lagi, rasa cemas yang ia pendam kini benar-benar berubah menjadi rasa KECEWA. Kecewa akan harapannuya yang tidak dapat di balas oleh Yuniar. Setelah jauh melangkah, tiba-tiba pendengaran Akmal menangkap derap langkah dari arah belakangnya.

“Mas…! sahut Yuniar.

Akmal sekonyong-konyong tidak mendengarkan panggilan Yuniar. Itu bukan karena ia acuh tak acuh, itu adalah actingnya yang menjadi jurus terakhir untuk meluluhkan hati Yuniar.

“Mas…!” Sahut Yuniar kembali.

Akmal masih enggan mendengarkan kata Yuniar. Ia terus saja melaju tanpa merasa ber-dosa meniggalkan sejuta harapan yang sempat kandas. Untuk kesekian kalinya Yuniar menyahut.

“Mas Akmal!”

Langsung saja Akmal menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badannya.

“Ada apa?” tanyanya.

Yuniar tertunduk, apakah karena malu ataukah merasa bersalah dengan tingkah lakunya yang sedari tadi begitu keras kepala. Akmal sudah bisa mulai menebak perasaan Yuniar hanya dengan menatap di sudut matanya. Ia langsung menyimpulkan dan sesegera mungkin beraksi. Akmal melangkah mendekati Yuniar, diraihnya tangan Yuniar,

“Terimalah!” pinta Akmal.

Seperti magic, tiba-tiba saja Yuniar melapangkan telapak tangannya dan sekarang kalung hati itu sudah berada dalam genggamannya. Kemudian Akmal melanjutkan.

“Yuniar… MEMANG LUMPUR-LUMPUR CINTA YANG SELAMA INI AKU LEMPARKAN PADAMU TIDAK DAPAT MEROBOHKAN TEMBOK HATIMU… TAPI, SETIDAKNYA, LUMPUR-LUMPUR CINTA YANG TELAH AKU LEMPARKAN DAPAT MEMBEKAS PADA TEMBOK HATIMU, DAN SUATU SAAT NANTI ENGKAU AKAN MERASAKANNYA…”

Semua terdiam, membiarkan suara rintikan hujan bersatu dengan kata- kata yang yang baru saja dilontarkan oleh Akmal. Rani tertegun, Yuniarpun demikian. Akmal tersenyum dalam hati, ia ternyata telah berhasil meluluhkan hati Yuniar. Tak hanya itu, hadiah itupun telah berpindah pada Yuniar.

“Mas…!” tak hentinya, Yuniar melantunkan kata itu. Tapi Akmal mulai berkata lagi.

“Rasakan seperti apa yang kurasakan.”

Akmal melakukan turn around, lalu berjalan meninggalkan Yuniar, Rani dan bumi Jemonistan. Menempuh perjalanan cinta yang penuh ombak dan duri telah dilalui Akmal tanpa putus asa. Melangkah menembus hujan yang tak kunjung reda. Hujan setia menemani harapan Akmal sampai detik terakhir episode perjalanan pada malam kelam tak berbintang.

Keesokan harinya, Akmal merasakan kedua bola matanya begitu perih, hampir-hampir ia tak bisa membuka kelopak matanya. Mungkin ini adalah pengaruh air hujan yang masuk ke celah sudut matanya semalam. Tapi itu hanya bertahan selama beberapa jam saja setelah sebelumnya Akmal membasuh wajahnya dengan air hangat. Setelah kembali tenang ia mengambil laptopnya dan langsung membuka inbox emailnya. Ternyata, delapan pesan telah masuk ke dalam surat elektroniknya itu. Dengan seksama Akmal membuka satu persatu pesan tersebut. Sambil terseyum sinis ia membaca seluruh isi pesan itu:

Mas… maafkan aku…!
Membuat dirimu kecewa…
Ini semua salahku…
Karena diriku yang keras kepala…
Mas nggak masuk angin?

Sambil meringis Akmal menggerakkan jemarinya di atas keyboard laptopnya dan mulai menekan tombol enter untuk membalas semua pesan yang masuk. Akmal mengingat kambali kejadian semalam, ingin rasanya peristiwa itu terekam dan di dokumentasikan untuk kehidupannya. Akmal tersenyum memuji dirinya sendiri.

“Aktingmu keren juga Akmal…!”

Tamat
                                                   
Cerpen Karangan: Akmal Farid