Sholat Isya telah usai, para jamaah satu per satu mulai meninggalkan masjid. Perasaan Akmal mulai tak karuan, pikirannya galau tak tentu arah, saat ini ia hanya bisa memfokuskan diri untuk sedikit bisa menenangkan pikirannnya yang telah di hantui rasa cemas yang menikam. Dengan segera, Akmal mengambil jaket almameternya yang dia simpan di teras masjid kemudian berjalan meninggalkan bias-bias cahaya masjid menuju tempat yang telah di sepakati, perempatan jalan negri Jemonistan.
Akmal kian di rundung rasa cemas, hanya diri sendiri yang bisa memahami dan tak seorang pun dapat berdusta. Kini, di depan pandangannya telah nampak dua sosok gadis yang salah satunya akan ia temui. Dan sekarang janji telah ditepati, tinggal menunggu kepastian hati, apakah akan tersakiti atau menyakiti, entahlah? Yang mengetahui hanyalah sepasang hati yang akan menuangkan isinya pada hari di mana salah satu hati akan di temani harapan serta merta rasa cemas yang tak kunjung henti.
Kedua gadis itu masih tertunduk, padahal Akmal sudah mulai mendekati dan akan mengungkapkan.
“Yuniar, sudah waktunya! Aku ingin bicara sebentar.” Akmal memulai pembicaraan.
Rani kemudian menjauh, mundur teratur dan berjalan meninggalkan Akmal & Yuniar, kira-kira 5 meter dari mereka. Tak hanya Akmal, Rani pun dapat merasakan kekhawatiran seperti yang dirasakan olehnya. Sedikit banyak. Rani setidaknya dapat membantu Akmal dalam hal ini, lagi pula Rani lebih senior daripada Yuniar.
Yuniar belum berani bertatap muka dengan Akmal. Rasa itupun makin membuat Akmal cemas di tambah lagi gemuruh angkasa raya setia menemani di setiap degupan jantung sang Akmal. Kepolosannyapun keluar.
“Yuniar?” Sahut Akmal.
Yuniar belum menjawab. Terdiam.
Sekali lagi Akmal melantunkan nama itu dengan penuh harap.
“Yuniar… dek Yuniar…?!?!” Rayunya.
“Lebay dech…!?!?.” Jawab Yuniar gusar.
Lautan hati Akmal menderukan gelombang asa, tapi mungkin ini tahap awal bagi Akmal.
“Oke, kalau begitu, Ini adalah hari ultahmu kan…?”
“Iya…aku juga tahu…” Balas Yuniar acuh.
“Yun, coba lihat aku sebentar, aku hanya ingin memberikanmu hadiah…”
Belum selesai Akmal bicara, Yuniar langsung menyela kalimat Akmal.
“Aku tak kan menerima sesuatupun darimu, Mas Akmal!”
“Tapi aku ini ikhlas, gak berharap apa-apa darimu…”
“Aku gak pantas menerima itu…” Gusarnya.
“Baiklah, ini bukan hadiah, tapi ini kenangan dariku untukmu Yuniar!”
“Tidak… tak akan ku terima…”
Akmal menarik nafas panjang, kemudian berjalan mendekati Rani, sambil berbisik Akmal berkata.
“Ada apa dengan Yuniar?”
“Ini karena salahku kak…!” Jawab Rani polos.
“Jangan menyalahkan diri, pinjamkan aku handphonemu…!” Akmal mengulurkan tangan.
Tak lama, barang elektronik itu sudah berada di genggaman Akmal. Akmal berjalan mendekati Yuniar dengan langkah cemas. Tiba-tiba…
Harus ku akui…
Sulit cari penggantimu…
Yang menyayangku…
Dan takkan pernah ada lagi…
Yang seperti dirimu…
Yang sanggup… mengertikanku…
Akmal duduk di samping Yuniar, sementara lagu itu terus di putar. Yuniar sama sekali tidak memperhatikan Akmal.
“Yuniar, kamu mengerti kan…?”
“Aku minta lagunya di berhentikan…!” Yuniar gusar.
Bukan sosok Akmal yang cepat putus asa, ia kemudian mengganti lagu itu dengan lagu dari ST-12 Setiaku.
Sambil mengikuti kata-kata dalam nada lagu itu, Akmal begitu berharap, agar supaya Yuniar dapat merasakan seperti apa yang di rasa olehnya. Akmal menekan tombol stop pada handphone tadi, kemudian melanjutkan.
“Yuniar… kamu percaya gak, kalau aku… kalau aku… kalau aku…”
“Kalau aku, apa?” Yuniar mulai tak tenang.
Akmal paling suka moment-moment seperti ini, membuat orang lain tak sabar jika berbicara dengannya. Dan ini adalah untuk kesekian kalinya membuat Yuniar menjadi tak sabaran lagi.
“Kamu percaya gak, kalau aku… senang sama kamu…” Akmal mulai serius.
“Semenjak pada awal pertemuan kita dahulu, aku langsung bisa merasakan gelombang cinta tepat setelah melihatmu… itu bahasa puisinya!” lanjutnya setengah bercanda.
Seakan Yuniar tidak menghiraukan perkataan Akmal barusan. Tapi Akmal yakin, ini baru tahap kedua.
“Yuniar…” sahutnya penuh harap.
“Yuniar… Yuniar… di jawab donkk…!!
“Dalem…”
Akmal hanya bisa tersenyum sinis melihat tingkah Yuniar yang sedikit berbeda. Jauh-jauh hari Akmal mempersiapkan semua itu, tiba-tiba saja bagai tak berada di atas bumi lagi. Tapi sekali lagi, Akmal adalah sosok yang teguh, tak mudah putus asa. Dalam hatinya, ia melantunkan sya’ir lagu…
Aku masih menunggumu, bicara…
Ku nanti jawaban, di hatimu..
Dalam gelap ini…dalam diam ini…
Masih MENUNGGU…
Makin lama, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan saru persatu, sementara Akmal terus berharap agar Yuniar dapat menerima hadiah kalung hati darinya, tak hanya itu, ia juga ingin mendengar balasan rasa yang telah ia lontarkan pada Yuniar. Kado yang sekarang masih berada di tangan Akmal itu seakan hampa tak bernilai sama sekali. “Atau memang ada yang salah denganku…?” Batin Akmal menyalahkan diri.
Yuniar kemudian beranjak berdiri entah bosan dengan tingkah Akmal atau karena cuaca yang tak mendukung.
“Mbak Rani, ayo pulang…!” ajak Yuniar. Rani belum beranjak berdiri, hanya terdiam, seakan Rani mendukung Akmal pada saat itu. Yang beranjak malah Akmal seraya berkata.
“Mau kemana Yuniar… aku belum rampung ngomongnya!” keluh Akmal.
“Salah siapa tidak dari tadi,” balas Yuniar.
Akmal mengambil nafas panjang lalu berucap, “Hanya satu permintaan dariku, Yuniar…! Please… terimalah kado ini, bukan sebagai hadiah, tapi sebagai kenang-kenangan pertama dan terakhir untukmu seorang!” ucap Akmal penuh harap.
“Sekali-kali tidak, mas! Aku paling gak suka ngerepotin orang lain… jujur mas…!”
“Iya, tapi…”
Tiba-tiba saja, gerimis telah berubah ganas menjadi hujan yang begitu deras. Sangat deras hingga menghambat pendengaran, karena benturan keras partikel hujan dengan atap-atap rumah.
“Mbak Rani… ayo…!” ajak Yuniar sambil berlari kea rah selatan perempatan jalan.
Akmal meraih tangan Rani, seraya berkata, “Tolong, kumohon berikan kepada Yuniar.”
Dengan sedikit memaksa Akmal memberikan kado itu kepada Rani. Respon Ranipun sudah bisa terbaca oleh Akmal, ia tidak berani menerima kado itu dan kemudian akan diberikan kepada Yuniar.
“Sorry banget kak…aku gak bisa.”
“Sudahlah… bawa dulu saja…” pinta Akmal.
Hujan kian deras, sementara harapan Akmal belum kesampaian. Padahal Yuniar dan Rani telah berlari meninggalkan Akmal seorang diri. Namun Akmal sempat bingung apa yang akan dia lakukan sekarang. Akmal memandang ke depan memperhatikan sosok Yuniar yang berlari menembus hujan deras tanpa ampun, begitu juga dengan Rani. Tiba-tiba terdetik dalam hati Akmal untuk merelakan raganya demi mendapatkan balasan.
“Mereka basah kuyub, sedangkan aku tidak, baiklah kalau begitu… aku akan ikut hujan-hujanan.” Batin Akmal.
Sebagai sosok laki-laki yaag bertanggung jawab, sedikit banyak Akmal harus mengorbankan jasadnya, dan ia akan melakukan itu semua di depan mata Yuniar. Berharap agar Yuniar dapat menerima hadiah darinya, tak lebih dari itu.
“Andai Yuniar dapat merasakan seperti apa yang aku rasakan.” Keluh Akmal dalam hati.
Akmal mengikuti langkah Yuniar dari belakang. Entah itu diketahui Yuniar ataukah tidak, Akmal hanya bisa mengira-ngira. Sebagian badan Akmal sudah dibasahi oleh air hujan yang kian deras, begitu deras. Sehingga hampir-hampir indera pendengaran tak lagi dapat merespons kata-kata lawan bicara. Akmal terderan, tiba-tiba saja Yuniar bernaung di teras seseorang, dan Akmal hanya bisa bertanya pada Rani.
“Rumah siapa Ran…?”
“Ini rumah grand parents nya Yuniar.” Jawab Rani.
Akmal menganggukkan kepala tanda mengerti. Lampu remang-remang rumah itu makin membuat hati Akmal terasa ngilu. Yuniar pun tak kunjung jua merelakan hatinya untuk menerima hadiah itu. Padahal, Akmal benar-benar berharap bahwa itu adalah sebuah bukti kecintaannya pada Yuniar. Nekadnya, ketika Rani dan Yuniar berlindung diri dari derasnya sang hujan, Akmal justru berdiri terpaku membiarkan partikel-partikel hujan membasahinya. Dengan sedikit khawatir Rani berkata.
“Sudahlah Yuniar… kasihan masmu… lebih baik kamu terima saja…”
“Wegahhh…” Jawab Yuniar acuh.
Akmal terus saja berdiri di bawah naungan langit berhujan tiada henti, dan sangat ingin melihat sosok Yuniar yang menerima hadiah itu.
“Kamu gak kasihan sama mas Akmal, kalau dia masuk angin gimana…?” Lanjut Rani membela.
Hati Yuniar belum seutuhnya luluh, hanya sebagian kecil saja bisa merasa kasihan. Begitulah Yuniar, pribadi yang keras kepala. Hanya orang-orang tertentulah yang bisa meluluhkan hati Yuniar, dan Akmal belum termasuk dari golongan itu. Tapi Akmal yakin, suatu saat nanti ia dapat membuat hati Yuniar luluh. Bahkan dapat membuat hati Yuniar merasa membutuhkan dirinya.
Cerpen Karangan: Akmal Farid