Langit Itu

Entah apa yang langit pikirkan sekarang. Langit itu redup, diselimuti oleh awan tebal yang membuat matahari mulai hilang. Aku hanya bisa terdiam saat air-air jernih itu mulai turun darinya. Mungkin tak seorangpun tahu bagaimana rasanya, tapi hati itu layaknya badai yang entah kapan berhenti dan menghilang. Aku bahkan tak tau kapan pelangi itu akan datang? apakah hari ini? besok? atau mungkin tak ada. Sebuah pertanyaan kosong yang entah mengapa selalu berputar di pikiranku. Air-air itu mulai turun semakin deras, aku tak tahu sudah berapa banyakkah air yang membentuk awan gelap setebal ini. Membuat matahari mulai menghilang karenanya.

Kehangatan itu tak lagi kudapatkan, kini mulai berganti dengan suasana sepi dan dingin. Apakah hal ini akan terus terjadi? Semua orang selalu menganggapku sebelah mata, tak ada yang bisa mengerti diriku. Aku hanyalah seorang anak yang mencoba bertahan menjalani kehidupan di dunia yang keras ini. Tiap hari aku selalu membawa gitar kecil kesayanganku dan bernyanyi di tepi jalan. Teriknya matahari dan derasnya hujan tetap ku lewati, demi sepeser rupiah untuk kehidupanku hari ini. Terkadang diriku merasa iri pada anak-anak lain seusiaku. Layaknya di surga mereka dapat mengenyam pendidikan yang layak, bisa bermain dengan teman-teman sebaya dan mendapatkan hidup yang sempurna dengan belaian kasih orang tua. Ingin rasanya, aku menggantikan hidup mereka satu hari saja, pasti tak terbayangkan seberapa bahagianya diriku.

Tiap pagi, entah mengapa rasanya hatiku seperti tersayat-sayat atau mungkin iri dengan anak-anak sekolah yang memakai seragam bagus, dan selalu di antar dengan menggunakan kendaraan mewah. Sedangkan aku? Naik mobil saja aku tak pernah, seragampun aku tak punya. Mungkin diriku hanya sebatas seujung jari kuku mereka. Ingin rasanya aku mengenyam pendidikan seperti mereka. Selain tak punya biaya, aku juga mempunyai penyakit aneh yaitu epilepsi, aku sudah ditinggalkan orang tuaku sejak aku berumur 7 tahun, entah apa yang mereka pikirkan, mungkin aku adalah cobaan berat dalam hidup mereka dan tentunya sangat menyusahkan. Aku hanya bisa belajar dari buku-buku yang ada pada perpustakaan keliling milik pemerintah. Selain menambah wawasan, perpustakan tersebut tidak mengenakan biaya untuk para pembacanya. Aku hanya perlu membeli 1 buah buku dan 1 buah bolpoin untuk mencatat ilmu yang aku dapat, dari situlah aku mulai belajar.

Aku sangat senang membaca buku-buku sastra indonesia atau membaca kumpulan sajak seperti kumpulan sajak "Balada Orang-orang Tercinta" dan 4 kumpulan sajak karya W.S Rendra, dan yang terpenting aku sangat menyukai menulis cerita pendek. Yah, meskipun perpustakaan keliling hanya ada di hari Sabtu, maka aku selalu mengosongkan pekerjaanku di hari itu. Saat aku sibuk membaca buku tiba-tiba aku melihat sebuah brosur yang bertuliskan “IKUTILAH LOMBA MENGARANG CERPEN TINGKAT KOTA!” Aku tertarik mengikuti lomba tersebut, tapi apakah aku dapat menanggung malu jika berhadapakan dengan anak-anak orang kaya di sana yang sepertinya jijik jika melihat penampilan diriku yang kumuh. Aku takut jika aku kalah nanti mereka akan menertawakanku seraya mengejekku. Aku pun mulai mengurungkan niatku, tapi saat membaca hadiah juara pertama adalah uang dan beasiswa, maka aku membulatkan niatku untuk mengikuti lomba itu.

Hari perlombaan itu tiba. Aku datang ke tempat lomba hanya dengan memakai sandal jepit dan membawa 1 buah bulpoin. Saat aku mendaftar semua orang melihat ke arahku, seakan aku adalah barang aneh yang baru mereka lihat. Terkadang terdengar bisikan-bisikan aneh di telingaku. Orang–orang itu membicarakanku

“Kenapa anak jalanan bisa disini” Kata seseorang itu perlahan

“Emang anak itu bisa mengarang cerpen, hahaha” Orang-orang itu menertawakanku.

Aku tak mempedulikan mereka. Aku hanya langsung duduk di kursi tempat perlombaan mengarang cerpen akan dimulai. Semua anak disebelahku seakan ingin menjauh dariku. Tapi karena bangku sudah diatur dengan jarak tertentu mereka akhirnya mengurungkan keinginannya. Lombanya pun dimulai, hari ini temanya adalah tentang “Teknologi dan Mitos”. Awalnya aku bingung ingin menulis apa, akan tetapi tersirat di benakku satu hal yang menarik yang dapat digunakan sebagai cerpen. Judulnya “Ghaib atau apa?”

Cerpenku menceritakan tentang masalah santet di Indonesia. Ilmu santet biasanya dimiliki oleh orang-orang seperti dukun, yang gunanya untuk melukai orang-orang yang di benci. Padahal dalam ajaaran Islam saling membenci itu tidak diperbolehkan, karena semua orang yang ada di alam semesta ini adalah saudara kita. Dan tahukan kamu bahwa santet dilarang oleh agama? Santet merupakan hal yang menyekutukan Allah, di mana kita datang kepada Mbah Dukun yang biasanya berkumis tebal, berjenggot dan memakai baju seram untuk meminta pertolongan, itu namanya menyekutukan Allah, dan orang-orang yang melakukan perbuatan seperti ini disebut murtad alias keluar dari Islam. Orang yang terkena santet biasanya tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba langsung sakit atau bisa juga mati. Sakitnya pun yang aneh-aneh, gak seperti yang biasanya. Seperti tiba-tiba perutnya muncul paku, di dalam tubuhnya ada rambut dan gigi dan lain-lain. Gak masuk akal kan? Bagaimana caranya benda-benda tersebut bisa masuk ke dalam tubuh manusia. Secara ilmiah itu tidak mungkin terjadi, atau mungkin lebih gampangnya bagaimana benda-benda tersebut bisa masuk ke dalam tubuh manusia kecuali dimakan, atau dimasukkan dengan sengaja, tidak mungkin kan? Hanya kekuatan magis dengan meminta bantuan syetan maka itu bisa terjadi. Secara kasat mata, memang setan itu tidak terlihat jadi gampang sekali cara setan untuk menyakiti orang yang sudah diperintahkan oleh sang dukun untuk disakiti. Sebenarnya bagaimana bisa kekuatan seperti itu bisa membuat manusia menjadi mati dan sakit? Para ilmuwanpun tak ada yang tau penyebabnya, yang jelas santet tidak bisa di jelaskan dengan baik oleh para ilmuwan. Teknologi secanggih apapun tetap saja tidak dapat memberantas santet yang sudah mendarah daging di Indonesia ini dan…

Huft, lumayan panjang juga ya. Aku pun langsung mengumpulkaan cerpenku pada salah satu panitia, setelah mengumpulkannnya kepalaku terasa berat sekali. Aku takut penyakitku akan kambuh disini. aku pun menahannya. Saat pengumuman juara, jantungku rasanya berdegup dengan cepat. Juara ke tiga sudah terlewat, juara ke dua juga sudah terlewat. Aku membaca do’a secara terus menerus. Dan ternyata pemenangnya adalah diriku. Badanku seakan tak percaya aku sebentar lagi akan bisa sekolah.

“Langit itu cerah kembali” ujarku sembari menerima piala.

Saat mengambil piala dan beasiswa. Tiba-tiba kepala pusing, rasanya semakin berat dan semakin berat. Aku takut penyakitku akan kambuh disini. Benar saja aku pun kejang-kejang di tempat itu. Kakak-kakak panitia langsung menggotongku dan membawaku ke rumah sakit. Mataku lama kelamaan terasa kabur dan semakin gelap. Aku tak tau apa yang dilakukan suster padaku saat di ambulan. Dadaku rasanya semakin sesak, sepertinya ini adalah waktuku untuk meninggalkan dunia, walaupun sedih karena belum bisa merasakan enaknya mengenyam bangku pendidikan, tapi sepertinya tubuhku ini memang sudah tak kuat. Aku pun akhirnya pergi dengan tenang.

Cerpen Karangan: Azzam Azizah Fiqli