Senja Pukul Lima

Entah sudah berapa lama perempuan muda itu mematung di depan tumpukkan barang-barang antik, di suatu toko kuno. Entah pemandangan estetik apa yang membuatnya sangat betah berlama-lama dalam ketidakpastian. Belum cukupkah ketidakpastian yang selama ini dipersembahkan oleh kekasihnya? Ah, entahlah.


Sesekali ia tersenyum sendiri. Senyum yang sungguh anggun mempesona. Kau akan melihat cahaya kilau kemilau berpendaran ketika memandangi senyum perempuan itu. Surga dunia akan merasuk menyelimuti getir dari segala kepekatan hidup, jika perempuan itu terus menebar senyum. Ini senyum tulus. Senyum itu sungguh terbit dari relung terdalam yang tiada akan kau mengerti. Ia seperti anak kecil lugu yang siap meloncat kegirangan saat ayahnya pulang membawa boneka. Jika saja usianya bukan 20 tahun, mungkin perempuan itu juga akan meloncat seperti seorang anak kecil, meloncat kegirangan menari-nari seiring fantasi dunianya sendiri.

“Pak, jam tangan ini berapa harganya?” Perempuan itu melontarkan pertanyaan pada bapak-bapak penjaga toko, dengan senyum yang merekah.

“Terserah saja dek, jam itu sudah rusak.”

“Tapi ini bagus pak, sangat antik dan langka..”

“Iya, tapi sudah sangat kuno dan tidak bisa di pakai, terserah adek saja.”

“Justru barang-barang kuno antik bisa di sulap jadi barang ajaib. Saya beli satu juta.”

Bapak penjaga toko tersentak seketika. Ia seakan tidak percaya, jam tangan yang sudah bertahun-tahun tak terjual itu dihargai satu juta. Apakah ini mimpi? Pikirnya.

“Baik dek, mari saya bungkus.” Kali ini giliran bapak penjaga toko yang menebar senyum. Padahal sangat jarang ia menyunggingkan senyum pada para pelanggannya. Ia pikir tidak ada gunanya senyum, toh uang yang ia dapat hanya sedikit, karena barang-barang antik biasanya memang tidak begitu dihargai di kota ini. Apapun yang berbau kuno dan jadul di pandang tidak menarik. Termasuk sejarah. Sejarah dan para pahlawan hanya tinggal kenangan bagi mereka. Kota yang aneh.

“Ini dek jam tangannya.”

“Terima kasih pak, ini uangnya.”

Senyum perempuan itu kian merekah memesona. Kau akan terbuai dibuatnya. Bahkan beberapa pria yang kebetulan melihat senyum perempuan itu, mungkin bisa saja menceraikan istrinya.

Jam tangan itu sudah rusak dan lusuh-seperti kata si bapak penjaga toko-juga karatan. Tentu jam itu sudah tidak bisa di pakai. Jarum jam tidak bergerak sedikitpun, terus menunjuk angka lima. Perempuan itu kemudian pulang dengan hati riang. Dalam perjalanan ia terus membayangkan sesuatu yang sedari tadi ia bayangkan. Terbayang wajah kekasihnya dulu, dengan senyum merona dan berkata merdu “Aku akan kembali bersama potongan senja, tepat pukul lima. Tunggulah aku sayang!”

Perempuan itu kian girang terang benderang. Rupanya ia belum juga sadar, bahwa sepanjang sejarah belum pernah ada orang yang kembali setelah di culik pada peristiwa '98. Perempuan yang malang.
                                                           
Cerpen Karangan: Galih Anggara