“Pak Mukadis ada gak?” tanyaku pada Ferry, ketua kelas di kelas XI IPA 1.
“Pak Mukadis ada, cuma katanya nanti yang masuk bukan dia. Ada PPL dari Untan yang nanti masuk.” Jawab Ferry.
“Oh iya deh” sahutku singkat.
Namaku Nadita Desi Wulandari, akrab disapa Nadita atau Wulan. Kalau guru sih pasti manggil Nadita, tapi sahabatku Tia Maulida pasti memanggil ku Wulan. Sahabatku yang satu ini orangnya setia kawan, tapi rada jorok gitu deh. Pernah sekali aku kasihan melihat Fatur yang diberi kaos kaki olehnya. Entah apa yang terlintas di pikiran Tia saat itu. Yang aku pikir mungkin Tia salah makan haha.
“Selamat pagi” sapa seorang pria yang baru saja memasuki kelas ku dengan menebarkan senyum yang begitu menawan.
“Pagi juga pak” jawab aku dan teman sekelas ku.
“Perkenalkan, saya ini mahasiswa PPL yang akan menggantikan pak Mukadis dalam mengajar kalian di bidang Bahasa Indonesia” jelas guru tampan ini sambil tersenyum.
“Siapa nama bapak? Rumah nya dimana? Status? Nama facebook? Nama twitter? Follow saya dong pak” pertanyaan berurutan yang keluar dari mulut Tia.
“Nama bapak Aan Sutrisno, bapak tinggal di daerah Purnama, yang lainnya nyusul aja yaa hehe” jawab bapak itu.
Aan Sutrisno, nama yang lucu pikirku. Pertama kali aku melihat guru ini, aku langsung terpikat oleh senyumnya. Mukanya yang kalem, seperti belum pernah tau akan dosa. Kulitnya putih, menggambarkan betapa rajinnya ia merawat diri. Cara berpakaian nya yang elegan, namun tetap tampak seperti remaja. Ahh betapa sempurnanya guru ini.
Empat bulan berlalu, aku dan pak Aan lumayan akrab juga. Alasan keakraban kami adalah karena pada saat pelajarannya aku berubah menjadi siswa yang aktif, banyak bertanya, dan ia sempat memujiku atas paragraf deduktif dan induktif yang aku buat. Aku memang cukup pintar berbahasa, yang aku ingat di pujiannya adalah “Bagus nih paragraf nya, ada bakat penulis. Bisa bikin cerpen?”. Aku yang sebelumnya tidak pernah membuat cerpen hanya meng-iyakan saja. Kemudian dia berlalu, masih diiringi senyum yang indah.
Hari ini entah ada apa pada saat pelajaran Pak Aan aku dipanggil kedepan. Aku berjalan ke depan untuk menemuinya.
“Nadita, kamu biasa nulis cerpen kan? Ada perlombaan cerpen, kalau kamu berminat kamu bisa ikut. Hadiahnya lumayan juga” jelas nya.
Aku secara spontan menjawab “Iya pak saya bakalan ikut, saya juga belum pernah mengikuti lomba seperti itu. Cuma nanti kalau gak bagus gimana pak? Saya malu pak” jawabku dengan nada lemah.
“Gak apa-apa, nanti biar saya bantu” hiburnya.
“Terima kasih banyak pak, saya duduk dulu” sahutku sambil tersenyum. Membantu? Lumayan lah untuk PDKT hihi.
Tak terasa, 6 bulan berlalu. Masa praktek PPL pun berakhir. Senin ini menurutku adalah hari terburuk yang pernah ada. Aku akan berpisah dengan guru yang menurutku aku “cintai”. Saat itu perasaan ku tentunya sangat sedih, terutama saat melihat guru idaman ku berfoto dengan siswa lain untuk mengabadikan momen terakhir mengajar di sekolah ini. Ingin rasanya aku mendekatinya, memeluknya dengan erat seakan tak pernah mau ia pergi. Tapi itu cuma khayalan, aku tahu selama ini ia menganggap ku hanya murid yang mempunyai kelebihan dalam berbahasa saja, tidak lebih. Sebenarnya aku merasa sakit, tapi aku tak berhak marah kan? Aku hanya murid! Hanya murid! Ia bukan seorang pemberi harapan, tapi aku nya saja yang berharap berlebihan. Berharap seorang guru dengan tampang manis itu akan membalas cintaku. Saat perpisahan, aku tak mampu menemuinya. Bahkan aku tak sanggup melihatnya. Jujur, waktu itu aku ingin menangis. Tapi aku tahan, aku malu harus mengakui aku menyukai seorang guru!
Hari hari berlalu tanpa hadirnya guru tampan yang mendidik ku. Aku mulai bisa melupakan rasa kasih ku padanya, dan aku baru tersadar jika waktu itu aku hanya mengaguminya! Hanya mengagumi tidak lebih! Aku hanya mengagumi caranya mengajar, caranya tersenyum, wajahnya yang rupawan, dan sikapnya yang ramah pada semua murid. Aku baru sadar jika cinta dan kagum itu berbeda. Memang serupa, tapi tak sama. Aku tahu perasaan sayang pada saat itu hanya cinta sesaat yang timbul karena kagum ku. Dan mulai detik ini, aku sudah tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengaguminya! No more! Dan aku memutuskan untuk tidak mengikutsertakan cerpen ku dalam perlombaan karena batas usia untuk mengikuti cerpen adalah 17 tahun, sedangkan aku baru Desember kemarin 16 tahun.
By: Nadita Desi Wulandari
“Pak Mukadis ada, cuma katanya nanti yang masuk bukan dia. Ada PPL dari Untan yang nanti masuk.” Jawab Ferry.
“Oh iya deh” sahutku singkat.
Namaku Nadita Desi Wulandari, akrab disapa Nadita atau Wulan. Kalau guru sih pasti manggil Nadita, tapi sahabatku Tia Maulida pasti memanggil ku Wulan. Sahabatku yang satu ini orangnya setia kawan, tapi rada jorok gitu deh. Pernah sekali aku kasihan melihat Fatur yang diberi kaos kaki olehnya. Entah apa yang terlintas di pikiran Tia saat itu. Yang aku pikir mungkin Tia salah makan haha.
“Selamat pagi” sapa seorang pria yang baru saja memasuki kelas ku dengan menebarkan senyum yang begitu menawan.
“Pagi juga pak” jawab aku dan teman sekelas ku.
“Perkenalkan, saya ini mahasiswa PPL yang akan menggantikan pak Mukadis dalam mengajar kalian di bidang Bahasa Indonesia” jelas guru tampan ini sambil tersenyum.
“Siapa nama bapak? Rumah nya dimana? Status? Nama facebook? Nama twitter? Follow saya dong pak” pertanyaan berurutan yang keluar dari mulut Tia.
“Nama bapak Aan Sutrisno, bapak tinggal di daerah Purnama, yang lainnya nyusul aja yaa hehe” jawab bapak itu.
Aan Sutrisno, nama yang lucu pikirku. Pertama kali aku melihat guru ini, aku langsung terpikat oleh senyumnya. Mukanya yang kalem, seperti belum pernah tau akan dosa. Kulitnya putih, menggambarkan betapa rajinnya ia merawat diri. Cara berpakaian nya yang elegan, namun tetap tampak seperti remaja. Ahh betapa sempurnanya guru ini.
Empat bulan berlalu, aku dan pak Aan lumayan akrab juga. Alasan keakraban kami adalah karena pada saat pelajarannya aku berubah menjadi siswa yang aktif, banyak bertanya, dan ia sempat memujiku atas paragraf deduktif dan induktif yang aku buat. Aku memang cukup pintar berbahasa, yang aku ingat di pujiannya adalah “Bagus nih paragraf nya, ada bakat penulis. Bisa bikin cerpen?”. Aku yang sebelumnya tidak pernah membuat cerpen hanya meng-iyakan saja. Kemudian dia berlalu, masih diiringi senyum yang indah.
Hari ini entah ada apa pada saat pelajaran Pak Aan aku dipanggil kedepan. Aku berjalan ke depan untuk menemuinya.
“Nadita, kamu biasa nulis cerpen kan? Ada perlombaan cerpen, kalau kamu berminat kamu bisa ikut. Hadiahnya lumayan juga” jelas nya.
Aku secara spontan menjawab “Iya pak saya bakalan ikut, saya juga belum pernah mengikuti lomba seperti itu. Cuma nanti kalau gak bagus gimana pak? Saya malu pak” jawabku dengan nada lemah.
“Gak apa-apa, nanti biar saya bantu” hiburnya.
“Terima kasih banyak pak, saya duduk dulu” sahutku sambil tersenyum. Membantu? Lumayan lah untuk PDKT hihi.
Tak terasa, 6 bulan berlalu. Masa praktek PPL pun berakhir. Senin ini menurutku adalah hari terburuk yang pernah ada. Aku akan berpisah dengan guru yang menurutku aku “cintai”. Saat itu perasaan ku tentunya sangat sedih, terutama saat melihat guru idaman ku berfoto dengan siswa lain untuk mengabadikan momen terakhir mengajar di sekolah ini. Ingin rasanya aku mendekatinya, memeluknya dengan erat seakan tak pernah mau ia pergi. Tapi itu cuma khayalan, aku tahu selama ini ia menganggap ku hanya murid yang mempunyai kelebihan dalam berbahasa saja, tidak lebih. Sebenarnya aku merasa sakit, tapi aku tak berhak marah kan? Aku hanya murid! Hanya murid! Ia bukan seorang pemberi harapan, tapi aku nya saja yang berharap berlebihan. Berharap seorang guru dengan tampang manis itu akan membalas cintaku. Saat perpisahan, aku tak mampu menemuinya. Bahkan aku tak sanggup melihatnya. Jujur, waktu itu aku ingin menangis. Tapi aku tahan, aku malu harus mengakui aku menyukai seorang guru!
Hari hari berlalu tanpa hadirnya guru tampan yang mendidik ku. Aku mulai bisa melupakan rasa kasih ku padanya, dan aku baru tersadar jika waktu itu aku hanya mengaguminya! Hanya mengagumi tidak lebih! Aku hanya mengagumi caranya mengajar, caranya tersenyum, wajahnya yang rupawan, dan sikapnya yang ramah pada semua murid. Aku baru sadar jika cinta dan kagum itu berbeda. Memang serupa, tapi tak sama. Aku tahu perasaan sayang pada saat itu hanya cinta sesaat yang timbul karena kagum ku. Dan mulai detik ini, aku sudah tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengaguminya! No more! Dan aku memutuskan untuk tidak mengikutsertakan cerpen ku dalam perlombaan karena batas usia untuk mengikuti cerpen adalah 17 tahun, sedangkan aku baru Desember kemarin 16 tahun.
By: Nadita Desi Wulandari