Harapan Di Ujung Pena

Berawal dari tanggal 28 Febuari 2013 aku dan kedua teman ku tengah mendapatkan tugas untuk mengajar di suatu daerah yang cukup terpencil. Awalnya kami bertiga merasa keberatan ditempatkan di daerah tersebut, bukan karena daerahnya yang jauh dan terpencil tapi karena kemampuan kita bertiga yang kami rasa belum cukup untuk mengajar. Namun setelah kami renungkan bersama akhirnya kami mau ditempatkan di daerah itu.


Setelah mendapatkan surat keputusan dari kepala dinas kabupaten OKU Timur dan kepala sekolah kami, kami langsung bergegas untuk bersiap untuk pergi ke daerah itu.

Minggu tanggal 15 Maret 2013 hari pertama kami berada di desa itu, desa Pelita Indah namanya. Kami sempat bingung apa yang harus kami lakukan di tempat baru kami.

“Din kemana kita sekarang?” Tanya ardi pada Dina.

“Aku juga belum tahu kemana?” Jawab Dina.

“Gimana kalau kita mencari sekolahan?” ajak ku kepada Ardi dan Dina.

“Mencari sekolahan?” Tanya mereka serempak.

“Iya, bukannya tujuan kita ke desa ini buat ngajar anak-anak di desa ini.”

“Iya sih Ndra, tapi?” Jawab Dina dengan sedikit ragu.

“Tapi kenapa Din?” Tanya ku.

“Ya kan kita tahu sendiri kemampuan kita masing-masing” jelas Dina pada kami.

“Iya sih, kalau dipikir memang benar kalau kemampuan kita masih kurang”, jelas ku pada mereka.

“Sudahlah dari pada kita memikirkan yang tidak-tidak, nanti malah tugas kita nggak selesai dan kita akan terus di sini”, kata Ardi pada kami.

Mendengar kata-kata Ardi membuat kami merasa kalau kami memiliki semangat lebih untuk melakukan tugas kami, entah karena kami ingin cepat melakukan tugas kami karena keinginan kami atau karena kami ingin cepat meninggalkan desa ini dan kembali ke rumah kami.

“Sudah lah dari pada kita bertiga bengong mending kita cari sekolahan yang akan menjadi tempat kita mengajar”, ajak Ardi kepada kami berdua.

“Ayo kalo begitu dari pada kita disini malah pusing sendiri, semangaaaaat!” Ajak Dina dengan nada penuh semangat.

Setelah lama kita mencari-cari sekolahan untuk tempat mengajar ternyata yang kami temukan hanyalah sebuah bangunan kosong yang berwujud sekolahan yang sudah lama tak digunakan. Kami sempat pesimis ketika melihat bentuk sekolahan yang kini telah menjadi bangunan kosong tanpa fungsi. Tak jauh dari sekolahan itu terlihat seorang bapak yang tengah melihat ke arah kami dan ke arah bangunan sekolah itu, kami pun berinisiatif untuk menyapa bapak tua itu.

“Selamat siang pak” Sapa Dina terhadap bapak tua itu.

“Siang nak”, jawab bapak itu.

“Kami lihat dari jauh bapak tampaknya sedang memperhatikan bangunan sekolahan ini”, tambah Dina.

“Iya nak memang dari tadi saya memperhatikan kalian, bapak liat kalian bukan orang asli desa sini” Jelas bapak tua itu.

“Iya pak memang kami bukan dari desa sini”, jawab Ardi.

“Lalu ada keperluan apa kalian ke desa ini?” Tanya bapak tua itu pada kami.

“Kami kemari karena kami diutus dari lembaga kami dan juga dinas pendidikan Bumi Ayu untuk memberikan sedikit ilmu kami kepada anak-anak di desa Peita Indah ini”, terang ku kepada bapak tua itu.

“Oww jadi begitu", jawab bapak tua itu dengan nada datar.

Kami pun sedikit heran dengan apa yang kami lihat saat ini, kami merasa bahwa ke datangan kami ke desa ini sia-sia. Namun dengan tekat kami yang tinggi kami pun mulai untuk mencari tahu kenapa sekolahan di desa ini menjadi bangunan kosong tak terawat.

“Maaf pak boleh kan kami bertanya sesuatu?” Tanya ku pada bapak tua yang ada di hadapan kami.

“Kalian pasti bertanya kenapa sekolahan ini kosong dan tak terawat, iya bukan?” Jawab bapak tua itu.

“Iya pak”, jawab ku pendek.

“Mari ikut saya”, ajak bapak tua. Lalu kami di ajak ke ruamah bapak tua itu.

“Silahkan masuk”, pintanya. Kami masuk ke dalam rumah bapak tua itu dan di dalam rumah beliau mulai menceritakan semua kejadian yang telah menimpa desa dan sekolahan yang ada. Dari cerita bapak tua itulah kami akhirnya bertekat untuk kembali menggunakan sekolahan itu untuk belajar lagi. Mula-mula kami mencari anak-anak yang masih memiliki keinginan untuk belajar. Walau jalan kami tak selancar yang kami kira, karena begitu banyak hambatan bagi kami untuk menciptakan semua itu. Namun semangat untuk memajukan desa Pelita Indah ini lah yang membuat kami tak berhenti untuk mengejarkan sedikit ilmu kami.

Sebulan sudah kami berada di Desa Pelita Indah, kami merasa cukup puas dengan hasil kerja kami untuk mengumpulkan anak-anak desa yang masih memiliki keinginan untuk belajar. Walau pun tak sedikit dari mereka yang dilarang oleh orangtua mereka karena belum sadarnya mereka dengan pentingnya pendidikan bagi anak.

“Wah nggak terasa ya, sudah satu bulan kita disni”, kata Dina pada Ardi dan aku yang tengah duduk di ruang guru.

“Iya, memang tidak terasa”, sahut Ardi.

“Aku merasa salut dan bangga dengan anak-anak di desa ini”, kataku pada Dina dan Ardi.

“Memangnya kenapa?” tanya Ardi.

“Coba kamu bayangkan di tempat yang seterpencil ini masih ada harapan yang besar untuk maju”, jelas ku.

“Iya benar kata mu Ndre, memang masih banyak anak yang memiliki cita-cita yang tinggi yang harus mereka wujudkan”, tambah Dina.

“Iya sih memang masih banyak di antara mereka yang memiliki cita-cita setinggi langit, tapi tak sedikit dari mereka yang masih takut untuk mengejar cita-cita”, jelas Ardi pada kami.

“Maka dari itu lah tugas kita sekarang adalah bagaimana cara kita untuk menumbuhkan cita-cita mereka”, tambah ku.

Sedang asiknya kami berbincang-bincang terdengar suara memanggil kami.

“Maaf pak, bu tugas kami sudah kami kerjakan”, kata anak yang merupakan salah satu murid kami.

“Oh iya terima kasih Wid”, jawan Dina seraya bangun dan menemui Widia.

Genap enam bulan sudah kami bertiga berada di Desa Pelita Indah perjuangan kami tak sia-sia, kami berhasil untuk kembali mengaktifkan sekolah yang telah lama tak digunakan. Berkat semangat dan kerja keras kami, kami mampu melakukan itu semua. Rasa cinta kami terhadap anak didik kami yang begitu besar membuat kami mampu mengemban tugas berat ini. Banyak guru-guru yang dulu pergi kini kembai lagi untuk mengajar di sekolahan SD Bina Bangsa ini.

Malam itu kami tengah berbincang-bincang tentang program kami selanjutnya untuk desa ini, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara ketukan pintu.

“Assallamuallaikum”, suara dari luar.

“Waallaikumsallam”, jawab ku.

Ku buka pintu dengan sedikit terkejut aku melihat Pak Drs Hariadi selaku ketua dinas pendidikan OKU Timur.

“Pak Hariadi?” Sapa ku dengan sedikit kaget, “Mari masuk pak”, ajak ku.

“Terima kasih”, jawab beliau. Ku persilahkan beliau untuk duduk.

“Wah sepertinya kalian cukup kompak ya?” Kata pak Har.

“Iya pak”. Jawab kami serempak.

“Maaf sebelumnya pak, ada apakah gerangan tujuan bapak kemari?” Tanya ku pada beliau.

“Oh iya, maksud kedatangan saya malam-malam kemari karena saya ingin melihat keadaan kalian sekaligus ingin menyampaikan ini”, jelas pak Hariadi.

“Apa ini pak?” Tanya Dina penasaran.

“Ini adalah surat perintah pindah kalian bertiga”, jelas pak Hriadi.

“Apa!? Surat pindah pak?” Tanya ku dengan sedikit kaget.

“Iya surat pindah, memangnya kenapa? Bukanya tugas kalian disini sudah selesai?” kata pak Hariadi.

“Surat pindah pak?” Tanya Ardi dengan nada semangat.

“Iya Ardi”, jawab pak Hariadi.

“Wah bagus kalau begitu kita bisa pergi dari desa ini, lagi pula aku juga sudah tidak betah tinggal di sini lama-lam”, kata Ardi.

Suasana malam itu teras hening hanya terdengar suara nyanyian binatang malam dan hanya terlihat cahaya lampu teplok. Aku dan Dina terdiam mendengar kata-kat Ardi yang cukup mengejutkan bagi kami. Memang awalnya niatan kami setelah mampu mengembalikan sekolahan ini berfungsi lagi kami akan pergi. Tapi semuanya itu kini telah berubah, kami ingin tinggal dan menetap di desa ini untuk terus mengajar dan mendidik anak didik kami yang sudah terlanjur menyayangi kami.

“Ndre, Din kalian kok malah ngelamun sih”, suara Ardi mengejutkan kami berdua.

“Maaf pak kami belum bisa memberi jawabanya sekarang”, jawab Dina.

“Iya pak, kami masih membutuhkan waktu untuk menerima tawaran bapak”, jawab ku.

“Baik lah saya akan memberikan waktu pada kalian satu minggu, bagaimana?” Kata Pak Hariadi.

“Baiklah pak kami akan merenungkan semuanya”. jawab ku.

Pagi itu seperti biasa kami bertiga berangkat untuk mengajar, hanya saja suasana pagi itu terasa berbeda bagi ku. Aku merasa bila aku sudah jatuh cinta pada desa ini sehingga membuat ku sulit untuk meninggalkan desa ini. Sampainya di sekolah kami melihat anak-anak didik kami yang begitu bersemangat untuk belajar sehingga membuat kami merasa kalau mereka masih membutuhkan kami di sini.

“Selamat pagi pak”, sapaan seorang guru membuat ku terbangun dari lamunan ku.

“Ah Iya selamat pagi bu”, jawab ku dengan sedikit kaget.

“Maaf sebelumnya pak, saya lihat bapak hari ini seperti kurang bersemangat ada apakah gerangan?” tanya Bu Rahma salah satu guru di SD Bina Bangsa.

“Ah tidak apa-apa bu mungkin hanya sedikit kecapeaan saja karena semalam saya begadang”, jelas ku.

Tak berapa lama datanglah Dina yang menghampiri Aku dan bu Rahma yang tengah berbincang-bincang. Dina memberi tahu kami untuk mengejar karena anak didik kami sudah menuggu kami di kelas. Aku pun langsung meniggalkan Dina dan Bu Rahma untuk mengajar.

Bell tanda istirahat sudah berbunyi ku lihat anak didik ku begitu semangat keluar meniggalkan ruangan kelas. Aku melihat hanya satu anak yang tetap berada di dalam kelas dan dia berjalan mendekati ku yang tengah duduk di belakang meja guru.

“Maaf pak?” Katanya.

“Iya ada Wid ada apa? Kenapa kamu tidak keluar seperti teman-teman mu”, kata ku.

“Tidak pak, saya ingin di sini menemani bapak, saya lihat bapak sedang ada masalah?” tanya Widia.

“Ah tidak Wid, bapak tidak apa-apa lebih baik kamu istirahat seperti teman-teman kamu” saran ku pada Widia.

“Iya pak maaf saya sudah lancang”, kata Widia.

“Tidak apa-apa”, kata ku.

Aku pun berdiri meniggalkan ruangan kelas dan menuju ruang guru, ku letakan buku dan alat mengajar ku. Tak berapa lama Ardi dan Dina masuk dan menyapa ku, kami bertiga kemudian keluar dan bejalan-jalan keliling sekolah. Ku amati anak-anak didik ku mereka nampak begitu riang sekali di wajah mereka tersirat cita-cita mereka yang begitu tinggi.

“Ndre kamu kenapa?” Tanya Dina.

“Coba kalian lihat wajah anak-anak itu”, jawab ku.

“Memang kenapa dengan wajah anak-anak itu?” tanya Ardi.

“Dari wajah mereka sudah tersiratkan begitu banyak harapan dan cita-cita yang telah mereka impikan. Mereka selalu bersemangat untuk meraih itu semua, mereka tak pernah mengeluh dengan keadaan mereka. Mereka selalu berjuang dan berusaha untuk mewujudkan semua itu. Apakah kita tega meniggalkan mereka yang saat ini memiliki cita-cita dan harapan kepada kita untuk membantu mereka meraih impian mereka. Apakah kalian tega melakukan itu semua?” tanya ku pada Ardi dan Dina.

“kamu benar Ndre, merekalah yang selama ini membuat kita berjuang dan bertahan di sini” kata Dina.

“Iya kasihan sekali mereka pasti mereka akan sangat kehilangan apabila kita pergi meninggalkan mereka”, kata Ardi.

“Kalau begitu mulai sekarang aku memutuskan untuk tinggal dan mengabdi di sekolah ini”, kata ku dengan penuh semangat.

“Kalau begitu kami juga akan mengabdikan diri kami untuk sekolah dan cita-cita mereka”. Tambah Ardi.

Waktu satu minggu yang kami butuhkan untuk berfikir telah lewat. Pagi itu kami melihat pak Hariadi mendatangi kami di sekolah tempat kami mengajar.

“Silahkan masuk pak”, ajak ku.

“Iya terima kasih”, jawab pak Hariadi.

“Maaf sebelumnya pak, apa maksud kedatangan bapak ke sekolah kami ini?” Tanya ku.

“Begini sesuai waktu yang telah kita sepakati bahwa kalian akan memberikan jawaban tentang apa yang sudah saya tawarkan beberapa waktu yang lalu”, Kata beliau pada kami.

“Sebelumnya terima kasih atas tawaran bapak beberapa waktu yang lalu, kami merasa sangat terhormat atas tawaran bapak, tapi kami bertiga sudah sepakat untuk tetap tinggal dan mengabdi di desa ini”, jawab ku.

“Ow begitu? Tidak apa-apa jika itu memang sudah menjadi keputusan kalian saya tidak masalah, malah saya akan mendukung kalian” jawab pak Hariadi.

“Terima kasih atas pengertian yang bapak berikan kepada kami”, jawab ku. Setelah semua urusan kami dengan Bapak Drs Hariadi, kami kembali memfokuskan diri untuk membibing anak didik kami.

“Selamat pagi anak-anak”, sapa ku pada mereka.

“Selamat pagi pak”, jawab mereka dengan penuh semangat.

“Pelajaran kita hari ini adalah pelajaran sejarah, kita akan mengenal dan mengetahui nama-nama pahlawan negara kita, siapa yang bisa menyebutakan salah satu nama pahlawan negar kita?” tanya ku pada mereka.

“Saya pak”, jawab Widia.

“Iya Widia, siapa nama pahlawan negara kita yang kamu ketahui?” pintaku.

“Ir Soekarno pak”, jawab Widia lantang.

“Iya bagus, siapa lagi yang tahu?” tanya ku memancing mereka.

“Saya pak!” Jawab Rohmat.

“Iya rohmat siapa pahlawan yang kamu ketahui?” tanya ku.

“R.A Kartini pak”, jawabnya dengan penuh semangat.

“Wah bagus ternyata kalian sudah banyak yang tahu dan mengenal nama-nama pahlawan negara kita, Sekarang tugas kalian adalah membuat karangan tentang pahlawan yang kalian sukai dan berikan alasan kenapa kalian memilih mereka tugas ini dikumpulkan besok mengerti anak-anak?” Tanya ku.

“Mengerti pak!” Jawab mereka serempak.

Pagi itu aku sengaja mengumpulkan semua guru yang ada di sekolahan. Aku ingin mereka membatu untuk mendengarkan dan mengoreksi tugas anak didik kami.

“Anak-anak pagi ini bapak meminta kalian untuk membacakan hasih karangan kalian tentang pahlawan di depan bapak, ibu guru semua kalian mau?” Tanya Ku pada mereka.

“Iya pak”, jawab mereka.

“Di mulai dari Rohmat silahkan”, pinta ku pada Rohmat.

“Pahlawan yang saya sukai adalah Kapitan Patimura, karena dia membela negara ini dengan mengorbankan nyawa dan selain itu dia selalu ada di gambar uang seribuan”. Mendengar cerita Rohmat semua anak di dalam kelas tertawa.

“Bagus Rohmat cerita kamu cukup bagus, berikutnya Widia.”

“Iya pak”, jawab widia.

“Pahlawan bagi ku adalah orang yang telah berjuang tanpa pamrih dan rela mengorbankan apa pun yang mereka miliki demi orang lain. Mereka tidak pernah mengeluh dan terus berjuang sampai akhir”, jelas Widia.

“Lalu siapa pahlwan yang kamu sukai Widia?”, tanya salah satu guru.

“Pahlawan yang saya sukai adalah bapak dan ibu guru yang berada di sekolah ini”, jawab Widia.

“Kenapa?” Tanya Dina.

“Karena beliau-beliau ini sudah bersusah payah untuk membimbing kami dan menjadikan kami anak-anak yang baik. Beliau juga sudah banya berkorban demi kami semua. Beliau tidak pernah mengeluh walaupun terkadang kami nakal, beliau juga tidak pernah menyerah mengajari kami meski kami terkadang tidak bisa. Bapak dan ibu guru yang ada di sekolah ini adalah pahlawan bagi kami semua. Karena kalian telah berkorban demi kami anak didik mu. Beliau adalah pahlawan yang sesungguhnya bagi kami, beliau adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Jawab Widia.

Mendengar cerita dari Widia kami merasa terharu dan tampa kami sadari kami meneteskan air mata. Karena bagi kami merekalah pahlawan kami, mereka lah yang membuat kami untuk terus bertahan di sini untuk membimbing mereka meraih cita-cata dan harapan mereka.

By: Gandhi