Malina dalam Bus Tua (Part 2)

”Aku menyukai debu,” kata Malina pada suatu hari (ketika itu, membicarakan debu, bagi Malina, serasa menyusun krisan putih di jambangan).

”Kenapa kau menyukainya?” tanya pacarnya.

”Aku suka baunya yang harum.”

Pacar Malina geleng-geleng kepala.

”Apa kau pernah mencium debu?” Malina memandang pacarnya.

”Aku pasti bersin-bersin jika melakukan itu. Hidungku sangat sensitive.”

Malina tenggelam dengan perasaannya, ”Ternyata kau tak suka debu.”

”Tidak ada orang yang suka debu selain kamu.” Pacar Malina tertawa seakan ia sedang melontarkan kalimat paling jenaka.

Berhari-hari Malina ingat pernyataan pacarnya tentang hidungnya yang suka bersin bila bersentuhan dengan debu. Lelaki yang tidak asyik, simpul Malina sangat kecewa.

Dan dengan lelaki yang tidak asyik itulah ia justru menikah lima tahun lalu. Lelaki yang mengajarinya menjadi tukang bersih-bersih; dari gorden, lantai, dinding, keramik, koleksi botol parfum, sofa, dan masih banyak lainnya. Bertahun-tahun. Padahal ia senang membiarkan kotor itu tetap menempel. Ia bisa membauinya, meresapi. Ia bosan, dari kecil mendengar teriakan orang-orang saat ia lupa memakai sandal atau lupa mencuci tangan sebelum mengambil sekeping biskuit. Kenapa sih orang dewasa, saat itu, tak sedikit pun memberinya pilihan untuk menyukai tanah atau debu di jejarinya.

Kotor adalah kebebasan. Bersih adalah keterikatan. Ia memilih kotor. Apa yang kaucari Malina? tanya suaminya tadi malam. Selama ini kau berbohong dan pura-pura bahagia menjadi bagian dari kami?

Kau pasti tahu bukan itu yang kumaksudkan.

Itu kenyataan yang kami rasakan.

Kau seharusnya mengerti perasaanku, keinginanku. Aku tak bermaksud merusak apa-apa. Aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam kebebasan. Tanpa kamu. Tanpa anak kita. Tanpa namamu di belakang namaku. Tanpa rutinitas ibu rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja yang mesti kulaporkan tiap minggu padamu. Tanpa tatapan pembantu yang telah kau sogok untuk mengawasiku. Tanpa orang tua yang masih saja merasa berhak mengatur kehidupan kita seakan kita belum cukup mampu untuk membuat keputusan sendiri.

Kau menyakiti kami. Kau benar-benar menyakiti kami.

Itu tidak benar.

Kau bahkan tak tahu dadaku begitu remuk, Malina

Ternyata kau tidak mengerti sedikit pun. Bukan. Bukan itu yang kuinginkan. Aku butuh sendirian dan itu berbeda dengan keinginan menyakiti orang lain. Berbeda sekali. Sayang, kau tak paham.

***
Ini memang tidak sederhana, kemam Malina, sekali lagi, bukan masalah bersih atau kotor semata. Namun ini tentang dirinya yang ingin berkata-kata, tertawa, berpikir, mengkhayal, membuat puisi, membaca, menulis surat, menelepon teman semasa kuliah, mengadakan perjalanan, menonton film, kopi darat dengan kenalan baru, menghadiri peluncuran buku, atau menghabiskan waktu yang sifatnya lebih personal dan tentu menyenangkan untuk dirinya.

Aku tak memiliki keyakinan kau bisa memberiku kesempatan untuk itu jika kau sama sekali tidak paham meski aku sudah berkali-kali mengatakannya, Malina memejamkan matanya.

Lalu di sinilah aku, masih dalam bus tua dengan bunyi mesin yang meraung-raung. Aku punya perasaan kalau bus yang kutumpangi akan membawaku ke suatu tempat yang sangat jauh, tempat di mana aku akan melepaskan segala yang melekat di kehidupanku. Ini mungkin sebuah dosa, pengingkaran paling jahat. Hanya saja, sejak saat ini, aku akan berhenti salah tingkah seolah-olah aku baru saja mencuri sesuatu dari rumah orang lain. Aku kini memiliki tubuhku sendiri.

Malina menggosok matanya, dan punggung tangannya sedikit basah.

***
Bus tua menyusuri jalan yang terus menanjak. Jalan yang makin lama makin sempit. Semak-semak juga makin sesak di kanan kiri jalan. Rupanya bus ini menuju ke puncak bukit. Malina melihat ke sekelilingnya. Ia tercengang. Dia penumpang satu-satunya yang belum turun. Tidak sedikit pun ia ingat, di titik mana saja bus ini berhenti dan menurunkan penumpangnya.

Malina berdiri sambil berpegangan pada sandaran kursi. Hati-hati ia bergerak ke depan, ke arah sopir yang berambut sekusam debu. Tepat di belakang sopir itu, ia bertanya dengan suara yang sengaja dikeraskan: Di mana tempat perhentian terakhir bus ini.

Bus mendadak berhenti. Malina hampir saja tersungkur ke depan dan ia bersungut-sungut. Sopir bus membalikkan badannya, menatap Malina dingin, sembari menjawab: Di neraka.

Seketika tubuh Malina limbung. Mata sopir bus itu sama persis dengan mata suaminya.***
                           
By: Yetti A.KA