Miss Konseli (Part 1)

Baru saja, Andrea, siswi kelas 2 SMA, menghubungi seluler Miss Konseli, begitu siswa-siswa di sekolah memanggil Rima. Sore itu juga ia ingin bertemu dengannya untuk sebuah urusan yang sangat penting. Padahal itu hari Minggu!

Seingat Rima, hanya ada satu alasan mengapa seorang siswi menelepon selulernya di luar jam kerjanya sebagai konselor di sekolah dan ingin bertemu dengannya saat itu juga. Alasannya, siswa itu hamil! Berkelahi, nyontek, melawan guru, nilai pelajaran turun, berbeda pendapat dengan orang tua, atau putus cinta, itu persoalan yang bisa dibahas saat jam kerja atau digolongkan pada masalah yang bisa ditunda.

Rima ingat, kala itu, Sarah menelepon ingin bertemu padahal ia sedang cuti. Rima tak bisa menolak karena siswi kelas tiga itu memohon-mohon sambil menangis. Setiba di depannya, Sarah langsung menunjukkan pipa tes kehamilan bertanda positif dan mengatakan, ”Miss Konseli, saya hamil…” Suara Sarah gemetar, wajah tegang, dan mata sembap kebanyakan menangis.

Rima beku mendengarnya. Membuatnya lupa mengajak Sarah masuk ke rumah. Lupa untuk merangkulnya, menenangkan, memberinya kekuatan.

”Pacar saya yang melakukannya. Kami saling mencintai. Kami berdua memang keliru. Tapi, saya tak ingin menggugurkan bayi ini. Saya yakin pasangan yang tak mampu memiliki anak, ada yang bersedia mengadopsi anak saya. Bantu saya mengatakan ini pada Mama dan Papa, please. Saya masih ingin melanjutkan sekolah…”

Konselor muda ini dikepung rasa bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi dan menyelesaikan persoalan tersebut. Pelajar SMA hamil masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Ia tahu ada sekolah mengeluarkan siswinya yang hamil dengan alasan siswi tersebut telah melanggar peraturan sekolah, moral, dan agama.

Di depan Sarah dan dirinya, orang tua Sarah yang dipanggil ke sekolah, bertengkar hebat, berteriak, saling menyalahkan. Sementara Sarah duduk memangku dagu, terisak-isak di sampingnya. Untuk menyudahi pertengkaran Rima menyarankan sementara Sarah diminta belajar di rumah. Pihak sekolah berjanji memberi toleransi, Sarah bisa kembali ke sekolah setelah melahirkan. Namun di usia kandungan 4 bulan Sarah mengalami pendarahan hebat, dan memaksanya menggugurkan bayinya.

***
Mungkinkah Andrea hamil? Sepengetahuan Rima, Andrea pacaran dengan Farhan. Sekali Rima bertemu keduanya sedang makan di restoran cepat saji.

”Miss Konseli ada di rumahkah?” Suara Andrea di telepon.

”Ya, ya, saya di rumah,” sambil menjawab telepon, Rima menutup novel "The Marriage Bureau for Rich People" karya Farahad Zama, kelahiran India, yang tengah dibacanya di teras belakang, yang dipenuhi pot tanaman kuping gajah, berdaun hijau, segar, dan sehat. Tiap pagi, mengikuti resep dari ibunya, Rima menyiram tanaman itu dengan air seduhan teh basi. Ia, yang lahir dekat perkebunan teh di Slawi, selalu menyeduh teh daun karena merasa tak mantap pada rasa teh celup.

”Saya sedang dalam perjalanan ke rumah Miss…”

”Katakan jika kau dalam keadaan sakit atau bahaya,” Rima mulai dikalungi perasaan tidak nyaman. Maklum Andrea tergolong murid yang tak pernah punya masalah.

”Saya masih bisa mengemudi, menginjak rem, dan mengukur kecepatan secara pas.”

”Tidak dengan supir?”

”Ini Minggu. Pak Yayan libur. Saya sudah bisa mengemudi dan dapat SIM sejak usia 15 tahun.”

Murid-murid kerap bercerita dengan bangga bahwa mereka sukses memalsu umur untuk bisa dapat KTP dan SIM. Mereka tak sabar ingin mengemudi kendati usia belum 17 tahun.

Ayahnya dulu tak mengizinkan Rima melakukan itu. Katanya, itu bohong dan tercela. Ayahnya mengaku tidak bangga melihat putrinya punya SIM dan bisa nyopir dengan cara memalsu umur. Rima memiliki SIM sesuai dengan hukum yang berlaku, saat ia berusia 17 tahun.

”Hati, hati, ya,” pesan Rima akhirnya sambil membuka pintu depan agar bisa melihat mobil Andrea segera jika ia tiba.

”Pasti, Miss!”

Rima pernah bercakap-cakap lama dengan Andrea ketika siswa yang pandai mengotak-atik komputer itu terpilih masuk tim olimpiade bidang komputer. Tapi Andrea memutuskan mengundurkan diri. Rima kemudian memanggilnya, meminta penjelasan mengapa ia mengundurkan diri dari ajang bergengsi tersebut.

Andrea beralasan, ia mundur karena komputer hanyalah hobi. Ia tak pernah berminat bekerja di bidang itu. Cita-citanya ingin menjadi pengacara. Sebab itu ia memilih untuk aktif di klub debat dan ikut beberapa kompetisi. Belakangan Rima mendengar gosip, hobi Andrea mengotak-atik komputer membuatnya tergoda menjadi cracker. Rima tidak tahu kebenarannya, sebab belum melihat buktinya. Tapi jangan-jangan…

”Andrea, katakan sekali lagi, apakah kamu yakin mampu mengemudi ke rumah saya?”

Andrea tertawa. ”Saya tidak sedang kehabisan darah atau di bawah ancaman, meski saya sedang kebingungan. Sepuluh menit lagi saya tiba di sana.”

Suara Andrea yang tenang dan yakin melumerkan kekhawatiran Rima. Kekhawatiran yang menurut teman-temannya berlebihan. Mereka bilang, Rima tak seharusnya terlibat begitu jauh dengan persoalan siswa. Cukup selama jam kerja saja, pukul 07.00 hingga 16.00. Tapi Miss Konseli tidak bisa sekaku itu. Dalam kasus-kasus tertentu ia tak keberatan dihubungi di luar jam kerja.

Tak jarang saat cuti siswa dan wali murid meneleponnya untuk minta tolong, saran, atau memintanya jadi mediator. Rima merasa tertantang. Ia juga senang dirinya berarti bagi orang lain. Teman-temannya mengatakan Rima punya waktu karena belum berkeluarga dan punya anak. Ia hanya menanggapi dengan angkat bahu karena memang tidak tahu. Alasan lainnya, boleh jadi karena sekolah memberinya gaji lebih besar dibanding temannya yang berprofesi sama, yang bekerja di sekolah negeri atau swasta biasa.

Sekolah itu mahal. Uang pangkalnya 100 juta lebih. Bayaran tiap bulan sama dengan gaji pegawai negeri golongan IV A. Itu belum termasuk uang makan dan snack. Fasilitas sekolah lengkap. Di setiap kelas yang berpendingin, tersedia komputer plus jaringan internet dan proyektor.

Perpustakaannya yang besar dengan sofa-sofa nyaman memiliki koleksi buku dalam dua bahasa juga koleksi DVD. Untuk pertemuan tersedia teater mini yang bisa menampung 400 orang. Lapangan basket, sepak bola, dan futsal tersedia. Rencananya akan dibangun kolam renang.

Cafetaria sekolah menyediakan menu makanan Timur dan Barat dengan seorang koki lulusan akademi kuliner. Sebulan sekali seorang ahli gizi membantu menyiapkan menu seimbang, bergizi, dan enak. Kebersihan makanan diawasi ketat. Semua yang kerja di dapur dan yang berhubungan dengan makanan wajib mengenakan kaos tangan.

Murid di sekolah swasta bilingual, bertaraf internasional ini berjumlah 180 orang. Tiap kelas 20 murid. Kelas 1 hingga 3 masing-masing memiliki tiga kelas. Namun boleh dikata Rima hapal nama-nama mereka. Hubungan guru, staf, dan murid-murid juga cukup akrab. Sebuah suasana kerja yang membuat Rima betah.

Dari hasil angket yang yang disebarkan sekolah diketahui, profesi wali murid, terdiri dari pegawai negeri, pengusaha, pegawai swasta, sutradara, anggota DPR, fotografer, pengacara, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Mereka tinggal di rumah sendiri, memiliki lebih dari satu mobil, dan menggunakan tenaga sopir.

Sekolah yang berhalaman luas dengan pohon tanjung yang ditata cantik itu berada di luar kota. Sekelilingnya dipagar tinggi. Hanya ada satu pintu gerbang masuk yang dijaga satuan keamanan. Sebelum masuk setiap pegawai harus menunjukkan kartu kepegawaian setempat. Sedangkan wali murid memperoleh stiker untuk ditempel di kaca mobil agar bebas keluar masuk.

Penduduk kampung yang tinggal di sekitar sekolah menyebut sekolah itu sebagai ”sekolah luar negeri”, karena beberapa kali mendengar muridnya berbicara dalam bahasa Inggris. Dan Rima merasa beruntung bisa menjadi bagian dari ”sekolah luar negeri”. Murid-murid umumnya pintar. Pengetahuannya selalu up to date, bersih, wangi, dan tampak sopan, terlihat dari terbiasanya mengucapkan excuse me, please, dan thank you.

Sempat Rima mengira bekerja di sekolah itu akan lebih ringan. Tak seperti temannya, konselor di sebuah SMA negeri, yang berkutat dengan masalah siswa bolos, bayaran yang menunggak, prestasi akademi yang turun karena siswa terpaksa bekerja, dan perkelahian antargeng atau sekolah. Ternyata ia keliru. Masalah itu banyak juga. Jenisnya saja yang berbeda.

Bersambung...
                             
By: Ida Ahdiah