Sebelas menit kemudian Rima melihat Honda Jazz merah Ferrari berhenti di depan rumah. Ia bergegas menghampiri Andrea. Matanya segera tertuju ke perut gadis semampai yang turun dari mobil. Perut yang dibalut kaos Guess merah ketat, memamerkan pusar itu, tampak rata. Celana jeans pendek juga tampak longgar di bagian pinggang
”Maaf, saya menganggu. Saat ini hanya Miss Konseli yang saya percaya. Kalau saya bicara dengan teman-teman, saya khawatir…,” Andrea mengatakan itu dengan matanya yang kuyu kurang tidur menatap Rima, penuh permohonan.
”Tidak, apa-apa, ayo masuk…” Rima merangkul bahu Andrea sambil berupaya menyiapkan diri untuk mendengar cerita Andrea.
”Mau kubuatkan teh, manis,” Rima menawari Andrea yang sudah duduk di kursi tamu.
Andrea yang tampak lelah dan kebingungan menggeleng, ”Terima kasih, Miss.”
”Ada apa Andrea…,” Rima mengambil duduk di sampingnya.
”Saya ingin minta pendapat Miss…”
”Tentang pacarmu?”
”Farhan baik-baik saja. Dia pun belum saya beri tahu. Kalau tahu bisa-bisa dia mengajak saya kabur, malah mengajak kawin sekalian…” Suaranya terdengar sinis.
”Jadi, kamu…” Rima menatap perut Andrea lalu naik ke wajahnya, ”Kamu kelihatan lelah, bingung, dan kurang tidur,” kata Rima akhirnya.
”Dua malam ini saya tidak bisa tidur. Saya…” Andrea memejamkan mata. Tenggorokannya turun naik. Tampak ia berupaya menahan sesuatu yang mengganjal.
Rima menunggu kelanjutan cerita Andrea.
”Terserah, apa pendapat Miss Konseli terhadap saya. Tapi saya tidak tahan untuk tidak menceritakannya pada Miss. Banyak orang sudah tahu. Barangkali Miss juga sudah tahu…” Dengan gerakan cepat Andrea menarik dua buah buku tabungan dari tasnya dan memberikannya pada Rima.
Di buku tabungan biru muda bersimbol layar perahu tertera 29 miliar. Di buku tabungan satunya, yang berwarna merah tertera 10 miliar. Andrea punya uang Rp 39 miliar!
Melihat nilai uang itu, sontak jantung Rima berdentam kerap dan kencang. Mulutnya terasa kering. Rima mulai menduga, gosip yang mengatakan Andrea adalah seorang cracker benar adanya. Konon Andrea pernah membobol jaringan komputer sebuah departemen. Dan kini ia mengacak-acak bank? Menjebol rekening bukan miliknya? Untuk apa uangnya? Beli mobil, jajan, beli perhiasan, mentraktir teman atau hanya untuk memenuhi rasa ingin tahunya?
”Jadi uang ini yang membuatmu bingung dan tidak bisa tidur…” Rima mencoba mengatur suaranya setenang mungkin saat mengatakannya.
Andrea mengangguk-anggukan kepala, pelan. Seluruh punggungnya ia letakkan di sandaran kursi.
Jawaban itu sudah diduganya. Namun tetap saja membuat Rima menggigil.
”Andrea, jika uang itu diperoleh dengan menjebol rekening orang lain, itu sudah masuk wilayah hukum. Itu artinya…”
”Miss Konseli,” Andrea memanggil namanya cukup keras. ”Hanya sekali saya meng-crack jaringan komputer. Itu pun karena terdorong ingin coba-coba dan membuktikan kalau saya mampu. Setelah itu saya tak pernah melakukannya lagi. Sumpah!”
Rima mengacungkan kedua buku tabungan dan bertanya tegas, ”Lantas dari mana kau memperoleh uang sebesar ini?”
Rima menatap bola mata Andrea tajam dan dalam. Andrea balas menatapnya. Lama mereka saling tatap dalam bisu. Lama-lama sorot mata Andrea melemah dan berair. Jantung Rima kian berdegup kerap dan kencang,
”Papa yang mentransfer uang itu ke rekening saya…” Suara Andrea terdengar lamat-lamat tapi cukup membuat tubuh Rima tak bertenaga.
Selanjutnya Rima menghubungkan apa yang ia baca, lihat, dan dengar belakangan ini di media cetak, televisi, dan obrolan antarteman dan tetangga. Lantas ia bawa Andrea, putri kedua Bahrun, yang saat ini sedang diperiksa karena kekayaannya dicurigai diperoleh dengan cara tidak halal, ke dalam pelukannya.
Miss Konseli tahu, ada hal yang masih perlu ia pelajari. Yaitu, tentang bagaimana menghadapi murid yang ayah atau ibunya terbukti korupsi atau menyuap orang untuk melakukan korupsi…
By: Ida Ahdiah