Kau tau, mendung di kala senja itu selalu saja membuat otakku ingin menambahkan kayu untuk memanaskan tungku perapiannya, setidaknya ia menghangatkan aura-aura suci yang berseliweran hadir, agar mereka tak terbeku oleh kedangkalan hasratku. Oh, mata itu, yang kusebut ia mata cinta, selalu memberikanku imaji-imaji liar dan tak terkendali. Kau tau, saat mata cinta itu menusuk tajam ke dalam pandangku, mataku semakin sulit membedakan kerlingan awan yang membawa berkilo liter air surgawi yang tak lain dari daratan semu, dengan tatapan tajam cahaya petir yang menyibak memecah tirai langit yang mendung di kala senja.
Gadis itu, selalu hadir saat aku menanti asa, saat aku menanti mendung menyibakkan tirainya agar ku lihat keemasan cahaya mentari yang kan tenggelam di bawah horizon. Sialnya, mendung tak pernah bolos memayungi langkah gadis itu, sekedar kau tau, dialah pemilik mata cinta yang kuceritakan tadi. “Oh, cantik, aku sungguh menyayangimu. Tapi ku ragu, aku tak yakin aku benar-benar menyayangimu. Saat pandanganku masuk jauh ke dalam mata cintamu, berbagai hasrat menjilat-jilatkan ujungnya lalu mereka menggoreskan lukisan abstrak nan luas dan indah dalam pikiranku. Bukankah ini hanya perasaan ingin memiliki saja? Entahlah, semoga tidak…”, batinku tersiksa oleh kehadirannya, semakin ia mendekat, semakin aku berada di tepian jurang, sebuah titik antara hidup-mati, antara tenggelamnya mentari dengan pekatnya mendung di kala senja. Titik keraguan.
Memang tak akan pernah lelah, buaian, belaian frase indah menghiasi suaranya setiap kali kami bertukar komunikasi. Aku menggadaikan sedikitnya berkilo keyakinan tiap detik hanya untuk merasakan buaian kata-kata manisnya, kugadaikan bagai setetes air yang demi detik mendegradasi partikel besi, dan korosi akhirnya menghantui. Gadis bermata cinta itu selalu muncul di tepian senja, membuat wajahnya buram – kontras oleh warna keemasan mentari yang bersiap sembunyi. Dan mendung, entah siapa gerangan mendung, seperti seorang kekasih, mendung selalu melindungi langkah gadis itu di kala senja, dan saat berpayung mendung wajah gadis itu akan bercahaya cerah mengalahkan cahaya keemasan mentari silaukan mata.
Terkadang, dan terkadang memang benar dari pandangan kebenaran subyektifku sendiri bahwa seperti yang kebanyakan para tetua nasehatkan kalau cinta bisa membutakan logika. Gadis berpayung mendung senja itu sesekali menyibakkan sedikit payungnya sehingga sinar keemasan mentari senja mengintip di samping wajahnya. Yang masuk dalam konsep pikirku atas apa yang kulihat kala sinar mentari senja mengintip di samping wajahnya, adalah dua mentari senja sedang bersiap sembunyi dalam singgasana peraduan. Gadis itu tersenyum, aku hanya mendengar suara mistisnya, sementara imanku goyah untuk memilih satu sinar mentari yang benar-benar bersiap tiap harinya mematuhi siklus alam. Dua sinar mentari harus diseleksi, satu sinar datang dari wajah gadis berpayung mendung senja, satu sinar lainnya datang dari senja itu sendiri.
“Hahahaha…” ia tertawa melihatku gundah. Ini sudah hampir larut malam, tapi mentari masih berada di duniaku, dunia antara mimpi dan nyata. Sinar mentari senja masih hadir, datang dari wajahnya yang semakin merayu hasratku. Aku tau, ini hanyalah sinar semu yang terpancar dari keceriaan wajah seorang gadis yang kucinta, atau lebih tepatnya yang kuhasrat-cintai. Aku tau, ini adalah waktu larut malam, bukan antara siang-malam, bukan antara mendung dan kecerahan langit. Tapi, cinta, cinta membuatku mencumbui keindahan perasaan, perasaan yang tercipta di kala senja, di kala ia menyapa, saat ia tertawa dalam kegundahanku bersamanya. “Hahahaha… Dosa yang terindah” satu gema menyahut di bekas tempat perpisahan siang dan malam. Gadis itu mengerlingkan mata, mempesonaku lalu ia melambaikan tangan menembus larut malam.
===
“Hei, jangan kau pergi, jangan pergi dulu….” aku mengingau selalu seperti itu, pun kusadari pagi telah menjelaskan cahaya sejati, pun embun suci menetesi mataku yang setengah terpejam. Hari-hariku keruh oleh imaji buta tentang gadis itu. Tubuhku agaknya lebih senang untuk diajak bermalasan di bawah rindangnya pohon mimpi. Kupaksakan beranjak, ia melawan, “sedetik saja sebentar…” rayunya, kuturuti, ku ajaknya pergi, tapi tubuhku merayu lagi dengan berbagai alibi logis, begitu seterusnya sehingga aku kalah dengan nafsu hewani tubuhku sendiri. Seharian aku menenangkannya di bawah pohon mimpi, daunnya melambai-lambai mengantarkan sepoi angin membuatku semakin betah memanjakan diri di sana.
Senja tiba, tubuhku meloncat kegirangan. Ia menyeretku menemui tempat pertemuan siang-malam. Mendung tak hadir sore ini, pertanda gadis itu juga tak hadir. Pupus, perasaanku membaur mengiringi cahaya keemasan mentari senja yang menikahkan siang dan malam di ujung horizon. Perasaan yang memburamkan batas antara semu-nya keindahan mimpi dan jujurnya kenyataan. Aku menjadi saksi pernikahan siklus alam itu, hingga aku benar-benar menyadari pernikahan itu hanya berlangsung beberapa detik. Sang malam telah menelan siang, dua sejoli itu menikmati kebersamaan hanya beberapa detik, atau bahkan tidak sedetik pun mereka bercumbu, hanya nisbinya khayalku yang bersaksi atas pernikahan itu.
Aku beranjak pulang menidurkan diri. Detik-detik waktu terdengar jelas mengalun memainkan nada memancing khayalku tentang gadis berpayung mendung senja itu. Malamku tak lagi sejelas malam-malam sebelum ku bertemu dengannya. Gadis itu membawakan siang dalam malamku, dan menidurkanku di kala siang. Tak jelas lagi kapan aku berada di waktu siang, kapan aku bersua malam. Yang kupahami hanyalah waktu senja, aku benar-benar paham jika aku selalu berada dalam senja, begitulah menurut khayalku. Aku benar-benar terobsesi dengan waktu senja. Setiap detik pergantian waktu, kuhabiskan sisa hanya untuk menanti kedatangan senja, menjemput pujaan hatiku – gadis berpayung mendung senja.
—
“Hai … apa kabar?” sapanya menyadarkanku yang tengah tertidur di bawah rindangnya pohon mimpi pagi itu, oh malam itu, entahlah, aku bingung. Yang jelas sudah lama sekali aku menantinya, menanti senja menyapaku hingga tak tersadar bahwa setiap waktuku berada dalam senja. Senja seperti ini yang hanya kunanti, senja yang melangkah dari balik batas horizonnya seorang gadis berpayung mendung. Tubuhku menggelinjang hebat merasakan dahsyatnya sensasi energi momentum romansa dua sejoli.
Aku menjemputnya, tak peduli lagi siang atau malamkah saat ini. Ku berlari menerjang batas, melangkahi horizon samar tak berujung itu demi rasa yang kusebut cinta. Ia menanti tepat di batas antara siang-malam, seperti seorang penghulu menikahkan kedua mempelai siklus waktu. Mentari senja di sampingnya menjadi saksi pernikahan waktu, sementara gadis itu tersenyum melihatku berlari menjemputnya. Ia membuang mendung senjanya, menampakkan padaku wajah aslinya. Berada di samping mentari senja membuatnya masih terlihat bersinar, pun payung mendungnya telah ia buang. Seperti cahaya mentari di kala senja, bersiap menikahkan siang-malam dan memisahkannya kemudian, gadis itu memberi penawaran : “Melangkahlah padaku sayang, pilihlah siang atau malammu, ku ingin kau menjadi imamku siang-malamku, dunia-akhiratku, pilihlah waktumu sebelum senja benar-benar memisahkan kita sekejap perpisahan siang-malam…” Aku hanya tertegun mendengar ucapannya. Aku tak memilih, karena ku tau sedetik atau bahkan sepermilyaran detik kenyataan malam akan segera menelan siang, tak kan berubah meski aku bersikukuh memilih siang. Aku hanya menikmati wajahnya, kusadari, aku telah menikahinya lalu melepasnya hanya dalam waktu sepersekian detik. Sekejap waktu kebersamaan yang cukup untuk membuat seumur hidupku tak bisa melupakannya.
Cintaku, bagaimana dengan perasaan itu? ia tak pernah padam, kusimpan dalam kesucian nurani agar ia tak ternoda lagi oleh keraguan senja. Aku tetap menanti senja setiap hariku demi mengenang pernikahan dan perpisahanku dengan gadis itu. Ku yakin, ia juga selalu setia mengenang masa itu seperti kesetiaan mentari senja yang tak lelah menjalani rutinitas menikahkan dan menceraikan siang-malam agar cinta manusia selalu mengingat momen itu sebagai tanda Kebesaran Pencipta. Agar manusia sadar cinta pada sesamanya selalu akan berujung perpisahan nantinya, agar manusia sadar cinta semu itu bermuara pada ketetapan waktu Sang Pemilik Waktu. Hanya sepermilyar, sepertriliun, dan tak terhitung seperberapa detik siang-malam menikmati cumbuan kasih sayang lalu dipisahkan, tak membuat mereka berpaling dari hukum alam. Begitulah kuusahakan selalu agar aku bersikap realistis terhadap siklus waktu, agar cintaku pada gadis itu selalu terjaga tanpa melanggar batas hukum alam agar semesta tak menangis penyesalan hanya karena melihat cinta buta manusia yang tak disadari telah mengacaukan semesta, meski seringkali aku melanggarnya sendiri demi bersua dan bermesra dengan gadis itu sekejap waktu. “Sayang, semoga kau memahami bagaimana perasaan cintaku. Maafkan kemunafikanku yang tak berani memilih siang malammu, sekedar kau tau, bagiku beginilah caraku mencintaimu – agar cinta kita tak sebatas pernikahan semu, agar kesetiaan mengantarkan kita membedakan kesejatian siang-malam sesunggunhnya, aku selalu mencintaimu, sayang…” Ia berlalu pergi, menghilang di balik kegelapan malam. Setetes air matanya tertinggal dalam saku kenanganku, aku simpan rapat-rapat dan kutempatkan di tempat terindah di hatiku. Suara perpisahannya masih mengiang-ngiang di telingaku. Gadis berpayung mendung senja itu menyadarkan diriku bahwa aku benar-benar masih berada di waktu senja. Dan aku masih akan mengenang senja, mengeja kata-kata yang terselip di antara quark sinar surya, menanti malam menelan siang hingga aku benar-benar sadar aku telah tinggal dalam kegelapan malam, atau aku tersadar bahwa aku telah berjumpa lagi dengan sinar pagi.
By: Rizky Akbar