Langit Senja yang Berpelangi

Pagi ini aku bangun sebelum ayam berkokok. Aku langsung bergegas menimba air di sumur, mandi, dan ganti pakaian. Setelah itu sarapan bersama kedua orangtuaku, walaupun masih sekitar jam lima pagi. Dan saatnya berangkat ke sekolah. Sementara Abi pergi ke ladang untuk bertani. Abi tidak memiliki ladang. Abi hanya menggarap ladang milik orang lain. Biasanya Abi diberi upah sebesar Rp 5.000 sampai dengan Rp 10.000 setiap harinya. Sementara Umi, berdagang buah-buahan di pasar. Buah yang biasa aku petik di hutan setiap pulang sekolah. Pendapatan Umi setiap harinya, berkisar Rp 10.000 sampai dengan Rp 20.000. Bisa juga dibilang, penghasilan orangtua-ku tidak menentu. Ya begitulah, rezeki urusan yang di atas. Kami hanya bisa mensyukuri saja. Kami sekeluarga hidup bahagia.

“Abi, Umi, Rina berangkat sekolah, ya! Assalamu’alaikum.” pamitku seraya mencium tangan mereka.
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Iya Nak, hati-hati di jalan ya!” mereka membalas salamku.

Ow iya aku lupa, kenalkan nama aku Karina Khanza Labiba. Aku biasa dipanggil Rina. Aku adalah anak tunggal. Aku tinggal di Desa Banjar, Kepulauan Lingga, Pulau Singkep, Provinsi Riau Kepulauan. Desa Banjar adalah desa yang sangat terpencil, jauh dari keramaian kota dan belum terjamah oleh listrik. Meski begitu, aku sangat senang tinggal di sini. Aku bisa melihat bukit, sawah, sungai, air terjun, dan hutan yang masih sangat asri. Seakan semuanya belum terjamah oleh manusia.

Pagi ini sang surya belum muncul dari peraduannya. Hari masih gelap. Tapi, aku sudah terbiasa berangkat sepagi ini setiap hari. Tujuannya hanya satu, yaitu agar aku bisa menempati bangku terdepan supaya aku bisa memahami pelajaran yang diajarkan oleh Bu Ani. Untuk tiba di sekolah maupun perjalanan pulangnya, semua membutuhkan perjuangan. Jarak rumahku dengan sekolah sekitar 2 km. Walaupun terdengar tidak terlalu jauh, tapi sangat memakan waktu. Aku harus melewati sawah, hutan yang lebat, ditambah dengan jalan yang berbukit-bukit dan rawan longsor. Serta aliran sungai berbatu yang berarus deras dengan lebar 60 meter. Seminggu yang lalu, aku masih bisa melewati sungai dengan jembatan gantung yang sudah reot dan rapuh karena dimakan usia. Tetapi, enam hari yang lalu desaku dilanda badai yang sangat dahsyat. Hingga merobohkan jembatan gantung tersebut. Tapi untungnya rumah dan sekolahku tidak rusak. Hehe. Dan alhasil, aku mau tidak mau harus melewati aliran deras ini.

Dan di bawah sanalah sekolahku berada. SMP Pancasila. Tempat terindah dari semua tempat indah di dunia. Dimana aku bisa belajar untuk meraih masa depan. Walaupun sebenarnya, sekolahku sudah tak layak digunakan. Atapnya berlubang, dinding kayunya juga sudah reot dan rapuh. Sebagian telah dimakan rayap. Halamannya tidak terlalu luas, disana terdapat bendera merah putih. Bendera kebangsaan negara Indonesia. Aku sangat ingin menjadi siswa yang berprestasi, hingga membawa nama baik bangsa indonesia ke seluruh negeri. Mengenalkan budaya-budayanya ke negara-negara lain. Agar Republik Indonesia bisa dikenal baik oleh seluruh penjuru dunia. Itulah yang aku inginkan selama ini.

Tak terasa, teman-teman sudah datang. Bu Ani juga baru memasuki ruang kelas. Di sekolahku hanya ada delapan siswa kelas tujuh. Di sini hanya ada satu guru yang mau mengabdi di tempat seperti ini. Beliaulah Bu Ani Fatimah. Bu Ani berasal dari ibukota Jakarta. Beliau mengajar dengan hati tulus dan ikhlas, hanya berniat untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia. Karena hak memperoleh pendidikan itu sangat penting. Bahkan diwajibkan oleh pemerintah. Oh iya, hari ini pelajarannya adalah matematika dan IPA. Dua pelajaran kesukaanku.

Sepulang sekolah, aku langsung pergi ke hutan untuk memetik buah-buahan. Buah yang aku petik ini, nantinya akan dijual Umi ke pasar. Dan sebagian akan dimakan bersama keluarga. Selain memetik buah, aku pun juga suka meneliti kejadian-kejadian unik yang ada di hutan. Bisa dibilang magis. Tapi, kalau dijelaskan pakai nalar dan logika, fenomena tersebut sudah wajar dan sama sekali tidak mengandung hal magis. Asyik bukan, belajar di alam bebas? Hampir setiap hari aku melakukan hal ini. Karena esok pada masa yang akan datang, aku ingin menjadi seorang Ilmuwan dengan menyandang tittle S3 yang artinya telah berpendidikan hingga tingkat Profesor. Maka dari itu, aku selalu belajar, belajar, dan belajar. Agar impianku dapat tercapai kelak. Amienn… Dan selain sambil belajar, biasanya aku juga menanam bibit pohon-pohon yang baru. Bisa juga disebut reboisasi. Aku melakukan hal itu, karena aku ingin hutanku tetap asri dan lebat.

Hari berganti, seperti biasa pagi ini aku melakukan hal yang sama seperti kemarin. Dan tiba paling awal di kelas. Bosan juga menunggu sekitar satu jam sendirian di kelas. Tapi, tak apalah.

“Selamat pagi Bu Guru.” kami mengucapkan salam kepada Bu Ani.

“Selamat pagi Anak-anak. Bagaimana kabar kalian?” jawab Bu Ani dengan semangat.

“Baik Bu. Bagaimana dengan Ibu sendiri?”

“Alhamdulillah, ibu juga baik-baik saja. Kalau begitu, buka buku IPS kalian. Siapa yang sudah hafal budaya-budaya yang terdapat di Indonesia?”

Dengan percaya diri aku langsung mengacungkan tangan.

“Saya Bu! Saya sudah hafal semua budaya yang ada di 34 provinsi di Indonesia.”

“Oke, bagus Rina! Silakan ke depan dan sebutkan.”

“Baik Bu.”

Setelah kusebutkan satu per satu, Bu Ani mempersilakan aku untuk duduk kembali di bangkuku. Dan aku diberi predikat A+. Senang rasanya. Saat pulang sekolah, Bu Ani memanggilku.

“Rina, di antara teman-teman kamu. Kamulah yang bisa ibu banggakan. Belajarlah yang rajin, Nak. Jangan patah semangat. Ibu yakin kamu bisa menggapai semua impianmu. Ibu lihat, kamu memiliki tekad dan potensi yang kuat untuk maju. Kalau boleh tahu, apa cita-citamu, Nak?”

“Saya ingin menjadi ilmuwan, Bu.”

“Bagus kalau begitu. Raihlah cita-citamu setinggi langit. Tuntutlah ilmu seluas jagat raya ini. Arungi semua samudera. Tembuslah langit hingga lapis ke tujuh. Dakilah semua gunung, hingga ke puncak Everest. Dan jelajahi seluruh daratan di bumi. Hanya untuk satu tujuan, yaitu untuk menuntut ilmu. Berlarilah. Terbanglah. Menarilah. Tertawalah. Sadarilah bahwa dunia itu indah. Walaupun tak seindah surga di atas sana. Selalu tersenyumlah laksana langit senja yang berpelangi. Ibu sangat bangga padamu, Rina!”

“Terima kasih, Bu. Hiks hiks hiks…” aku mengucapkan terima kasih sambil sesenggukan menangis terharu. Aku menjadi lebih semangat setelah mendengar ucapan guru tercintaku itu. Ucapan tadi adalah kata-kata yang paling indah di dunia.

“Iya Rina. Sekarang pulanglah dan belajar yang rajin. Umi pasti sudah menantimu.”

“Iya Bu, Rina permisi dulu ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam Wr.Wb. hati-hati di jalan ya!”

“Pasti Bu!”

Aku pulang dengan perasaan senang bercampur terharu. Seraya itu, aku langsung naik ke bukit. Tetapi tiba-tiba saat perjalanan, rintik-rintik hujan mulai turun. Untung saja hanya gerimis. Dari atas bukit aku bisa melihat desaku yang sangat indah. Aku bisa menikmati indahnya matahari kala senja. Dan aku pun berteriak.

“Halo dunia! Nantilah aku. Aku berjanji akan mengarungi seluruh samudera. Aku akan terbang menembus langit lapisan ke tujuh. Kan ku daki semua gunung, hingga ke puncak Everest. Dan kan ku jelajahi seluruh daratan. Hanya untuk satu tujuan. MENUNTUT ILMU. Ya, itulah tujuanku. Aku akan selalu tersenyum laksana langit senja yang berpelangi. Dan disinilah! Di bukit ini. Akan dimulai perjuangan itu. Dan alam semestalah yang kan menjadi saksinya.” Saking berkobarnya semangat ’45-ku, tak terasa hujan telah reda. Dan muncullah pelangi di sebelah timur. Seakan dia tengah tersenyum padaku. Aku merasa jiwaku ini telah utuh lagi, setelah kejadian ini. Dan semangatku lebih membara, untuk menantang kehidupan di luar sana.

Tepat satu bulan setelah kejadian mengharukan itu, hari ini akan dilaksanakan Ulangan Akhir Semester Genap. Hasilnya akan diumumkan besok. Untung saja, kemarin tujuh hari tujuh malam aku belajar gak kenal siang ataupun malam. Sampai-sampai aku hanya mampu tidur tiga jam saja per harinya. Parah sekali yang jelas. Soal-soal yang ditanyakan, semuanya sudah dijelaskan sama Bu Ani. Jadi, aku percaya dalam hati bahwa gak ada kesalahan yang aku lakukan selama mengerjakannya. Aku tak sabar menunggu esok hari.

Hari berganti, aku bangun sangat pagi kali ini. Hanya untuk ke sekolah mengetahui hasil belajarku selama satu semester ini. Ketika berangkat bersama Abi dan Umi. Di jalan terasa tanahnya sedikit bergerak. Tapi, hanya kami anggap sepele. Hingga akhirnya, ketika tiba di ladang getaran itu terasa semakin kencang, kencang, dan kencang. Kami hanya berlindung di bawah pohon pisang. Dan untung saja, kami sekeluarga selamat dari gempa bumi berdurasi sekitar lima menit itu. Tapi ada yang janggal, firasatku ada hal buruk yang telah terjadi. Seketika itu pun aku langsung berlari sekencang-kencangnya ke sekolah. Dan ternyata, sekolahku telah hancur. Aku pun menangis tak karuan.

Sekitar tiga jam setelah gempa, ada banyak relawan berdatangan untuk menolong kami. Dan posko pengungsian korban bencana alam pun sudah banyak berdiri. Tapi, aku tak langsung memasukinya. Aku lebih memilih untuk datang lagi ke sekolah dan mencari kabar tentang Bu Ani dan kawan-kawan lainnya. Setiba disana, aku melihat para Tim Sar sedang membokar runtuhan bangunan sekolahku. Setelah, aku bertanya ternyata hasilnya. Bu Ani telah ditemukan dalam keadaan tak bernyawa bersama runtuhan bangunan sekolah itu. Sama halnya dengan Bu Ani, Rudi, Jito, Tika, dan Dita empat sahabatku itu juga ditemukan tak bernyawa bersama runtuhan bangunan. Apa daya untuk mempercayai semua ini. Ini tak mungkin terjadi. Pasti semua hanyalah mimpi.

Di dalam tenda pengungsian, aku pun menangis tak karuan sampai berteriak-teriak, walaupun Sadini sudah berusaha menghiburku. Tapi kurasa aku tak bisa menahan kesedihanku. Aku berpikiran, pasti aku sudah tak bisa lagi meraih impianku. Karena sekolahku telah hancur, begitu juga dengan guru dan teman-temanku yang ikut tertimbun dalam runtuhan tersebut. Tanpa Bu Ani, aku tak akan berarti. Apa jadinya aku tanpa beliau? Karena selama ini, hanya beliaulah yang mau mendidik kami anak-anak desa. Aku juga tak tahu harus berkata apa lagi, aku pun hanyalah menangis, menangis, dan menangis. Walaupun itu tak ada gunanya.

“Hai Adek, mengapa kamu menangis sampai histeris seperti ini?” sapa seorang relawan di sampingku.

“Tak apa-apa Om. Aku hanya sedih saja, memikirkan sekolahku yang sudah hancur dan juga guruku bersama teman-temanku ikut tertimbun dalam runtuhan bangunan sekolah.”

“Oh, saya kira mungkin om bisa membantu adek. Perkenalkan dulu, nama om adalah Bagas Rahman. Panggil saja om Bagas. Terus Dek, apa lagi keluhanmu?”

“Aku merasa masih sangat sedih. Karena pasti aku sudah tak bisa meraih impianku. Bahkan sekolah, guru dan beberapa teman-teman sekolahku juga ikut tertimbun di sana. Tanpa guruku, Bu Ani, aku takkan berarti. Apa jadinya aku tanpa beliau? Karena selama ini, hanya beliaulah yang mau mendidik kami anak-anak desa.”

“Tenanglah dulu, ini minum dulu. Dan om juga bawa makanan ringan, kalau kamu mau?” katanya sambil menyerahkan minum dan makanan tersebut padaku.

“Iya Om, terima kasih tak perlu repot-repot. Eh, itu Abi dan Umi sudah datang.”

“Selamat siang, Ibu, Bapak, kalian orangtuanya Rina ya?”

“Iya Pak, benar sekali. Ada perlu apa?” Abi menjawab pertanyaan Om Bagas.

“Saya ingin memberi sedikit bantuan pada keluarga bapak. Terutama untuk Rina, anak bapak ini.”

“Iya Pak, benar. Saya istrinya Om Bagas. Nama saya adalah Vidia Elena. Panggil saja tante Vidi. Tante dengar, kamu sangat ingin melanjutkan sekolahmu ya? Kamu pasti juga sangat ingin bisa meraih impianmu bukan?” seorang wanita muda yang cantik dan anggun itu menghampiriku. Ternyata beliau adalah istrinya Om Bagas.

“Iya Tante, memang benar.”

“Ibu, Bapak. Bagaimana kalau kalian sekeluarga ikut kami pindah ke Jakarta. Nanti kalian, akan kami beri rumah tepat di samping rumah kami. Dan kami akan membiayai semua pendidikan sampai perlengkapan sekolahnya Rina, sampai lulus kuliah sampai setelah mendapatkan pekerjaan. Nanti Ibu dan Bapak juga akan kami beri modal untuk usaha. Bagaimana Bu, Pak?”

“Tolong setujuilah permohonan kami! Kami hanya ingin kalian hidup bahagia seperti keluarga kami. Saya akan beri waktu kalian untuk berpikir. Besok saya akan ke sini lagi. Permisi.”

Abi dan Umi pun memikirkan permasalahan ini matang-matang. Karena ini juga menyangkut masa depanku. Akhirnya Abi dan Umi mempersetujui hal ini. Mereka bilang padaku, karena mereka sangat ingin aku bisa meraih semua impianku. Mereka sangat sayang padaku. Selama ini yang mereka pikirkan hanyalah aku, aku, dan aku. Sampai akhirnya, seminggu kemudian kami tiba di Jakarta. Aku pun bersekolah di salah satu sekolah bertaraf internasional di Jakarta. Aku pun bisa mencetak banyak prestasi di sana. Selalu ranking satu di sekolah setiap semester. Dan aku juga sering mewakili Indonesia, untuk mengenalkan budaya-budaya Indonesia ke negara asing. Aku juga sering mewakili Indonesia, untuk mengikuti International Physics Olimpiade. Cita-citaku selama ini sudah tercapai. Hingga akhirnya lulus SMA.

UN SMP dan SMA-ku selalu mendapatkan nilai sempurna dan tertinggi di Indonesia. Sampai akhirnya, aku pun mendapat surat kiriman dari salah satu University ternama di US. Aku diberi beasiswa untuk kuliah gratis di sana, hanya dua tahun sudah bisa wisuda dan pulang membawa tittle S3 di belakang namaku. Abi dan Umi juga telah mempersutujui aku untuk kuliah di US. Tante dan Om juga mau membiayai kebutuhanku selama disana. Abi sekarang juga sudah sukses lho, dengan bisnis Florist-nya. Umi juga gak kalah sukses sama Abi, bahkan Umi sangat sukses berkelut dengan usaha kue-nya itu. Mereka melakukan itu semua hanya untuk aku.

Dan hari ini, aku akan berangkat ke US. Diantar sama Abi, Umi, juga Tante dan Om ke bandara. Setelah di US aku hidup dengan bahagia, aku menjadi mahasiswi terhebat di sana. Sampai akhirnya telah wisuda, aku pun ditawari untuk bekerja di National Geographic. Untuk menjadi seorang ilmuwan, karena aku telah dianggap rakyat sedunia sebagai Ilmuwan terhebat asal Indonesia. Aku pun mengiyakan tawaran tersebut, hingga akhirnya orang-orang sedunia mengenaliku dan mereka semua sekarang sudah mengenal berbagai macam budaya yang ada di Indonesia. Itu semua berkat aku dan orangtuaku yang selalu mendoakanku dan sangat sayang terhadapku. Begitu juga dengan Tante dan Om. Maka dari itu Kasih Sayang, Cinta Tanah Air, dan Cinta Lingkungan sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Karena, tiga kunci tersebut adalah kunci untuk menaklukkan dunia. Karina Khanza Labiba.
                               
By: Ferly Arvidia