Partners in Goodness

Layaknya gadis kecil centil dan genit yang suka mencari teman, pelepasanku setelah mengalami bullying selama satu tahun adalah mencari teman, dan lebih baik lagi, mendapatkan sahabat. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku benar-benar memiliki seorang teman untuk diajak bicara dan bercengkerama, bergosip tentang siapa berpacaran dengan siapa dan kapan mereka akan putus dan dengan alasan apa. Mungkin, dengan bebasnya diriku sebagai ‘tahanan’ selama hampir setahun, aku merayakannya dengan menjaring relasi dengan teman-teman sekelasku sebagai diriku sendiri.

Kurang dari enam bulan setelah aku menunjukkan pada orang-orang bodoh itu bahwa aku memiliki bakat menggambar yang nilainya melebihi mereka semua, aku berhasil meyakinkan semua orang bahwa aku bukan sekadar pengikut yang penurut. Aku adalah diriku yang sangat berbakat, tertutupi tutup kerang yang sangat keras untuk melindungi mutiaranya dari tangan-tangan jahil. Ketika tangan-tangan jahil itu tidak lagi berani menyentuhnya, kerang itu pun terbuka dan tampaklah segala kecantikannya.

Tidak hanya itu. Di tengah-tengah perayaan kemerdekaanku, kepercayaan diriku juga ikut tumbuh subur. Sosok periang, jahil (kelihatan) cerdas dan pintar, (nyaris) serba tahu, atletis, dan rajin membaca adalah diriku yang baru. Plus, ekspresif tetapi juga pendiam, penurut tetapi juga penentang, hal-hal bertentangan seperti itu juga ada di dalam diriku, hebatnya aku tidak takut untuk menunjukkan itu semua. Aku sudah tidak lagi diperintah oleh siapapun untuk melakukan apapun, semuanya kini berada di tanganku. Pada umur 10 tahun, aku sudah benar-benar bebas dari belenggu itu.

Teman-teman sekelas sudah mulai bisa mempercayaiku, Tidak ada lagi gosip-gosip seperti, “Dia itu suka membocorkan rahasia orang.” “Mulutnya, kan comel banget.” “Jangan temenan sama dia deh, nanti menyesal, lho.” Dunia terasa lebih indah terlepas dari hal-hal yang membuatku tercekat, duduk tidak berdaya itu.

Entah apa alasan pastinya, sesudah peristiwa yang paling tidak menyenangkan dalam hidup itu berakhir, penglihatanku terasa lebih tajam dari sebelumnya, badanku rasanya lebih tinggi, langit lebih biru, putihnya awan terlhat cantik sekali, dan yang terpenting, udara terasa lebih segar. Rasanya seluruh oksigen yang ada di bumi ini beramai-ramai masuk ke hidungku dan memaksa paru-paruku bekerja lebih keras. Tentu ini bukan hal yang negatif, aku bernapas lebih lega daripada sebelumnya.

Aku belum memiliki sahabat saat itu, teman yang kukenal sejak aku di TK pun masih takut-takut mendekatiku, tetapi setidaknya dia sudah mau mengakuiku dan mengajakku jajan bersama. Fanni, sosok anak perempuan kecil dan kurus, terlihat mudah dikalahkan hanya dengan sekali dorongan di pundaknya yang tampak tak berdaging, namanya. Aku sudah mengenalnya selama lima tahun, orangtua kami juga saling mengenal. Dia selalu bercerita bahwa dia dulu adalah teman dekatku, mungkin satu-satunya yang paling dekat. Jadi, dia tahu seluruh baik-buruknya cerita hidupku, bahkan dia sendiri menjadi bagian di dalam cerita itu. Sekarang, kalau dia menceritakan satu saja cerita tentang aku, aku lebih ingin dia menyudahinya saja daripada dia melanjutkan dan aku duduk mendengarkan.

Kemudian, datanglah seorang gadis kecil pintar berambut keriting. Namanya Marisa. Panggilan akrab teman-temannya terhadapnya, Icha. Aku tidak pernah memanggilnya Icha, kalaupun aku pernah memanggilnya seperti itu, itu karena aku iseng saja dan tidak berniat memanggil dia dengan Icha sampai seterusnya. Menurutku, nama itu bukan untuk dipenggal-penggal, meskipun untuk panggilan karib.

Aku tidak kenal siapa dia, tetapi Fanni mengenalnya. Marisa adalah teman sekelas Fanni, dia juga tidak mengenalku, tetapi dia mengaku sering mendengar namaku lewat masalah-masalah yang kutimbulkan di sekolah. Awalnya, dia mengaku canggung saat pertama kali mengenalku saat diperkenalkan oleh Fanni. Dia bilang dia takut melihat wajahku yang menyeramkan. Hahaha, bukannya tersinggung, aku malah merasa lucu ada yang bilang aku menyeramkan. Padahal, aku sangat mudah dikalahkan oleh anak-anak lain yang lebih berkuasa, lebih besar daripada aku, tetapi si anak pintar ini bilang, dia takut padaku.

Iya, Marisa sangat pintar, dulu aku sering menyebutnya, jenius. Untuk anak seumurku, logika matematika dia terbilang bagus. Nilai-nilai Matematika dan IPA-nya bagus, dia sungguh rajin, tetapi tidak terlalu serius. Selera humornya bagus, terkadang aku terpaksa tertawa mendengarleluconnya apalagi setelah dia menjadi sahabatku. Gadis berambut keriting itu tidak serumit rambut di kepalanya, dia selalu menganggap enteng seluruh masalah. Si jenius ini selalu santai menghadapi permasalahan, herannya dia pasti menyelesaikan permasalahan tersebut, apapun bentuknya. Dia jarang terlihat sedih, hanya sekali aku melihatnya menangis di depan mataku. Itu juga karena digoda teman lelaki kami, dia anak nakal. Selebihnya, dia selalu tampak baik-baik saja, selalu cantik, keren, dan santai setiap hari.

Ada kalanya dia bisa terlihat serius, ketika dia sedang belajar, mengerjakan soal-soal latihan, dan mengerjakan ujian. Dia tidak akan menoleh barang sekejap apalagi jika dipanggil seseorang untuk diconteki. Yah, terkadang dia bisa sangat lemah dengan menoleh lalu memberikan jawaban ujian, tetapi itu juga jika seseorang cukup beruntung duduk dekat dengannya dan memanggilnya lebih dari tiga kali. Marisa juga tidak akan memberikan jawabannya dengan wajah santai, dia akan memberikan jawaban dengan wajah kesal sambil berkata, “Apaan, sih?”

Akhirnya, aku menjalin persahabatan dengan kedua orang ini. Dua orang yang, seperti Pak Jainal, mengubah hidupku selamanya. Hampir selamanya. Mereka adalah teman dan sahabat pertamaku setelah aku di-bully selama setahun (yang terasa seperti selamanya), yang percaya padaku, dan kurasa cocok denganku karena kami bertiga memiliki banyak kesamaan. Perbedaan yang melengkapi menginspirasi kami untuk membuat sebuah grup pertemanan, dengan masing-masing dari kami mewakili karakter tertentu. Aku, si misterius dan galak. Marisa, si cuek, cerdas, dan kece. Fannisa, si pendiam dan anggun. Ya, pasca kebebasan diriku, aku bisa lebih leluasa mengekspresikan diriku pada semua orang, dan jadi seperti itulah aku ingin dikenal, sampai hari ini. Si misterius.

Kami memberi nama grup pertemanan itu, Islamic Funky Girl (IFG). Terdengar agak gimana gitu ya karena ada nuansa keagamaannya. Kami bertiga beragama Islam yang saat itu memandang diri kami di saat bersamaan juga merupakan cewek-cewek funky dan gaul (pemikiran seperti itu saat kau berusia sebelas tahun adalah hal yang sangat keren, kau harus tahu itu). Kami tidak takut menunjukkan diri kami dengan selalu muncul sepaket, aku senang karena pada akhirnya aku membentuk identitasku, tahu dengan siapa aku berkawan dan siapa yang akan membentukku. Aku tidak lagi sendirian. Guru-guru dan teman-teman kami sadar akan kehadiran kami, mereka tahu kami berbeda dalam banyak hal, bagi mereka kami ahli dalam suatu bidang tertentu, yang membuat kami terlihat unik.

Prinsip grup pertemanan yang kutawarkan saat itu tidak hanya berfokus pada kita bertiga, kita bisa berteman secara luas, dengan siapa saja. Kami membentuk kelompok pertemanan universal agar semua orang bisa merasakan persahabatan yang kami tawarkan. Mereka awalnya menolak, tetapi akhirnya kami setuju dengan hal itu. Dan, seperti biasa juga, kami memiliki beberapa persyaratan dan peraturan tertentu sebagai sebuah grup. Hal itu mengingatkanku dengan betapa para bully-ku pernah memaksaku menyetujui dan menandatangani perjanjian yang mereka buat, lalu mereka menyuruhku untuk menyalinnya di tukang fotokopi dekat rumah. Aku ingat karyawan tempat fotokopi itu bingung karena aku meminta mereka memfotokopi kertas berukuran seperti buku memo kecil, yang ditulisi pulpen. Dia bilang, “Ini tidak bisa difotokopi karena ditulis tangan.”

Bedanya, persyaratan dan peraturan yang kami buat lebih manusiawi dan lebih lunak. Tidak ada pemaksaan di dalamnya karena kami sama-sama menyepakati itu. Well, sering kali kami melanggar peraturan yang kami buat sendiri, tetapi kami selalu mengakhirinya dengan tawa dan tak ada sakit hati hanya karena hal itu.

Namun, selayaknya kisah-kisah persahabatan yang lain, selalu ada pengganggu yang menjadi ‘pemanis buatan’ yang tidak diinginkan. Ada seseorang yang ingin masuk ke lingkaran pertemanan kami, dia mantan bully-ku. Aku, Fanni, dan Marisa tidak menginginkannya masuk, bagi kami dia hanya akan jadi duri di dalam jalan cerita kami. Apalagi kami tahu bahwa aku sempat memiliki hubungan tidak baik dengannya, bukan hanya karena aku, perilakunya juga terkenal buruk di kalangan sekolah. Jadi, daripada menghindarinya, kami berusaha berteman baik dengannya tanpa memperlihatkan bahwa kami tidak begitu menyukainya, yang mana itu adalah kenyataan.

Untuk pertama kali di dalam hidupku, selain Mama dan mendiang nenekku, Fanni dan Marisa pernah membuatku merasa cantik, bangga terhadap diri sendiri. Apa ini yang namanya sahabat? Kita merasa cantik saat berada di dekat mereka, tak peduli mayoritas orang yang bilang kita terlihat jelek walau berdandan sekalipun. Pernah kami merencanakan untuk memanjakan diri kami bersama-sama, layaknya cewek-cewek remaja lainnya: pergi ke spa dan melakukan perawatan, kami pernah berencana untuk membeli lulur hanya untuk membuktikan bahwa kami juga bisa jadi cantik. Aku seperti dikhususkan di antara mereka ketika mereka berkata, “Ayo, kita luluran, sekalian dandanin Ayu. Kita buktiin kalau dia juga cantik setelah kita dandanin. Hahaha.” Aaaaah…. (Mereka tidak mengatakan, “Ayu emang ga cantik, sih” secara langsung, kan?)

Saat ulang tahunku, yang ke-12, tanpa melibatkanku sepeser pun, ternyata mereka dan mantan bully-ku yang ingin masuk ke lingkaran pertemanan kami itu juga seorang lainnya merencanakan pesta ulang tahun kecil untukku di rumahku. Mereka menyisihkan uang jajan mereka setiap hari, untuk membeli kue ulang tahun untukku! Tanpa sepengetahuanku!

Suatu hari, saat kepergok olehku mereka sedang membicarakan sesuatu dengan berbisik-bisik, aku penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan, mereka tidak melibatkanku di dalamnya. Aku mendesak mereka untuk memberitahuku, akhirnya mereka hanya mengatakan kalau mereka sedang menyisihkan uang untuk pergi jalan-jalan (seingatku). Tentu saja aku ingin ikut, tapi… “Jangan! Jangan ikutan patungan! Lo ga perlu…” cegah mereka. Sontak aku bingung sekaligus kaget, mengapa mereka melarangku. Berhari-hari aku bersikeras agar bisa bekerja sama dengan mereka. Kupikir, mereka ingin menyisihkanku lagi dan sejarah akan kembali terulang.

Alangkah terkejut, sedih, senang, bingung, dan tidak percayanya aku ketika seminggu kemudian mereka datang ke sekolah dengan membawa sekotak kecil kue ulang tahun. Aku ingat sedikit bentuk kue itu: berbentuk lingkaran, berwarna dasar putih dengan hiasan krim hijau dan merah, rasanya enak, tapi aku tidak ingat hiasannya. Sorenya, mereka semua datang ke rumahku dan kami berpesta kecil-kecilan. Aku ingat yang Marisa (atau Fanni?) katakan ketika kue ulang tahun itu diberikan padaku, “Kamu selalu ingin mengganti semua yang kami berikan untukmu. Aku tahu kami tulus ingin menggantinya. Karena itu, kami memberikanmu sesuatu yang mustahil bisa kamu ganti.” Memang benar.

Sebelum ulang tahunku, Marisa juga pernah memberikanku sebuah komik, Detective Conan volume 18, dari sepupunya, Dinda. Marisa bercerita sepupunya ini juga menyukai Conan, sama seperti aku. Dinda memberikanku volume komik favoritnya. Sampai sekarang komik itu masih apik tersimpan di laci buku komik kecilku, tentu sudah habis kubaca.

Untuk pertama kalinya, aku merayakan ulang tahun dengan teman-teman, sesungguhnya, dan aku tidak berpesta sendiri seperti sebelumnya. Hanya anak bernama Farita, salah satu teman yang masih menaruh percaya padaku, yang datang ke rumah ketika aku ulang tahun dan membawakan kado untukku. Sebuah boneka kuda nil merah kecil yang kuberi nama Reddy (mudah sekali, ya). Terima kasih, Farita.

Ya, sungguh menyenangkan memiliki sahabat. Ketika kau jatuh, kau diangkat dan dirangkul. Ketika kau menangis, mereka menenangkanmu dan berkata, “Sudahlah, biarkan saja. Yuk, jajan setelah itu kita main!”. Saat kita bergembira, mereka lebih bergembira lagi bahkan mengajak kita melakukan hal-hal gila. Kita melakukannya besama-sama dan tidak ada yang terlupakan. Mereka memberikan kita kejutan terindah, terunik, dan yang paling kita ingat seumur hidup kita. Dan, mereka adalah pemberi pelajaran hidup terbaik yang kau dapatkan, terutama dalam hal memecahkan masalah dan menjalani hidup dengan jujur.

Ada kalanya kita tidak selalu bersenang-senang dengan sahabat. Perselisihan, perseteruan, dan perkelahian bisa terjadi, atau pasti terjadi. Tentu kami sering berselisih pendapat, aku tidak ingat kapan perselisihan kami menimbulkan pertengkaran. Aku ingat aku dan Fanni pernah ribut kecil —di depan penjaga toko— saat memutuskan apa yang sebaiknya dijadikan kado untuk ulang tahun Marisa. Sudah, aku hanya ingat itu saja.

Saat-saat yang menyadarkanku betapa sahabat adalah pengingat kebaikan yang baik adalah ketika sekolah sedang sibuk mempersiapkan kami untuk mengikuti Ujian Nasional dengan memberikan banyak sekali soal-soal latihan. Tahun itu merupakan tahun pertamaku mempersiapkan ujian yang menentukan masa depanku, yang saat itu langsung kusadari bahwa hal itu sangat menakutkan.

Waktu itu, kami sedang mengerjakan soal-soal latihan Matematika yang dibatasi waktu pengerjaannya. Aku panik ketika aku melirik kertas teman-temanku yang sudah penuh terisi, sementara punyaku banyak yang masih kosong. Jujur, logika matematikaku tidak begitu bagus dibandingkan orang lain, terlebih jika dibandingkan dengan Marisa dan Fanni yang sama-sama cerdas. Nilai Bahasa Inggrisku paling baik di antara semua nilai akademis yang lain. Tenang saja, aku juga kecewa karena memiliki otak yang pemrosesannya terhadap informasi dalam bentuk angka kurang baik, tetapi aku bangga karena aku penulis terbaik di kelasku.

Saat semuanya sibuk tanya sana-sini tentang jawaban plus cara-cara penyelesaiannya, aku masih belum mendapatkan partner yang sesuai. Sekali aku mendapatkannya, mereka lalu sibuk menjawab pertanyaan teman lain, aku pun diabaikan. Suasana kelas begitu riuh dan ribut sehingga aku tidak bisa menangkap sedikit pun penjelasan teman yang mungkin saja berguna bagiku. Mereka tanya soal A, tetapi aku bisa menjawab soal A dengan baik. Ketika ada yang bertanya tentang soal B dan C, kebetulan sekali, aku tidak bisa menyelesaikannya sama sekali. Namun, ketika ada yang menjelaskan cara-caranya, aku sama sekali tidak mengerti. Hal itu memaksaku untuk menyalin tulisan yang ada di kertas orang lain.

Ah, iya. Aku ingat. Kan, ada Marisa, tapi ketika kutengok mejanya… Dia sendiri sedang kerepotan menjawab pertanyaan teman-teman yang lain. Dia juga sibuk dengan kertasnya sendiri. Hatiku dilema saat harus memilih: meminta bantuannya atau tidak. Tentu saja aku ingin meminta bantuannya, dia sahabatku, dia tidak mungkin menolak. Tiba-tiba, aku teringat ekspresinya yang tidak menyenangkan tatkala dimintai contekan oleh orang lain. Wah, aku tidak mau dijuteki sahabat sendiri! Namun, karena waktunya sudah hampir habis, dengan sangat terpaksa akhirnya aku berusaha minta tolong padanya.

Aku berusaha mendekatinya ketika dia sedang sangat sibuk, dengan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Aku tahu sebenarnya saat itu sangat tidak tepat untuk meminta bantuannya, aku tidak tega. Tinggal lima menit lagi, aku harus melakukannya. Ketika aku menanyakan satu soal padanya, aku hanya mengharapkan jawaban darinya lengkap dengan cara-caranya. Tetapi… “Aku nggak tahu jawabannya!” dia berteriak padaku. Aku masih di hadapannya, berdiri kaku dan harap-harap cemas. “Kalau kau mau mengerjakan dengan baik, jangan menyontek! Jadi repot sendiri, kan?” Aku masih berdiri di sana, jantungku berdegup sangat kencang. Perkataan itu menghantam telingaku, sangat keras hampir-hampir aku tidak bisa mendengarnya bergema di dalam gendang telingaku, atau mungkin kokleaku. Mungkin cangkang kokleaku sudah hancur, sehancur perasaanku.

Jika ada anak yang akan pingsan karena ketakutan, kepanikan, dan keterkejutan setelah dimarahi oleh sahabatnya, orang itu pastilah aku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Marisa… memarahiku? Sahabat, yang katanya bersedia membantu segala kesulitan yang dihadapi oleh sahabatnya, meneriaki sahabatnya tepat di saat sang sahabat merasakan panas dingin, berkeringat sekujur tubuh sampai membasahi bajunya? Aku pun mengumpulkan kertas Matematika sambil membayangkan akan seperti apa hasil ujian nasional Matematikaku nantinya. Well, tidak terbayang, hanya itu yang terbayangkan olehku.

Mulai tebersit di benakku bahwa aku akan kehilangan sahabatku. Aku tidak langsung mengambil sikap dewasaku dengan mengatakan, “Saat itu memang seluruh kelas dalam keadaan tertekan dan penuh stres, termasuk aku dan Marisa. Wajar dia memarahiku.” Terpikirkan olehku bahwa Marisa akan selamanya memalingkan wajahnya dariku, selalu mengingat saat aku mendesaknya untuk meminta pertolongannya saat dia sendiri sedang kewalahan antara menjawab soalnya sendiri atau menjawab pertanyaan orang lain.

Yang membuatku bingung dan marah kepadanya, dia tidak bereaksi sekeras itu terhadap teman lain yang meminta bantuannya, padahal mereka bukan sahabatnya. Tetapi terhadapku, ia bahkan sudi berteriak dan memintaku mengerjakannya sendiri, saat aku sedang panik dan tak sempat lagi berpikir dengan jernih. Aku hanya butuh jalan pintas, dan jalan pintas terbaik yang bisa kudapatkan adalah melalui dia. Mengapa dia setega itu terhadapku? Seharusnya dia membantuku, kan? Bukankah dia sahabatku? Iya, memang.

Benar. Benar sekali. Marisa adalah sahabatku yang dengan tega membiarkanku terjebak sendirian dalam kekalutanku saat berhadapan dengan soal-soal Matematika sialan itu. Dia tahu aku tidak memiliki catatan hubungan yang baik dengan apapun yang berhubungan dengan logika, tetapi dia menolak menolongku untuk sekadar memberitahukan cara penyelesaian. Apakah permintaanku terlalu sulit untuk dikabulkan?

Sebenarnya, tidak. Untuk gadis sepintar dia, aku yakin dia akan sangat bermurah hati memberitahukan jawabannya kepadaku, lengkap dengan segala penyelesaian yang cerdas dan panjang lebar. Dia tidak akan sungkan-sungkan membeberkan semua cara yang bahkan aku tidak mengerti dari mana cara itu berasal. Dari otaknya, bukunya, atau ada cenayang yang memberitahunya?

Kalian tahu? Sikap Marisa yang tidak terduga saat itu, ternyata menyelamatkanku. Menyelamatkanku dari tindakan mencuri yang sangat mungkin kulakukan di masa depan seandainya saat itu Marisa berbaik hati memberitahukan jawabannya kepadaku. Memang caranya waktu itu kasar sekali, sungguh mengejutkanku yang tidak menyangka akan menerima respon seperti itu darinya, dari sahabatku. Bisa dipahami mengapa dia bereaksi seperti itu, dia berada di bawah tekanan yang sangat besar, aku juga, kita semua begitu. Tidak ada yang salah dari reaksinya, jika dipikir-pikir lagi. Marisa benar.

Harus aku akui, dia sangat benar ketika dia mengatakan, jika aku ingin hasil pekerjaanku baik, maka harus kukerjakan sendiri. Dengan bergantung pada orang lain, aku hanya akan menyulitkan mereka, merepotkan mereka karena harus mengurusiku. Seharusnya tidak begitu. Rasanya memang seperti disambar petir di siang yang panas lalu ditikam dengan kencang dari belakang tanpa mengeluarkan darah setitik pun saat mendengar Marisa memarahiku, tetapi seperti Pak Jainal, ternyata hal itu membawa perubahan yang sungguh baik bagiku.

Mungkin Marisa juga tidak menyadarinya, dia telah mengubah jalan pikir sahabatnya ini untuk menjadi orang jujur. Setidaknya, dalam hal mengerjakan ujian atau mengerjakan tugas sekolah dan kuliah. Aku berusaha tidak menyontek pekerjaan orang lain, awalnya karena teringat Marisa. Namun, ternyata menyebalkan juga menyontek dan diconteki. Itu merupakan perbuatan tidak jujur yang jika dibiasakan akan berlanjut menjadi tindakan yang lebih mengerikan lagi. Dengan maraknya kasus korupsi di negara ini, aku bersyukur saat aku ditunjukkan oleh Tuhan bahwa inilah akibat dari ketidakjujuran.

Marisa benar, menyontek adalah awal semuanya. Menyulitkan orang lain selain menyulitkan diri sendiri. Korupsi berimbas langsung terhadap orang lain, rakyat dirugikan karenanya. Belakangan, barulah pelaku menikmati sulitnya hidup dihantui dengan rasa bersalah.

Aku tidak akan bicara lebih lanjut soal korupsi karena aku lelah dengan pemberitaan seperti itu setiap hari, seperti tidak ada berita lain yang bisa diangkat dan jadi tajuk utama halaman muka koran. Kebaikan dan keburukan jelas memiliki dampak —sekarang, nanti, atau setelah kita mati— terhadap pelakunya maupun orang lain yang terkena imbasnya. Aku tidak tahu kebaikan macam apa yang dinilai Tuhan untuk Marisa di masa depan karena telah berhasil mengubah hidupku, dan cara pikirku dalam hal bekerja keras dengan jujur. Banyak temanku yang masih menganggap bahwa aku terlalu tidak santai dengan tidak membiarkan diriku —terkadang orang lain- untuk tidak menyontek. Sedih ketika aku mendengar mereka berkata, “Yang penting selesai, hahaha.” Tak peduli bahwa hasil akhir yang paling berpengaruh adalah ketika kita tidak lagi duduk di bangku sekolah dan harus mengandalkan diri kita sendiri untuk memecahkan berbagai permasalahan. Keunggulan dan kejujuran kita lah yang paling dilihat orang.

Entah apa yang Tuhan berikan pada Marisa kini, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Dia sedang mengenyam pendidian di Bandung, Universitas Padjajaran, universitas yang diidam-idamkannya sejak SD, jurusan Psikologi. Aku bangga dan turut senang ketika melihat dia menjadi sutradara untuk projek film kampusnya. Kenarsisannya sungguh terpakai sekarang ini, dan kudengar dia jadi salah seorang anak kampus terbaik di universitasnya. Mungkin, itulah balasan Tuhan untuknya.
                                      
By: Ayurilda Amalia