Bagaimana
pun hidup harus dipandang lebih ke depan. Ini berarti hidup harus dimulai lagi.
Berjalan di atas bayangan masa silam yang mengharubirukan, tidak boleh dibiarkan
berlanjut sampai terbawa ajal. Tidak! Ia musti dikubur. Dan, kuburan itu musti
dibikin secara baik agar bangkai yang tertanam di dalamnya tidak mampu
menyemprotkan bau. Begitu keputusan Fil. Janda lusuh yang baru saja terpancar
sinar keinginan hidup lebih baik dari wajahnya. Matanya.
Setelah
setahun ditinggal mampus suaminya, Fil memang berubah drastis gaya hidupnya. Ia tidak saja terasing dari
lingkungannya, melainkan dengan berani mengasingkan diri, juga dari semua
kerabatnya dan lingkungan keluarganya. Fil menghabiskan sehari-harinya di
sebuah kamar -- di rumah mertuanya -- yang pengap. Ia menciptakan penjara bagi
dirinya sendiri.
Kalau
waktu makan datang, setiap pengantar makanan itu hanya sampai pada lubang pintu
kamar yang sengaja dibuat Fil. Begitu tangan pengantar makanan menjalar, Fil
segera mengambilnya dengan cara merapatkan badan ke samping pintu. Sulit memang
untuk melihat bagaimana sesungguhnya Fil. Apakah masih montok? Cantik? Lincah?
Ataukah sudah ..ah! Lalu, bagaimana pula kalau berak? Mudah. Tahinya selalu
dibungkus koran. Ia cebok persis orang bule. Tahinya dibuang lewat jendela
kamarnya yang juga diberi lubang.
Telah
berkali-kali mertua Fil memohon kepadanya agar keluar dari kamarnya. Buat apa
menyiksa diri. Tapi ia tak peduli. Bahkan, ketika orang tuanya meminta hal
serupa, juga tak ditanggapinya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Pernah
terjadi ketegangan yang luar biasa. Waktu itu, mertua dan orang tua Fil
mengancam akan bunuh diri bersama kalau Fil masih saja mengurung diri. Namun,
apa kata Fil? "Kalian mau bunuh diri kek, mau telanjang bulat kek, mau
menangis sampai keluar air mata darah kek, mau membom rumah ini kek, saya tidak
akan beranjak dari kamar ini."
Mertua
dan orang tua Fil malah jadi frustasi. Akhirnya mereka hanya mampu melawan ulah
Fil dengan cara mendiamkan Fil, kendati pada dasarnya mereka gelisah sungguh.
"Kita harus menguji kekuatan kita," tegas orang tua Fil yang
disetujui sang mertua.
*
* *
Ini
adalah sore yang bersih. Tak seperti biasa. Fil mengatur kamarnya. Foto-foto
perkawinannya dibersihkan dan dipajang di dinding dengan amat teratur. Ia
pasang seperti putih pada ranjang tidurnya. Ia atur meja belajar. Ia atur
segala tetek-bengek yang dianggapnya membuat sumpek. Ia menjadi begitu feminin.
Setelah
selesai, ia melangkah ke depan cermin. Ia pandangi wajah dan seluruh tubuh. Ia
bergaya mirip peragawati. Ia sendiri sebetulnya merasa aneh. Mungkin, sekarang
ia betul-betul sudah tidak lagi waras. Mungkin. Tapi, kemudian keanehan itu
segera dilenyapkan. "Saya tidak gila. Dan, tidak ada yang gila di dunia
ini," katanya di depan cermin. Lalu, ia tersenyum. Manis.
Fil
duduk di kursi jendela kamar rumahnya yang tidak seberapa besar itu. Lewat
lubang jendela yang dibuatnya itu, ia pandangi sebuah ranting patah yang
bergelayutan. Ia biarkan wajahnya diterobos matahari sore.
Malam
perkawinan itu kembali muncul. Fil bahagia. Semua orang yang hadir juga
bahagia. Fil merasa harapan yang tadinya tak menentu, kembali menjadi utuh.
Betapa tidak? Tiga hari menjelang perkawinan, Paimin -- calon suaminya --
datang. Menurut pengakuan Paimin, ia dibebaskan dari segala tuduhan merampok
dan membunuh. "Tuhan memang selalu melindungi orang yang tidak bersalah.
Tuhan telah membuka mata dari jaksa penuntut dan pembela, juga hakim,"
tutur Paimin mantap di tengah peluk tangis Fil menyambut kedatangannya.
Paimin
ditangkap pihak berwajib karena tuduhan membunuh haji Sukron dalam suatu
perampokan tengah malam di rumah juragan penggilingan padi itu. Entah perasaan
apa yang tertanam di hati perampok itu, tiba-tiba para tetangga melihat ada
bercak darah yang menempel di pintu dan jendela rumah Paimin.
Tentu
saja para tetangga jadi ribut. Panik. Apalagi tetangga yang suka usil, tanpa
membuang waktu segera menggedor rumah Paimin. Seperti kena setan kesiangan para
tetangga lainnya menyerbu masuk. Paimin yang terjaga dari tidurnya itu jadi
kalang kabut. Ia coba menanyakan kesalahannya, tapi tampaknya para tetangga
tidak lagi peduli. Mereka, terus menyeret Paimin ke pos Hansip. Bukan itu saja,
ketika Paimin digiring, tangan-tangan usil pun tak bisa dihindari. Wajah Paimin
babak-belur. Dan, sampai hati mereka membugili mangsanya itu.
Paimin
ditangkap. Kasusnya diperiksa oleh polisi. Baru belakangan diketahui bahwa
Paimin tidak bersalah. Koran-koran laris keras.
Paimin
memang nganggur, kendati sebulan lagi ia akan naik pelaminan bersama Fil.
Bermula ia diajak Tomang, teman dekatnya, main judi. Tanpa banyak cukup Paimin
menerima tawaran itu. Pada pikirannya, kalau menang, lumayan bisa tambah modal
kawin. Lalu, mereka main judi.
Iming-imingnya
benar. Tomang kalah. Bahkan seluruh barang yang dipakai Tomang ludes. Berpindah
tangan ke Paimin. Dengan bangga Paimin pulang bawa kemenangan. Hatinya
sumringah, sebab harapannya terkabul, diajaknya Fil nonton film di bioskop.
Dengan uang itu, ia bisa honeymoon.
Rupanya
kekalahan Tomang berbuntut. Hari berikutnya Tomang kembali menantang Paimin.
Tapi, tantangan itu ditolak dengan wajah penuh penyesalan. Ia bilang kepada
Tomang bahwa Fil tidak mau punya suami pemain judi. Fil mengancam putus kalau
Paimin terus bermain judi. Tomang jadi berang. Tanpa banyak cakap Tomang
meleset pergi. Melihat tingkah Tomang, Paimin tak ambil pusing. Ia sudah biasa
melihat Tomang semacam itu.
Tomang
dendam, lalu pasang aksi. "Aku harus melakukan sesuatu!" Begitu
keputusan Tomang. Geram.
Malam
itu bulan tak ada. Langit merah. Angin mendayu-dayu. Tomang beraksi. Ia rampok
rumah haji Sukron. Nasib sial menimpa Tomang. Belum sempat ia bongkar almari,
haji Sukron memergokinya. Ia panik, dan haji Sukron bagai kena sirep. Sekali
melompat -- entah sadar atau tidak -- Tomang segera menghujamkan pisaunya ke
tubuh haji Sukron. Lalu haji Sukron mampus setelah sedikit mengerang dan
berkolojotan.
Tomang
tak menyia-nyiakan kesempatan sebelum seisi rumah itu bangun. Ia melesat pergi.
Ia langsung menuju rumah Paimin. Begitu sampai, ia segera menyelipkan pisau
yang berlumur darah itu ke atas daun pintu rumah Paimin, kemudian memberi
bercak-bercak darah di pintu dan jendela, ke dinding-dinding. Mengerikan!
Begitulah.
Dan, seluruh peristiwa itu diketahui Paimin justru pada saat ia melangkah ke
luar pintu muka bangunan penjara, ketika ia dinyatakan bebas. Ia beli koran.
Bagian terakhir berita koran itu menyebutkan, Tomang datang sendiri ke kantor
polisi dan mengakui kesalahan segala perbuatannya. Tomang tak betah
dibayang-bayangi dosa. Yang membuat Paimin trenyuh adalah ketika membaca bagian
paling akhir berita koran itu. "Paimin, maafkan aku. Kalau kau mau balas
dendam, aku takkan melawan," ucap Tomang dalam tulisan itu.
Bola
mata Paimin berkaca-kaca. Perkawinan berlangsung meriah. Paimin dan Fil
bahagia. Juga semua orang. Tak ada tanda yang dapat ditangkap bahwa akan ada
peristiwa yang mengerikan. Seusai malam perkawinan. Di tengah gulita. Di tengah
kenyenyakan tidur pengantin baru itu, telah terjadi suatu peristiwa berdarah,
Paimin, suami Fil, mampus.
Adzan
shubuh bergema. Seperti biasa Fil terbangun dari tidurnya. Tapi, begitu ia
menengok ke samping, mau memeluk sang suami, bukan kepalang kagetnya, suami Fil
tergeletak. Ususnya berhamburan. Fil menjerit sekuat tenaga. Juga alam.
Histeris.
Sebelum
tidur, memang ada percakapan yang mengasyikkan sepasang pengantin baru itu.
"Kamu
bahagia?" tanya Fil lembut. Paimin mengangguk cepat. "Saya heran, kok
yang datang banyak," ucap Fil lagi. Dan, Paimin hanya mengangkat bahu.
"Padahal kita akan hanya mengundang seratus orang." Lagi, Paimin
mengangguk. "Kok bisa lebih?" tanya Fil.
"Saya
hitung ada tiga ratus orang," tukas Paimin.
"Gila!
Apa mereka kebagian makanan?"
"Mudah-mudahan."
"Apa
mungkin?"
"Namanya
saja mudah-mudahan."
Fil
tidak berkata lagi, kecuali menghela napas panjang. Paimin bangkit dari
ranjang, lalu berjalan ke dapur. Fil tak peduli. Dengan sigap Fil membuka
kado-kado yang menumpuk di ranjangnya.
Sebuah
kado berisi pakaian bayi. Fil asyik memandanginya. Ia kaget ketika ditegur
sekonyong-konyong suaminya yang sudah berada di mulut pintu kamar. "Kamu
mau minta perempuan atau laki-laki?" Fil hanya tersenyum saja. Lalu,
Paimin duduk di ranjang, berhadapan dengan Fil. Lalu, ikut membukakan kado.
Suami Fil agak tersipu ketika ia temukan benda yang tak asing dalam kado itu.
"Ada yang aneh?"
tanya Fil main-main. Suami Fil mengangguk. "Boleh lihat?" sambung
Fil. Tanpa banyak cakap Paimin segera menyodorkan bungkusan kado itu. Begitu
dibuka, Fil terperanjat. Namun, hal itu hanya sejenak. Wajahnya berubah malu.
Lalu, mereka tak sanggup menahan geli. Dan, tawa mereka berakhir dengan pelukan
Paimin.
"Nggak
capek?" tanya Fil lirih.
"Nggak,"
balas suami Fil semangat. Lalu, mereka tertawa lagi, dan sekejap tawa mereka
berhenti. Malam hanya tinggal lampu-lampu yang berkelap-kelip dan bulan-bintang
yang bergelayutan. Malam hanya tinggal desir angin. Malam hanya tinggal desah
napas. Malam hanya tinggal.
Begitulah!
Fil
menjerit sekuat tenaga. Histeris. Seisi rumah bangun. Kelabakan. Menyerbu kamar
pengantin baru itu. Dan, seisi rumah itu menjerit histeris.
*
* *
Di
kursi itu. Di sudut jendela itu. Di sore itu. Fil menutup wajah dengan kedua
tangannya. Ia merasa seluruh tubuhnya bergetar. Keringatnya menyembul dari
pori-pori kulitnya. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya ngilu, liar,
saling tumpang tindih. Fil menjadi lemas. Ia tidak kuasa menemukan jawaban
siapa sebenarnya pembunuh suaminya, Tomang, atau teman-teman Tomang? Seperti
dugaan koran. Tidak mungkin. Tomang telah menulis pernyataan secara terbuka di
koran, dan semua orang pasti baca. Lalu siapa? Petrus? Tidak mungkin, Paimin
bukan penjahat. Paimin tidak pantas untuk di petrus!
Fil
coba bangkit dengan sisa tenaga dan sisa pertanyaannya, tapi ia tak sanggup.
Setahun sudah peristiwa itu, sampai sekarang tak diketahui ujung pangkalnya.
Koran-koran tak lagi memberitakannya. Fil pun putus asa. Dengan suara
terpatah-patah, ia bicara sendirian. "Kalau memang Engkau ingin mengakhiri
sejarah akhirilah."
Dalam
keputusannya itu, ada suara yang jatuh di luar. Fil mengintip dari lubang
jendela. Ranting patah yang bergelayutan itu. Mencium bumi kendati angin tidak
ada. Dan begitu Fil memejamkan mata, matahari sore hilang. Sayup-sayup
terdengar suara adzan maghrib. Lagi, entah sadar atau tidak, Fil berucap,
"Ampunilah saya, Tuhan." Fil lalu berdiri. Dan, ia baru sadar kalau
sanggup berdiri.
"Ya,
hidup harus dimulai lagi. Cukup lama saya menghirup bangkai kegelapan, untuk
menyingkap alam sebenarnya pembunuh suami saya. O, saya sia-sia. Dan, sekarang
saya tak ingin sia-sia. Saya harus seperti koran. Perlu diingat pada saat
tertentu saja." Begitu kata hati Fil. Lalu, ia membuka jendela. Lalu, ia
berjalan ke sumur. Lalu, ia mengambil wudhu. Lalu, ia sembahyang. Lalu, ia
tidur dengan tenang, seisi rumah seperti orang gila ketika melihat perubahan
Fil.
***
___________________________
Penulis: Restoe Prawironegoro Ibrahim