Bagaikan Bumi dan Bintang Alpha Century (Part 1)

Cinta, sebuah kata yang dapat bermakna ganda. Kadang cinta akan memberikanmu kebahagiaan sehingga kau dapat melupakan segala masalah, tertawa dan lepas dari beban. Namun, tak jarang cinta akan membawa petaka dan kesedihan bagimu. Tak bisa dipungkiri, rasa kecewa dan air mata akan ikut mengalir bersamaan dengan datangnya cinta. Ah, aku tak pernah mengerti cinta.
Beberapa teman sebayaku telah beberapa kali jatuh cinta dan bergonta-ganti pasangan. Sementara aku masih betah sendiri. Bukan berarti aku tak menginginkan cinta. Aku ingin dan percaya akan cinta, tapi apalah artinya jika aku tak bisa bersama dengan orang yang kucintai?

Aku sudah terlanjur pasrah. Biarkan cinta sendiri yang menentukan sendiri, mau berpihak padaku ataupun tidak. Ungkapan “Jodoh Pasti Bertemu” merupakan pedoman bagiku. Jodoh pasti akan bertemu karena telah ditakdirkan. Yang jadi masalah adalah kita tidak tahu siapa dan kapan jodoh itu datang. Dalam kamus keseharianku, aku percaya setiap putri akan bertemu dengan pangerannya. Satu putri ditakdirkan dengan satu pangeran seperti cerita ala negeri dongeng yang selalu mama ceritakan padaku saat kecil. Walaupun aku tahu kadang kenyataan tidak segampang yang dipikirkan.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Jam dua belas siang. Berarti sudah satu jam aku duduk sendiri di pojok salah satu restoran bernama “Love”. Aku meminum jus alpukat yang telah lama aku pesan. Di restoran bergaya barat itu aku hanya duduk termenung seorang diri. Kuperhatikan seisi restoran penuh dengan pasangan yang sedang mabuk cinta atau orang-orang yang sedang asyik berbincang-bincang dengan teman mereka. Rasanya benar-benar menyedihkan! Padahal ini hari ulang tahunku dan aku telah mengundang lima teman dekatku untuk merayakan bersama. Setidaknya aku ingin ulang tahunku dapat berlangsung meriah dan romantis seperti sinetron di film-film. Dimana aku seharusnya dapat merayakan dengan teman-teman dan seorang cowok yang kusukai dapat membawa sebucket bunga mawar kesukaanku dan menembakku di hari spesialku ini. Ya, aku memang sangat pemimpi!

Aku langsung meminum jus alpukat itu dengan cepat. Aku tak peduli dengan kondisi sekitarku. Sesekali aku memainkan handphoneku untuk melihat ucapan-ucapan yang diberikan teman-temanku.

“Maaf ya Vin, gak bisa datang. Happy birthday ya,” kata seorang dari temanku.

Sekitar enam puluh orang yang memberikanku ucapan selamat ulang tahun. Dari teman dekat hingga teman sekelas. Sayangnya tak ada satu pun ucapan dari orang itu! Padahal aku sudah lama menginginkannya, ucapan ulang tahun dari seorang bernama Romeo. Aku tak akan pernah lupa akan wajah dan cara bicaranya yang khas. Belum lagi senyum lesung pipitnya itu membuatku semakin berdebar.

Pertemuanku dengan Romeo terjadi enam tahun yang lalu. Dari tahun pertama aku sudah tertarik akan sosok konyolnya itu. Oh ya, namaku Vina. Nama yang singkat dan sederhana seperti diriku. Aku masih tak percaya kalau dulu aku sangat culun. Rambutku selalu kubiarkan acak-acakan dengan potongan gaya bob tahun 80. Belum lagi kacamataku yang tebal seperti kaca spion mobil. Saat itu aku masih belum berpikir soal penampilan maupun dandan. Ibarat burung dalam sangkar. Aku dari dulu selalu dipaksa untuk berprestasi. Yang aku tahu bukanlah cara memegang alat-alat kecantikan tetapi bagaimana rumus-rumus pelajaran yang selalu kupelajari.

SMP Maratha, tempat dimana aku dan Romeo pertama kali bertemu. SMP Maratha terkenal dengan murid-murid yang elit dan berprestasi. Begitulah kesan orang ketika mendengar nama sekolah di Palembang ini. Memasuki lingkungan baru membuat bertekad baja hanya untuk berjuang meraih prestasi. Saat pertama kali aku masuk ke sekolah ini tak ada satu pun orang yang aku kenal. Aku bukan berasal dari sekolah dasar yang elit. Sekolah dasarku hanya sekolah biasa yang terletak di pinggiran Kota Palembang. Aku juga tidak kenal dengan satu pun orang dari sekolah lain. Aku terpaksa mengakui kalau dulu aku juga seorang yang kurang pergaulan dan tak punya teman.

Aku bisa mengenal Romeo karena kami tergabung di kelas yang sama. Seperti kebetulan bukan? Romeo sosok yang sangat berbeda denganku. Aku orang yang kurang pergaulan sementara itu, ia memiliki pergaulan yang sangat luas. Yang kutahu hampir setiap orang diangkatan kami yang mengenalnya. Aku selalu dipaksa untuk juara kelas sementara, ia bebas untuk melakukan apa yang ia suka. Seperti langit dan bumi. Aku dan ia berbeda seratus delapan puluh derajat. Namun saat itu aku masih percaya pasti ada kemungkinan, masih ada harapan.

“Minjam penghapusnya ya,” perkataan Romeo pertama kepadaku.

Aku pendiam, bahkan aku tak pernah berbicara yang tak perlu. Dari insiden penghapus aku tahu bahwa Romeo adalah orang pelupa. Buktinya setiap hari ia tak pernah absen meminjam penghapusku. Tapi, aku bersyukur karena penghapus ini aku bisa selalu memandangi wajahnya. Walaupun hanya sebentar.

Bersambung...
                                                
Cerpen Karangan: Gisella