Hari berlanjut
Hari berlanjut. Kini aku semakin sering menghabiskan waktuku bersama Dinda. Aku berpura-pura tak mengerti apa-apa tentang surat yang selalu Dinda berikan secara diam-diam. Bersamanya aku tak lagi menikmati kesedihan yang lalu. Ia mengajariku tentang arti hadirnya seseorang yang mampu membawa kita pada indahnya hubungan yang lebih pasti.
Sore ini aku tengah berada di sebuah tempat hiburan di sudut kota. Sekedar berjalan-jalan sambil memandangi suasana kota di sore senja. Aku rasa ini adalah momen yang tepat.
“Dinda”.
“Hmm iya kenapa Dav?”.
“Ini semua dari kamu kan?”. Aku mengeluarkan semua surat pemberian Dinda dari dalam tas yang ku bawa.
“Ee..ee..e?”.
“Iya kan?”. Aku memancingnya.
Dinda masih diam sambil memandangi semua yang aku tunjukkan.
“Dinda?”.
“Maafin aku, Dav”. Tiba-tiba Dinda menjadi gugup.
“Nggak perlu minta maaf kok, justru aku yang makasih banget soalnya kamu udah sering ngasih aku kata-kata yang cemerlang itu, semua puisimu keren Din, aku suka”. Ujarku sambil tersenyum.
“Beneran, Dav?”.
“Beneran!”.
“Makasih deh Dav”. Ia melepas senyum itu lagi.
“Iyap, sama-sama”. Aku membalasnya.
Tiba-tiba kami diam. Entah karena apa aku dan ia seperti tak punya kosakata lagi untuk melanjutkan kebersamaan ini. Kaki bergetar hebat. Mulut enggan untuk sekedar basa-basi.
“Ee..ee.. terus Dav?”. Dinda mulai bertanya.
“Apanya Din?”.
“Kamu masih belum sadar juga yaa”.
“Apa’an sih?”.
Dinda menatap mataku penuh kesungguhan. Wajahnya yang manis itu kini tak ragu menghadapiku. Ia berdiri seperti ingin mengajarkanku tentang sebuah pengakuan.
“Puisi-puisi itu, murni dari apa yang selama ini aku rasain, nggak ada yang dibuat-buat Dav, 3 tahun cuman bisa mandangin kamu dari jauh tanpa berani ngomong, aku mutusin buat ngirim surat-surat itu ke kamu belakangan ini dan akhirnya kamu tau”.
“Kamu kenapa Din?”. Aku menyahutnya.
“Aku sempet down waktu tau kalau ternyata Rara itu pacar kamu, tapi akhirnya kalian udahan dan aku pikir nggak ada salahnya kalau aku bilang semuanya sekarang”.
“Din…”.
“Aku suka kamu Dav”.
“Aa?”. Aku bisu.
Dinda menyuarakan kalimat itu. Sekali lagi aku berada di keadaan yang membuatku hening. Hari mulai menuju gelap dan semakin mendramatisir suasana. Ini benar-benar menyiksa karena untuk saat ini, rasa ini masih terbayangi oleh sosok Rara, namun di satu sisi aku juga tak mau mengecewakan Dinda yang sejauh ini ada untuk aku.
“Tapi aku juga masih sayang sama kamu, Dav”. Tiba-tiba suara itu muncul dari belakang Dinda.
Rara hadir di tengah pembicaraan hati. Semakin kacau.
“Hah? Rara?”. Aku semakin bingung.
“Maafin aku Dav”. Rara berlari lalu mendaratkan pelukannya padaku seraya menangis tepat di hadapan Dinda yang baru saja menyatakan cintanya padaku.
“Dav, aku pergi, makasih”. Dinda pergi dengan tangisan sedih yang berusaha ditutupinya.
“Ee.. tapi? Din?”. Aku benar-benar kebingungan.
Gelap telah datang. Cahaya-cahaya lampu taman kota riang menyorot Rara yang masih memeluk aku dengan tangisnya. Bintang sedikit meredup berusaha mengimbangi suasana. Aku benci harus berada pada posisi seperti ini. Siapapun yang bisa, tolong bantu aku.
“Udah, kamu ngapain di sini?”.
“Aku mau ngomong sama kamu”.
“Bukannya semuanya udah jelas”.
“Dengerin aku, Dav!”.
“Rangga pasti bakalan kecewa kalau tau kamu lagi berduaan sama aku, mendingan kamu jangan di sini”
“Maafin aku Dav, selama ini ternyata aku salah, Rangga udah punya cewek, dia cuman anggep aku temen”.
“Hah? nggak mungkin”.
“Aku serius, Dav!”.
“Terus mau kamu apa? hah?”.
“Aku sadar kalau aku cuman ngejar sesuatu yang nggak pasti, aku rela kalau seandainya kamu mau marah sama aku tapi please maafin aku”.
“Kalau dasarnya cinta, pasti dimaafin kok”.
“Jadi? kamu maafin aku?”.
“Iya”.
“Makasih banget ya Dav”.
“Terus mau kamu apa?”.
“Aku mau kita balik kayak dulu lagi”.
Hati memang sakit, namun akan selalu memaafkan jika segalanya dinaungi dengan cinta. Tapi apakah tak terlalu cepat jika seandainya harus kembali memutar kisah? Egois.
“Gampang banget ya ngomong gitu”.
“Please Dav?”.
“Kamu itu egois ya Ra, di saat kamu suka seseorang kamu ninggalin aku, tapi di saat kamu nggak dapet, dengan gampangnya kamu minta balik, dimana nuranimu?”.
“Cuman kamu tempat aku buat kembali, Dav”. Ia mendekap tanganku.
“Apa kamu nggak mikir gimana sakitnya aku waktu kamu mutusin buat milih Rangga? apa kamu nggak sedikit pun peduli gimana perjuangan aku buat dapetin kamu? luka emang sembuh Ra, tapi bekasnya bisa seumur hidup!”.
“Please Dav, aku mohon kamu bisa balik lagi sama aku”. Ujar Rara semakin menjadi.
“Tapi semua butuh proses, maaf aku nggak bisa!”. Aku melepasnya dan lekas pergi dengan kekecewaan.
“Davaaa!”. Ia meneriakiku.
Langkahku semakin jauh. Tak ada ragu untuk sementara meninggalkannya sendiri agar ia belajar bagaimana menggunakan hati dengan bijak walau air mata kian menjadi.
Hari berlalu. Aku berpikir untuk segera menyelesaikan kerumitan ini. Hari ini, sepulang sekolah di dekat deretan pohon cemara, aku menghampiri Dinda. Tak ada yang lebih indah dari sebuah kepastian. Hari ini adalah sebuah tantangan.
“Dinda”. Aku menyapanya.
“Ee.. Dav? Tunggu ya, aku mau …”. Ia berusaha pergi namun aku mencegahnya.
“Dengerin aku sebentar, please”.
“Kenapa, Dav?”.
“Tepat hari ini dan di sini, aku cuman mau semuanya jelas”.
“Apa’an sih Dav?”.
“Tentang pernyataanmu kemarin, aku harus jawab, aku ngehargai rasamu itu, aku bener-bener nggak nyangka kalau cewek se-manis kamu ternyata punya cinta buat cowok culun kayak aku, ini bener-bener nggak nyangka”.
“Dav?”.
“Tapi maaf, aku nggak mau jadi orang yang memanfaatkan keadaan, kemarin Rara bilang kalau dia mau kita balikan lagi kayak dulu dan aku nolak itu, dan di sini pula aku mau negasin kalau aku emang nggak bisa juga nerima rasamu itu, Din”.
“Hah, tapi Dav? kenapa?”.
“Lebih baik hati ini tertutup, aku pikir untuk nggak milih di antara kalian berdua adalah pilihan yang tepat, biar nggak ada yang sakit di antara kita semua. Tapi yang jelas, kamu sama Rara adalah dua cerita yang nggak akan aku lupa khususnya di masa putih abu-abu ini”.
“Aku hargai itu Dav, tapi aku berharap suatu saat hati itu bakal terbuka lagi”.
“Semoga Din”.
“Makasih Dav”. Dinda mulai berkaca-kaca.
“Makasih juga udah mau meluangkan hatinya buat aku”.
“Dav…”. Kini Dinda memeluk tubuh ini. Sungguh tak kuasa aku menahan kristal di mataku. Terbasahi sudah seragam yang tak lama lagi akan segera kami tinggalkan ini.
“Cuman sekarang waktu yang pas, setelah ujian nasional selesai, aku bakalan pergi belajar ke luar negeri, Din”.
“Apa? Dav?”.
“Iya, di luar negeri”.
“Jangan lupain aku, Dav”.
“Nggak akan”.
Itu adalah pelukan terakhir yang aku terima dari salah seorang wanita yang lalu lalang di mahligai cinta semasa SMA. Rara dan Dinda, dua pribadi yang banyak memberiku pelajaran dengan kerikil tajam dalam fase remaja meskipun pada akhirnya jalan cerita itu tak berjalan seindah harapku. Ku dengarkan kata hatiku untuk meninggalkan keduanya agar tak ada luka di saat nanti kita berjalan terpisah. Ku putuskan untuk pergi meninggalkan keduanya.
Terima kasih putih kasihmu. Segelintir senyuman akan menegaskan betapa agungnya kekuatan cinta mampu menjagamu di saat rindu itu mulai datang menyapa. Ku titipkan segudang asaku pada seragam putih abu-abu sebagai bukti bahwa tak ada cerita seindah di kala aku menimba ilmu di masa-masa sekolah seperti ini. Bersamamu, cinta.
‘Senandung kata hati telah menuntun, lantas masa ini akan terjaga. Bersama cinta yang menggelora’
- TAMAT -
Cerpen Karangan: Avando Nesto