Hari-hari pun berlalu. Aku sadar bahwa sebentar lagi aku dan Romeo tak akan sekelas lagi. Otomatis aku berencana melakukan pendekatan kilat. Aku sudah punya teman dekat, Maria dan Vena. Kami selalu bersama di sekolah. Tanggal 12 Februari 2008, di kantin sekolah aku pertama kali aku bercerita kepada Maria dan Vena kalau aku menyukai Romeo. Kebiasaanku menulis kegiatan di buku harian membuatku tak pernah lupa akan hal-hal penting dalam hidupku.
“Hah. Kamu suka sama Romeo?,” kata Maria dan Vena berbarengan.
“Iya. Pelanin dong suaranya. Aku takut ada temennya yang denger,” kataku.
Mereka langsung menutup mulut mereka dengan raut wajah tak percaya dan kaget. Aku tahu bahwa perbedaan aku dan Romeo seperti langit dan bumi sehingga menjadi wajar jika mereka seolah tak percaya.
“Hah. Kenapa bisa?,” tanya Vena.
“Gak tahu juga,” kataku sambil tersenyum.
“Tapi, hati-hati aja ya. Yang aku tahu dia play boy. Di sekitarnya banyak cewek-cewek cantik,” kata Maria.
Perkataan Maria membuatku tersadar akan mimpiku. Benar juga, di sekitarnya banyak cewek yang lebih berkilau dibandingkanku. Mereka lebih cantik, modis, dan sesuai dengan level Romeo. Sedangkan aku? Aku selalu memakai baju yang biasa. Bahkan, nyaris asal! Aku tak mengerti cara berpenampilan modis.
“Kamu harus berubah Vin. Maksudku penampilanmu lo,” Saran mereka.
“PENAMPILAN?,” teriakku dengan kaget.
“Bagaimana cara mengubah diriku yang tampak seperti Betty La Fea ini?,” kataku dalam hati.
Setelah percakapan di kantin, aku langsung pulang dengan membawa majalah-majalah remaja terbitan baru. Mendapatkan gambaran pakaian termodis sekarang, itulah keinginanku ketika membeli majalah-majalah ini. Aku langsung membuka dan membaca majalah pertama. Aku memperhatikan isi-isi majalah itu dengan penuh harap. Setiap lembar dihiasi dengan gambar perempuan cantik yang mungkin seumuran denganku. Bedanya mereka bisa tampil modis dan feminim. Sangat berbeda bukan denganku? Belum lagi model rambut mereka yang merupakan tren saat itu sedangkan aku selalu memotong rambutku dengan model bob tahun 80. Aku langsung memandangi diriku di kaca dan kubandingkan dengan sosok model di cover majalah itu. Kami tampak jauh.
“Model ini selevel dengan Romeo. Ya, aku harus menjadi seperti model itu,” kataku dengan tekad bulat saat itu.
“Seorang pangeran hanya akan melirik putri yang cantik,” lanjutku sambil melihat poster princess yang terpajang di dinding kamar.
Beberapa hari kemudian. Aku menunggu paketku datang di teras rumah rumah. Seorang kurir dari jasa ekspedisi tiba di rumahku. Ya, paket itu berisi alat-alat kecantikan yang telah kupesan dari salah satu toko online. Aku langsung menghampiri kurir tersebut dan mengambil paketku. Akhirnya, perjuanganku untuk menjadi cantik dapat dimulai. Aku membuka paket itu dengan tak sabar. Saat itu yang aku pikirkan hanya bagaimana secepat mungkin menggunakan alat-alat kecantikan itu.
Paket itu terbuka. Aku langsung mengeluarkan isi-isi yang ada dalam paket itu. Ada lotion untuk memutihkan kulit, sabun untuk kulit bersih dan obat untuk menguruskan badan. Sesuai keinginanku! Aku membawa barang-barang itu masuk diam-diam ke kamarku, tak ingin mamaku tahu kalau aku membeli barang-barang itu. Apalagi, kalau alasannya adalah karena cowok. Aku pasti jadi tertawaan habis-habisan oleh seluruh anggota keluargaku.
Aku membaca petunjuk pemakaian obat pengurus badan itu dengan serius.
“Semoga obat ini dapat mengecilkan pipi tembemku ini,” harapanku.
Kemudian aku meminum obat pengurus itu. Rasanya sangat pahit seperti jamu. Belum lagi baunya sangat menyengat. Aku sangat menderita, pikirku saat meminum obat pahit itu. Akhirnya, obat itu baru dapat kuhabiskan setelah berjuang selama dua puluh menit. Peribahasa “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” membesarkan hatiku. Bayangan Romeo membuatku tak mengeluh lagi.
Efek obat itu benar-benar luas biasa! Dua puluh menit setelah meminum obat itu aku langsung bolak-balik ke kamar mandi. Aku pun menjadi tak nafsu makan. Kebiasaan memakan makanan dua porsiku berkurang menjadi setengah porsi. Bahkan untuk makanan seafood kesukaanku pun tak kuhabiskan seorang diri seperti kebiasaanku.
“Kalau gini aku bisa turun dua sampai tiga kilo dalam seminggu!,” kataku girang dalam hati.
Perubahan pola dan cara makananku membuat mama dan papa sempat heran. Lucunya pada saat itu mama dan papa mengira aku sedang sakit sehingga tak nafsu makan. Mereka bahkan memasakkan hidangan-hidangan kesukaanku setiap hari. Namun, tekadku sangat bulat saat itu. Aku ingin kurus! Ya, hanya dengan kurus aku bisa menjadi cantik seperti putri-putri negeri dongeng.
Bersambung...
Cerpen Karangan: Gisella