Bagaikan Bumi dan Bintang Alpha Century (Part 3)

Hari itu, tanggal 2 Mei 2008. Aku meminjam timbangan di ruangan kesehatanku. Beratku tinggal empat puluh lima kilogram! Berarti aku telah menurunkan lima belas kilo dari berat awalku selama satu bulan. Aku sangat senang saat itu.

“Turun lima belas kilo,” kataku girang pada dua sahabatku, Maria dan Vena.


Kedua sahabatku ikut girang. Perjuanganku ternyata tidak sia-sia. Pipiku mulai terlihat tirus, badanku juga terlihat lebih ideal. Setelah itu kami bertiga kembali dengan kelas. Di depan pintu aku melihat Romeo bersama dengan seorang cewek.

“Itu namanya Arin,” bisik Vena padaku.

Arin dan Romeo terlihat akrab. Beberapa kali kulihat Arin memegang tangan Romeo tanpa sungkan. Romeo juga tak canggung merangkul Arin dengan hangat. Gerak-gerik mereka memperlihatkan bahwa mereka tak sekedar teman. Aku cukup peka untuk mengetahuinya. Maria dan Vena mengajakku ke toilet. Aku tahu maksud mereka sebenarnya, mereka hanya tak ingin aku melihat pemandangan itu lama-lama. Kami bertiga pergi ke toilet.

Sesampainya di toilet, tiba-tiba aku menangis. Aku memang tidak bisa membohongi hatiku kalau aku terluka. Aku tak akan bisa lupa tanggal 2 Mei 2008. Ungkapan cinta memiliki dua sisi mulai terbukti bagiku, orang yang baru pertama kali mengenal cinta. Maria dan Vena mencoba menghiburku. Saat itu aku hanya berpikir menangis akan menyelesaikan masalah. Setidaknya biarkan aku menangis untuk menutup luka di hatiku

Sesampai di rumah aku terus mengurung diri dalam kamar. Tak ada keinginan sekalipun untuk keluar dari kamar. Bisa dibayangkan bukan bagaimana perasaanku saat itu? Aku belum dewasa dalam cinta dan tengah patah hati. Saat itu aku hanya tahu menangis. Bahkan, aku tak membaca buku seperti kebiasaanku setiap hari. Aku jadi orang yang sangat melankolis dan cengeng. Bahkan makanan hanya kusentuh sedikit. Mama dan Papa sangat mencemaskan keadaanku. Mereka terus memperingatiku untuk makan, walaupun hanya sedikit. Namun, sifatku yang keras kepala memang sulit untuk terpatahkan.

Aku tak tahu bahwa dengan bertindak bodoh seperti itu akan mendatangkan bencana untukku. Benar-benar tidak tahu, sampai aku dilarikan ke rumah sakit. Tanggal 9 Mei 2008, dokter menvonisku menderita penyakit maag akut. Aku pun terpaksa dirawat di rumah sakit selama seminggu penuh. Setelah menjalani rawat inap aku juga tetap harus dirawat jalan demi mempercepat kesembuhan lambungku. Menghabiskan jutaan rupiah karena alasan cinta, membuatku tampak seorang yang bodoh bukan? Tapi, itulah kenyataannya. Cinta dapat membuat orang menjadi berubah seratus delapan puluh derajat.

Beberapa hari kemudian, aku mengikuti ujian semester. Momentum itu kugunakan untuk selalu belajar dan mencoba menghadapi kenyataan. Setelah seminggu ujian, aku menghabiskan waktu liburan di Pagar Alam. Pagar Alam terkenal akan kondisi alamnya yang indah dan sejuk. Saat itu, aku hanya ingin untuk melakukan refreshing dan sejenak melupakan akan Romeo. Walaupun, aku tak yakin aku dapat melakukannya.

“Mbak..,” kata seorang pelayan kepadaku.

Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata sudah jam satu siang. Astaga, aku baru tersadar kalau aku menghabiskan waktu satu jam hanya untuk mengingat masa laluku itu. Aku langsung cepat-cepat mengambil tas selempang berwarna merahku dan hendak membayar. Aku lalu berjalan ke tempat sebuah kasir. Di sampingku, ada laki-laki yang juga sedang membayar. Ah, itu Romeo! Aku tak tahu harus berbuat apa. Memanggilnya atau tidak? Setelah kami sekelas di tahun pertama sekolah menengah pertama, kami tak pernah sekelas lagi sampai sekarang. Walaupun kami masuk di SMA yang sama aku bahkan nyaris tak pernah bertegur sapa lagi dengannya.
Di tengah pergulatan batin itu, aku mencoba untuk menuruti kata hatiku untuk menyapanya.

“Rom.. Romeo,” kataku dengan suara pelan.

Dia menoleh dan tersenyum padaku. Aku tak tahu apakah ia sudah lupa atau tidak masa-masa ketika sekelas denganku. Setelah selesai membayar, ia pun pergi. Aku tahu bahwa aku tak ada lagi harapan, tapi mengapa aku masih berharap?

“Dua puluh dua ribu rupiah,” kata petugas kasir.

Aku lalu mengeluarkan lembaran uang dari dompetku. Kemudian aku langsung pergi dan ingin pulang. Dalam perjalananku ke tempat parkiran, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Dan aku tak percaya! Ternyata, yang memanggilku itu Romeo.

“Mau jalan bareng?,” katanya kepadaku.

Aku pun menyetujui.

Kami berdua berjalan-jalan di mall seperti layaknya pasangan kekasih yang tengah dimabuk asmara. Menghabiskan waktu bersama dengan orang yang disukai, kadang terasa cepat. Aku merasa hanya berputar-putar dan bermain sebentar. Namun, jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka lima.

“Aku pulang dulu ya,” kataku padanya.

Dia menemaniku ke tempat parkir. Dalam perjalanan tiba-tiba terjadi keheningan di antara kami.

“Selamat ulang tahun ya,” kata Romeo kepadaku.

“Makasih,” kataku sambil tersenyum.

Tiba-tiba ia menyerahkan sebuah bingkisan kado kepadaku. Ia memintaku untuk membukanya. Setelah kubuka, ternyata isinya sebuah boneka beruang berwarna pink dengan simbol hati. Pada simbol hati itu tertulis “ I Love You”. Aku sedikit besar kepala, tapi aku dibuat tersadar. Aku yang sekarang masih belum ada apa-apanya dibandingkan sosok Arin.

“Boneka lucu.. ini buat aku?,” tanyaku padanya.

“Iya. Sekalian aku mau ngomong kalau aku juga cinta kamu,” katanya sambil tersipu.

“Hah, apa?,” kataku seolah tak percaya.

“Aku cinta kamu sejak enam tahun lalu,” katanya kepadaku.

“Hah? Bukannya dulu kamu jadian sama Arin?,” tanyaku padanya.

“Arin? Dia itu sepupuku tahu,” katanya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa. Ternyata dulu yang membuatku sakit dan patah hati hanyalah kesalahpahaman. Dulu, aku sendiri yang tak mencoba untuk memastikan. Sejak kejadian itu aku mencoba terus menghindar dari Romeo. Bahkan, aku tak berani lagi menatapnya.

“Jadi apa jawabannya? Kamu mau jadi pacarku?,” tanyanya padaku.

Aku tersenyum geli. Enam tahun yang lalu berarti saat itu aku masih menjadi seperti Betty La Fea. Tapi tunggu, bagaimana bisa? Saat itu aku bahkan merasa kalau kami seperti langit dan bumi.

“Enam tahun yang lalu berarti saat itu aku masih culun banget ya,” kataku padanya.

Dia mengangguk dan tersenyum. Aku juga semakin geli melihatnya.

“Aku juga suka sama kamu sejak enam tahun lalu,” kataku kepadanya.

Kami tertawa bersamaan ketika menyadari perasaan kami satu sama lain. Apa yang menurutku jauh tetapi kenyataannya sangat dekat. Aku pun teringat akan buku astronomi yang baru kubaca semalam. Sebuah buku yang menerangkan akan Alpha Century. Alpha Century, bintang yang paling dekat dengan bumi. Kita merasa alpha century sangat jauh karena kita tak pernah merasa pernah menjangkaunya. Tetapi, pada kenyataannya bintang itu sangat dekat dan selalu dapat terlihat pada malam hari.

“Jadi apa jawabannya?,” tanya Romeo lagi kepadaku.

“Bukan lagi langit dan bumi,” kataku.

“Hah?,” tanya Romeo kebingungan.

“Tapi sekarang jadi bagaikan bumi dan bintang Alpha Century,” kataku.

“Aku mau menjadi pacarmu,” kataku sambil tersenyum.

Penantian selama enam tahun berujung manis. Akhirnya, aku dapat menemukan pangeran yang kuinginkan. Walaupun mengalami perjuangan dan membutuhkan waktu yang lama, tetapi lebih menyenangkan daripada tidak sama sekali. Sama seperti cerita dongeng kebanyakan, aku berharap aku dan Romeo dapat hidup bahagia selamanya.

---HAPPY ENDING---
                                              
Cerpen Karangan: Gisella