Senandung Kata Hatimu (Part 1)

Ketika fajar mulai menepi. Saat mentari ingin berbagi kehangatan pada setiap insan di muka bumi, aku telah memijakkan kedua kaki di bawah indahnya naungan cakrawala. Masa putih abu-abu yang merangkul erat membuatku enggan sedetik pun melupakannya.

“Surat lagi?”. Aku kembali mendapati surat biru di kolong bangkuku.


Surat biru kembali menyapaku paling awal hari ini. Hampir setiap hari aku menerima surat-surat seperti ini di kolong mejaku. Entah dari siapa. Tak ada identitas jelas dari sang penulis. Namun aku selalu menyimpannya sebagai bukti betapa aku menghargainya. Surat-surat itu adalah puisi. Bukan sembarang puisi.

“Makasih”. Aku berujar sembari menatap surat itu.

Entah mengapa, alam pikirku selalu hanyut ketika harus membaca setiap kata dari puisi-puisi sendu itu. Seperti terbawa pada suatu keadaan yang membuatku ingin bercurah. Mungkin karena sama halnya dengan apa yang terasa saat ini.

“Woy, kok lo ngelamun, Dav?”. Ucap Dani sedikit mengagetkan.

“Hmm, iya bro, gue jadi inget Rara”.

“Kenapa emang? gara-gara puisi itu lagi?”

“Iya nih, tiap hari dapet puisi kayak gini, bayangin coba?”. Ujarku sambil menunjukkannya.

“Masih belum tau siapa yang ngirim?”.

“Belum.”

“Terus Rara gimana? masih dingin aja?”.

“Ya gitu lah, belakangan sikapnya berubah, nggak tau kenapa.”

“Kayaknya lo musti cari tau, Dav.”

“Hmm”. Jawabku hanya mengangguk.

Sepekan berlalu
Semula aku terdiam di bawah cemara-cemara yang tegar menemaniku melihat sepasang manusia berjalan di bawah langit yang merintih lewat butiran hujan yang membasahi. Tak kulewatkan setiap derap kaki yang mereka langkahkan. Rangga jalan bersama Rara, kekasihku.

“Itu Rara?”. Ujarku lirih antara percaya dan tidak.

Ku perhatikan raut muka mereka yang begitu ceria menapaki taman sekolah yang sepi itu. Nampaknya hujan tak meredupkan kebersamaan yang terlihat begitu manis. Aku di sini merasa seperti pribadi yang terbuang. Sebenarnya, sudah sepekan kabar-kabar tentang mereka tersebar di lingkup sekolah. Sikap Rara pun juga berubah sepekan ini. Dan ternyata ini yang aku lihat.

“Semoga ini bukan apa-apa Tuhan”. Kataku membatin menyaksikan mereka.

Keesokan harinya
Ketika rasa mulai menuntun, hati tak akan ragu untuk masuk lebih dalam pada sebuah tanda tanya besar. Aku hanyalah manusia yang tak mau ada keganjilan pada apa yang aku jalani, terutama urusan hati. Ku temui Rara pagi ini dengan segala keingin tahuanku.

“Rara, bisa ngobrol sebentar?”. Aku memanggilnya.

“Ehh Dava..., tumben pagi-pagi ke kelasku, emang ada apa?”. Jawabnya sembari melempar senyum seolah tak terjadi apa-apa.

“Ikut sebentar ya, ini penting”. Aku menggapai bahunya berusaha mengajak.

“Kok kayaknya serius sih Dav?”

“Iya, di sini aku cuman minta kamu jujur, Ra...”

“Maksud kamu?”

“Tentang hubungan kita Ra, aku ngerasa kalo belakangan ini sikap kamu berubah entah karena apa.”

“Berubah apanya?” Jawabnya.

“Kamu sering jalan sama Rangga kan tanpa sepengetahuan aku? hah?”

“Hah? jalan sama Rangga?”

“Kemarin aku lihat kamu sama dia, gandengan tangan juga kan? temen-temen juga kasih tau aku kalo di luar sekolah kalian sering keluar berdua. Aku bener-bener nggak nyangka kamu kayak gini Ra.”

“Aku sama Rangga…”

“Kamu suka dia?”. tanyaku memotong usahanya menjelaskan.

Rara hening dalam beberapa detik. Dalam diamnya aku berdo’a dalam hati agar hal tersebut tak benar-benar terjadi. Aku berharap Rara bisa mengerti. Cowok culun yang berdiri di hadapannya ini menaruh harapan besar padanya agar hubungan ini bisa bertahan.

“Ra?”. Aku memancingnya.

“Maafin aku Dav”. Jawab Rara lirih.

“Jadi? kamu?”

“Aku nggak tau kenapa aku bisa sebodoh ini Dav, tapi rasa ini nyaman”.

“Apa aku kurang buat kamu?”

“Enggak Dav! kamu baik, kamu bisa ngertiin aku, tapi di sini hati tau di mana ia ngerasa pas, menurut aku Rangga adalah jawabnya.”

“Tapi kenapa harus gini Ra?”

“Maafin aku Dav...” Ucap Rara seraya memelukku.

Momen seperti ini tak pernah terselip dalam do’aku. Dia yang aku cintai sepenuh hati ternyata memilih labuhan hati yang lain. Kalau saja bukan karena rasa yang ku miliki, mungkin akan ku tolak pelukan yang beraroma kesedihan ini. Rara menangis dan membasahi seragamku.

“Mungkin aku yang bodoh, bagaimana bisa cowok culun kayak aku berharap jalin hubungan yang panjang sama cewek terpopuler di sekolah ini.”

“Daaavaaa”. Rara masih menangis.

“Kita selesai Ra”. Ucapku sembari melepaskan pelukannya dan pergi.

Dengan sekejap, seolah langit mengerti suasana hati. Hujan turun dengan lembutnya. Aku tak peduli bagaimana butirannya membuatku lebih basah. Yang ku pikirkan hanyalah saat-saat yang baru saja terjadi. Aku mengakhiri hubungan yang telah terjalin kurang dari setahun ini. Dalam hati mendo’akan semoga pilihannya akan membawa kebaikan untuk dirinya yang pernah singgah meskipun rasa sakit ini tetap menggelayutiku. Aku mengerti bahwa Rangga adalah pria baik dan aku yakin ia mampu menjaga Rara dengan caranya sendiri. Itu adalah kata hatinya, lantas aku tak mampu untuk membendung.

Mahligai cinta memang penuh dengan misteri, salah satunya adalah yang aku alami. Jalan masih terlampau jauh untuk bersedih yang berkepanjangan. Olehnya, aku tak mau berhenti. Aku adalah Dava yang pantas mendapat kebahagiaan. Mungkin untuk saat ini ‘Move On’ adalah ritual yang tepat.

Bersambung...
                                                          
Cerpen Karangan: Avando Nesto