Senandung Kata Hatimu (Part 2)

Hari berikutnya
Senyumku tak kunjung kembali. Jagad hati masih saja mendung. Bahkan mentari yang ramah menyapaku tak terhiraukan. Bukan mauku. Bukan inginku. Hanya saja aku merasa hari-hariku tak akan seindah pada saat masih bersama Rara.


“Dava!”. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

“Dinda? ada apa?”

“Harusnya aku dong yang tanya, kamu kenapa sih? kok murung gitu?” Suara Dinda yang kalem itu menyambut aku.

“Nggak papa kok, cuman lagi nggak enak badan aja.”

“Rara ya?”.

Dengan sekejap aku terperangah mendengar kata itu. Bagaimana bisa Dinda tau tentang apa yang aku pikirkan.

“Kok kamu tau sih?”

“Iya aku tau banget, Dav.”

“Rara cerita ke kamu?”

“Enggak kok, aku tau sendiri, kalian putus kan?”

“Iya, tapi gimana bisa kamu…”

“Kemarin aku lagi baca buku di taman samping kelas, aku nggak sengaja denger kalian ngobrol di samping kelas Rara, aku di belakangmu Dav”. Ia memotong ucapanku.

“Oh jadi, kamu udah denger semua ya?”

“Maaf ya Dav, aku nggak sengaja kok.”

“Nggak papa kok, lagian kan udah lewat Din, santai aja.”

Pada saat itu Dinda menatapku ringan. Matanya seperti membiusku. Aku merasa seolah pernah berada pada saat-saat seperti ini namun aku lupa dimana. Ada apa sebenarnya. Aku dag dig dug.

“Rara udah milih apa maunya, kamu nggak bisa gini terus, kamu juga musti milih siapa yang emang pantes buat kamu, Dav.” Tiba-tiba ia meletakkan jemarinya di pundakku.

“Ee.. ii.. iya Din.” Jawabku sedikit grogi.

“Bagus.” Kemudian ia melepaskan senyuman itu padaku. Tentram sekali hati ini.

“Emang kenapa sih? kok kamu segitu perhatiannya sama urusan ini?”

“Kenapa ya? mungkin emang harus.”

“Maksudnya?”

“Coba deh mulai sekarang kamu belajar jadi orang yang peka, setelah itu kamu bakal tau apa maksud dari kedatangan aku di sini.” Perjelas Dinda dan ia segera pergi dari tatapanku.

“Peka?” Aku kebingungan.

Dinda pergi meninggalkan kalimatnya. Sekali lagi aku bertemu dengan bunga di sekolah ini. Dinda cantik, ramah, dan tergolong pribadi yang menyenangkan. Apa ini pertanda bahwa cinta telah datang? atau Tuhan menjawab kesendirianku? yang jelas aku nyaman ketika harus berbicara bersamanya. Dinda.

“Hah? surat biru ini?” Aku kembali mendapatinya.

Surat itu berada di tempat Dinda ketika ia duduk bersamaku tadi.

“Jadi? Dinda? surat ini? ee?” Aku mengambilnya seraya memperhatikan Dinda yang baru saja melangkah pergi.

- Dengar Hatimu -
Sang putra
Putihmu slalu terdamba
Kasihmu adalah impianku
Bergegaslah untuk kembali melangkah
Ajarkan aku cinta
Berikan sentuhan anti sayu
Ku percaya aksara kan mengilhamimu
Pula waktu yang merangkulmu erat
Di sini
Tepat di naungan terindah
Kan ku ukir romansa kecil sebatas rasa
Untuk menyambut keindahan yang terhadirkan
Sedikit saja
Tanpa ego juga tak bergejolak
Coba dengarkan lirih
Kata hati yang memanggil itu
- D -

Ternyata. Surat-surat yang selama ini aku terima adalah Dinda yang menuliskan. Perlahan aku mulai mengerti bahwa sesungguhnya ia menaruh harapan terhadapku. Mungkin ia tak terlalu berani berkata sehingga lewat surat-suratnya lah ia berusaha mengungkapkan.

“Jadi kamu ya, Din”.

Bersambung...

                                                          
Cerpen Karangan: Avando Nesto