Sepuluh hari sudah aku tak masuk kuliah. Aku tak mau menambahnya. Hari ke sebelas aku pun mencoba untuk mengikuti perkuliahan. Teman-temanku hampir tak mengenaliku lagi. Badanku semakin kurus, dengan tulang-tulang yang semakin menonjol yang hanya terbalut dengan kulit. Tak ku hiraukan pertanyaan mereka.
Aku hanya mencari satu sosok yang ingin sekali aku menemuinya. Oka, aku ingin sekali bertemu dan mengobrol dengannya, karena semenjak kejadian tempo hari, baik mas Zakky ataupun Oka tak ada satu pun yang menghubungiku.
Setelah hampir setengah hari, akhirnya aku pun berhasil menemukannya. Aku ajak dia mengobrol. Dia pun mungkin terlihat prihatin melihat keadaanku sekarang, namun dia berusaha bersikap biasa. Ku awali perbincangan ini dengan menanyakan kabarnya, keluarganya sampai kuliahnya, yang ujung-ujungnnya ku tanyakan masalah kejadian tempo hari. Dia meminta maaf. Bukan karena dia tak enak telah membuatku kemarin shock, namun dia meminta maaf untuk hal yang tidak akan pernah aku maafkan, bahkan mungkin seumur hidupku. Dia bilang kalau dia sudah jadian dengan mas Zakky, karena dia juga sebenarnya telah lama jatuh cinta pada mas Zakky.
Oh God! Aku semakin shock mendengarnya, dan tanpa menghiraukanku dia berlalu meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah kata pun. Gontai ku kayuh kaki ini melangkah, tak kuat rasanya. Entahlah, aku pun tersadar sudah ada di kamarku. Saat ku buka mataku, ibu langsung menguntai senyum dan memelukku. Teman kampusku yang membawaku pulang katanya. Ibu pun kemudian menyuapiku dengan bubur hangat buatannya sendiri, namun berhenti pada suapan kedua. Aku tak mau lagi, aku tak mampu lagi menahan bendungan air mataku. Perkataan Oka masih terngiang jelas, bahkan sangat dan lebih jelas.
Ibu pun tak kuasa menahan ledakan tangisannya. Kami menangis. Nasib kami sama, ditinggalkan orang yang amat kami cintai, lebih tepatnya dihianati. Di tengah tangisanku, ponselku berdering. Dengan sigap ku raih dan ku angkat. Mas Zakky yang menelponku. Pertama dia meminta maaf padaku atas apa yang telah dia lakukan kemudian dia kembali memintaku untuk ikhlas melepaskannya, dan merelakannya dengan Oka, yang tiada lain adalah sahabatku sendiri. Aku tetap tak mau, hatiku sudah buta, bahkan kesalahannya sekalipun aku sudah tak mampu melihatnya. Percuma, dia tetap memintaku putus, dan aku pun tetap pada pendirianku untuk mempertahankan hubungan ini. Dengan perdebatan alot akhirnya kami pun saling sepakat untuk tetap menjalin hubungan ini (tidak memutuskanku), namun mas Zakky juga tetap menjalin hubungan dengan Oka.
Aku terima semuanya, aku rela, bahkan setiap detik ia menyakitiku pun aku rela. Aku tetap kekasihnya. Dengan sebelah hati, walaupun tanpa sambutan lagi darinya aku jalani hubungan ini. Aku tak akan menyerah, tidak akan pernah.
Hampir setiap waktu aku mengiriminya pesan “Sayang, semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa jaga kesehatanmu”. Walaupun tanpa balasan, tanpa tanggapan, tetap ku kirim. Tidak pernah bosan aku melakukannya. Setiap siang sampai menjelang sore, aku duduk di tepi sungai. Berharap dia datang, berharap dia kembali. Aku tetap menunggunya. Aku sadar di hatinya sudah tak ada lagi namaku, namun aku yakin di lubuk hatinya yang terdalam masih terselip sedikit ruang untukku, walaupun dia tak menyadari itu. Akan aku tunggu sampai dia tersadar, mungkin saja besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan, dan sampai aku lelah menunggunya.
Bangau-bangau itu memandang ke arahku, seakan dia mengerti akan apa yang aku rasakan. Seakan mereka ikut menangis bersamaku. Karena semakin lelah aku pun pulang. Dari kejauhan terlihat rumahku ramai sekali. Aku masih tak perduli. Tiba-tiba saja ada tetanggaku yang langsung memelukku sambil menangis. Aku kaget, aku tak mengerti, dan bingung. Tak sengaja mataku melihat bendera kuning tergantung di tiang depan pagar rumahku. Aku tak mau berburuk sangka. Aku mencoba menegarkan diriku sendiri.
Tanpa ku bertanya. Telingaku mendengar sendiri, bahkan mataku pun sekarang melihat sendiri. Orang-orang di luar membicarakan ibu, dan saat ini di depan mataku terlihat ibu. Orang yang paling kucintai, yang ku miliki saat ini selain kakakku. Dia diam saja. Dia tak lagi menyambutku dengan senyuman, apalagi memelukku. Ya, dia sudah terbujur kaku. Dia pun ikut pergi meninggalkanku, bahkan untuk selama-lamanya. Ibuku meninggal, dan aku tak tau. Bukan di pangkuanku. Sesak rasanya dada ini, dan gelap.
Aku tak punya lagi ayah, tak juga ibu. Kakakku tak pernah mau kembali ke rumah setelah mendengar berita kepergian ibu. Mas Zakky dan Oka pun tak pernah datang lagi, mungkin dia juga tak tahu kepergian ibu. Aku benar-benar sendiri.
Seperti biasa, ku datangi sungai itu, bangau-bangau itu. Aku ingin mencurahkan kepahitanku pada mereka, aku ingin mengatakan pada mereka bahwa aku sangat mencintai ibuku, aku ingin menceritakan pada mereka bahwa aku akan selalu tetap setia menunggu mas Zakky, walaupun tanpa sebab dan walaupun tanpa jawab, akan ku ceritakan betapa bahagianya aku pernah memiliki mereka walaupun sekaligus betapa pilunya aku kehilangan mereka. Aku ingin menangis bersama mereka, bersama kalian, wahai bangau-bangau ku, barang sekejap saja.
“The End”
Ku tulis ini dengan linangan air mata membasahi pipiku
Teruntuk rajawaliku, I love you so much, always love you
Jum’at, 27 Desember 2013/21:53 pm
Dari aku yang selalu menunggumu kembali,
kembalilah, aku tak akan marah
Ardath Celesta
a.k.a
Safuroh Ahmad
Cerpen Karangan: Safuroh Ahmad